close

Kejahatan

A. PENGFERTIAN KEJAHATAN

Jika kita berbicara apa itu kejahatan, kita tentunya mengatakan perihal pelanggaran norma (hukum pidana), perilaku yang merugikan, perilaku yang menyebalkan, atau sikap yang imbasnya menimbulkan korban.

Ditinjau dari aspek yuridis, pelaku kejahatan ialah bila seseorang melanggar peraturan atau undang-undang pidana dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi eksekusi. Contoh:

  • Pembunuhan yakni tindakan yang menyanggupi perumusan pasal 338 kitab undang-undang hukum pidana
  • Pencurian yaitu tindakan yang menyanggupi perumusan pasal 362 KUHP
  • Penganiayaan ialah perbuatan yang menyanggupi perumusan pasal 351 kitab undang-undang hukum pidana

Dalam hal ini bila seseorang belum dijatuhi eksekusi memiliki arti orang tersebut belum dianggap penjahat.

Ditinjau dari aspek sosial pelaku kejahatan yaitu kalau seseorang mengalami kegagalan dalam beradaptasi atau berbuat menyimpang dengan sadar atau tidak sadar dari norma- norma yang berlaku di dalam penduduk sehingga perbuatannya tidak mampu dibenarkan oleh masyarakat.

Ditinjau dari aspek ekonomi pelaku kejahatan ialah jika seseorang (atau lebih) dianggap merugikan orang lain dengan membebankan kepentingan ekonominya kepada masyarakat sekelilingnya, sehingga ia dianggap sebagai penghambat atas kebahagian orang lain.

Secara formal kejahatan dirumuskan selaku sebuah perbuatan yang oleh Negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akhir tindakan itu. Keseimbangan yang terganggu itu yakni ketertiban masyarakat terganggu, penduduk gundah akibatnya. Kejahatan mampu didefinisikan berdasarkan adanya komponen anti sosial. Berdasarkan komponen itu dapatlah dirumuskan bahwa kejahatan yakni suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak layak, tidak mampu dibiarkan, yang dapat mengakibatkan kegoncangan dalam masyarakat. Terdapat beberapa pertimbangan hebat tentang kejahatan, di antaranya:

W.A. Bonger

Kejahatan ialah perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapatkan reaksi dari negara berbentukpemberaian derita dan lalu, sebagai reaksi-reaksi terhadap rumusan hukum tentang kejahatan.

Sue Titus Reid

Kejahatan yaitu suatu langkah-langkah sengaja (Ommissi), dalam pemahaman ini seseorang tidak hanya dihukum sebab pikirannya, melainkan harus ada suatu langkah-langkah atau kealpaan dalam bertindak. Dalam hal ini, kegagalan dalam bertindak mampu juga dibilang selaku kejahatan, jikalau terdapat sebuah kewajiban aturan untuk bertindak dalam masalah tertentu. Disamping itu pula mesti ada niat jahat.

Richard Quineey

Kejahatan ialah suatu rumusan tentang sikap insan yang diciptakan oleh yang berwenang dalam sebuah penduduk yang secara politis terorganisasi; kejahatan merupakan suatu hasil rumusan sikap yang diberikan

Van Bemmelen

Kejahatan yakni tiap kelakuan yang bersifat tidak akhlak dan merugikan, yang mengakibatkan begitu banya ketidaktenangan dalam sebuah masyarakat tertentu, sehingga penduduk itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan sebab kelakuan tersebut.

Sutherland

Kejahatan yaitu sikap yang dilarang oleh negara alasannya adalah merugikan, terhadapnya negara bereaksi dengan eksekusi selaku upaya untuk mecegah dan memberantasnya.

J.E. Sahetapy

Dalam bukunya Paradoks Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan sebuah pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laris (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian dominan atau minoritas masyarakat selaku sebuah tindakan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

Apabila pertimbangan perihal kejahatan di atas kita pelajari secara teliti, maka dapatlah digolongkan dalam tiga jenis pemahaman selaku berikut:

  1. Pengertian secara mudah (sosiologis); Pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat disebut kejahatan.
  2. Pengertian secara religius; Pelanggaran atas perintah-perintah Tuhan disebut kejahatan. Pengertian a dan b disebut pengertian kriminologis.
  3. Pengertian secara yuridis; Dilihat dari aturan pidana maka kejahatan ialah setiap perbuatan atau pelalaian yang tidak boleh oleh aturan publik untuk melindungi penduduk dn diberi pidana oleh Negara.

Dari beberapa pemahaman kejahatan diatas, maka nampak peran krimininologi dan hukum pidana berlainan maka wajarlah kalau batas luas objek kedua ilmu itu tidak sama. Hal ini melahirkan kejahatan sebagi objek Kriminologi dan kehatan sebagai objek Hukum Pidana. Hukum Pidana memperhatikan kejahatan selaku peristiwa pidana yang mampu mengancam tata tertib masyarakat, sedangkan kriminologi mempelajari kejahatan sebagai sebuah tanda-tanda sosial yang melihat individu dalam konteks ekosferis. Hukum pidana menyaksikan perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana disebut kejahatan, sedangkan kriminologi menyaksikan tindakan berlawanan dengan hati nurani manusia disebut kejahatan (lihat pendapat Van Bammelen).

Sebenarnya kejahatan menurut hukum pidana kejahatan berdasarkan kriminologi sebagian besar overlapping, merupakan dua bundar yang titik tengahnya tidak terletak sama lain dalam satu titik yang serupa, tetapi tidak berjauhan. Sekarang muncul pertanyaan bagaimana “jarak” antara kedua titik itu, tergantung pada politik hukum di satu waktu dan tempat tertentu. Titik tolak pandangan aturan pidana mempunyai dua dimensi yakni unsur kesalahan dan komponen melawan aturan. Sedangkan kriminologi juga memiliki dua dimensi faktor, ialah faktor motif dan aspek sosial yang memberi kesempata bergerak. Hukum pidana menekankan “pertanggungjawaban” sedang kriminologi menekankan “accountability” (apakah tindakan tersebut sepantasnya diperhitungkan pada si pelaku dan juga cukup membahayakan bagi masyarakat). Dalam kriminologi bagian kesalahan tidak berhubungan . Orang yang secara sadar membunuh sama saja dengan orang ajaib yang membunuh, sama-sama mebahayakan masyarakat.

  Asas Aturan Perjanjian

Dari uraian-uraian diatas dapat tampakadanya jurang antara padangan yuridis dengan padangan kriminologis. Ada kejahatan yang menurut kriminologi tetapi tidak merupakan kejahatan dalam pandangan hukum. Kejahatan yang menurut kriminologi tidak termasuk dipidana, mirip orang yang melacur. Sebaliknya ada kejahatan yang berdasarkan persepsi aturan diberi pidana tetapi tidak dirasakan masyarakat selaku kejahatan, sepreti mencuri pisang waktu kelaparan. Perbedaan ini mampu bersumber pada suasana yang mampu menghipnotis peraaan masyarakat ihwal apa yang merugikan, tidak layak, tidak mampu dibiarkan.

B. UNSUR-UNSUR KEJAHATAN

Secara umum, kejahatan harus meliputi unsur-unsur mirip tertera di bawah ini:

1. Harus ada sesuatu tindakan insan

Berdasarkan aturan pidana kasatmata yang berlaku di Indoensia, yang dapat dijadikan subjek hukum hanyalah insan. Hewan tidak mampu dituduh melanggar aturan, demikian pula badan hukum. Badan hukum mampu melaksanakan perbuatan hukum dan mampu menjadi subjek hukum, akan namun tubuh hukum tidak mampu dituntut aturan pidana. Hal ini sesuai dengan sifat hukum pidana kita yang bersandar pada anutan mewajibkan adanya unsur “dosa” pada orang yang melakukan perbuatan terlarang. Namun seiring pertumbuhan perundang-undangan di Indonesia maka Badan Hukum mampu pula dituntut pidana, misalnya dalam UU Korupsi dan UU Perikanan, dimana Badan Hukum dikenakan pidana denda dan sanksi administrasi.

2. Perbuatan itu mesti sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam ketentuan pidana

Untuk hal ini perlu diselidiki apakah bagian-bagian yang dimuat didalam ketentuan aturan itu terdapat didalam perbuatan.

3. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat.

Untuk mampu dikatakan seseorang berdosa (tentu dalam hukum pidana) dibutuhkan adanya kesadaran pertanggungjawaban, adanya relasi imbas dari kondisi jiwa orang atas perbuatannya, kehampaan argumentasi yang mampu melepaskan diri dari pertanggungjawaban.

4. Perbuatan itu mesti berlawanan dengan hukum

Secara formal tindakan yang terlarang itu bertentangan perintah undang-undang itulah tindakan melawan aturan. Ada tiga penafsiran tentang perumpamaan “melawan hukum”. Simons menyampaikan melawan hukum artinya bertentang dengan hukum, bukan saja dengan aturan subjektif juga hukum objektif. Pompe memperluas lagi dengan aturan tertulis dan hukum tidak tertulis. Menurut asumsi Noyon, melawan hukum artinya bertentangan dengan hak orang lain. Sedang menurut Hoge Raad, Arrest 18-12-1911 W 9263 negri Belanda bahwa melawan hukum mempunyai arti tanpa wewenang atau tanpa hak.

5. Terhadap perbuatan itu mesti tersedia bahaya hukuman di dalam undang-undang

Tidak boleh sebuah tindakan dipidana jika sebelumnya dikerjakan belum dikontrol oleh Undang-undang. Undang-undang cuma berlaku untuk ke depan dan tidak berlaku surut. Azas ini dikenal dengan istilah “NULLUM DELICTUM, NULLA POENA SINE PRAEVIA LEGE POENALI”. Azas ini telah diletakkan pada pasal 1 ayat 1 KUUHP: “Tiada sebuah tindakan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang terdahulu daripda tindakan itu”.

C. TIPILOGI KEJAHATAN

Empat pendekatan yang pada akil balig cukup akal ini masih ditempuh dalam menjelaskan latar belakang terjadinya kejahatan, ialah :

  1. Pendekatan biogenik ; sebuah pendekatan yang menjajal menerangkan sebab atau sumber kejahatan berdasarkan aspek-faktor dan proses biologis,
  2. Pendekatan Psikogenik ; yang menekankan bahwa para pelanggar hukum memberi respons kepada berbagai macam tekanan psikologis serta persoalan-masalah kepribadian yang mendorong mereka untuk melaksanakan kejahatan.
  3. Pendekatan Sosiogenik ; yang menjelaskan kejahatan dalam hubungannya dengan poses-proses dan struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat atau yang secara khusus dikaitkan dengan komponen-komponen didalam metode budaya.
  4. Pendekatan Tipologis ; yang didasarkan pada penyusunan tipologi penjahat dalamhubungannya dengan peranan sosial pelanggar aturan, tingkat kenali dengan kejahatan, konsepsi diri, teladan persekutuan dengan orang lain yang penjahat atau yang bukan penjahat, kesinambungan dan peningkatan kualitas kejahatan, cara melakukan dan kekerabatan prilaku dengan unsur-bagian kepribadian serta sejauh mana kejahatan merupakan bagian dari kehidupan seseorang.

Pengetahuan perihal tipologi penjahat, kejahatan dan kriminalitas sangat diharapkan bagi usaha untuk merancang contoh pencegahan dan pembinaan pelanggar hukum.Dalam kemajuan ilmu wawasan kriminologi telah banyak dikerjakan perjuangan untuk mengelompokkan kejahatan dan penjahat dalam tipe-tipe tertentu. Adapun pembagian tipologi kejahatan berdasarkan para pakar sebagai berikut :

Mayhew dan Moreau

mengajukan tipologi kejahatan berdasarkan cara kejahatanyang dihubungkan dengan aktivitas penjahat, yakni penjahat profesional yang menghabiskan periode hidupnya dengan acara-acara kriminal dan penjahat accidental yang melakukan kejahatan sebagai balasan suasana dan kondisi lingkungan yang tidak mampu diperhitungkan sebelumnya.

Lindesmith dan Dunham

membagi penjahat atas penjahat individual yang melakukan pekerjaan atas alasan langsung tanpa santunan budaya dan penjahat sosial yang disokong norma-norma golongan tertentu dan dengan kejahatan mendapatkan status dan penghargaan dari kelompoknya.

Gibbons dan Garrlty

menyusun pembedaan antara golongan penjahat yang seluruh orientasi hidupnya dituntun oleh golongan-golongan pelanggar aturan dengan kelompok penjahat yang orientasi hidupnya sebagian besar dibimbing oleh kalangan bukan pelanggar hukum.

  Metode Budaya, Orang Batak Berasimilasi

Walter C. Recless

membedakan karir penjahat ke dalam : penjahat biasa, penjahat berorganisasi dan penjahat profesional. Penjahat biasa yakni peringkat terendah dalam karir kriminil, mereka melaksanakan kejahatan konvensional mulai dari pencurian ringan hingga pencurian dengan kekerasan yang memerlukan kemampuan terbatas, juga kurang memiliki organisasi. Penjahat terorganisasi umumnya memiliki organisasi yang kuat dan mampu menyingkir dari pengusutan, serta mengkhususkan diri dalam bisnis ilegal berskala besar, Kekuatan, kekerasan, intimidasi dan pemerasan dipakai untuk mendapatkan dan mempertahankan pengendalian atas kegiatan ekonomi diluar aturan. Adapun penjahat profesional lebih memiliki kemahiran yang tinggi dan mampu menciptakan kejahatan yang besar dan yang merepotkan diungkapkan oleh penegak hukum. Penjahat-penjahat jenis ini mengkhususkan diri dalam kejahatan-kejahatan yang lebih memerlukan kemampuan ketimbang kekerasan.

Marshall B. Clinard dan Richard Quinney

menawarkan 8 tipe kejahatan yang didasarkan pada 4 karakteristik, ialah :

  1. karir penjahat dari si pelanggar hukum
  2. sejauh mana prilaku itu memperoleh derma kalangan
  3. relasi timbal balik antara kejahatan contoh-contoh prilaku yang sah
  4. reaksi sosial kepada kejahatan.

Tipologi kejahatan yang mereka susun yakni selaku berikut :

1. Kejahatan individual dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan riminil mirip pembunuhan dan perkosaan, Pelaku tidak menilai dirinya selaku penjahat dan kadang-kadang belum pemah melaksanakan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan alasannya keadan-kondisi tertentu yang memaksa mereka melakukannya.

2. Kejahatan kepada harta benda yang dijalankan ketika-waktu, tergolong kedalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak senantiasa memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya.

3. Kejahatan yang dilaksanakan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang kebanyakan dilaksanakan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak menatap dirinya selaku penjahat dan menawarkan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari.

4. Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan mata-mata, sabotase, dan sebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegai itusangat penting dalam mencapai pergeseran-pergeseran yang diharapkan dalam penduduk .

5. Kejahatan terhadap ketertiban biasa . Pelanggar hukum menatap dirinya selaku penjahat jika mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain selaku penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial kepada pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas.

6. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian utamanya dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya sebagai part time- Carreer dan sering kali untuk menambah penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan namun dalam hal ini terdapat reaksi dari penduduk alasannya nilai pemilikan langsung sudah dilanggar.

7. Kejahatan terorganisasi yang mampu mencakup antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebaigainya. Pelaku yang berasal dari eselon bawah menatap dirinya sebagai penjahat dan terutama memiliki korelasi dengan kelompok-golongan penjahat, juga terasing dari penduduk luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berlainan dengan warga masyarakat lain dan bahkan kadang kala berdomisili dilingkungan-lingkungan pemukiman yang baik.

8. Kejahatan profesional yang dilaksanakan selaku sebuah cara hidup seseorang. Mereka menatap diri sendiri selaku penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat lain serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering juga condong terasing dari penduduk luas serta menempuh sebuah karir penjahat. Reaksi masyarakat kepada kejahatan ini tidak senantiasa keras.

Bonger

Kejahatan mampu digolongkan sebagai berikut: Kejahatan ekonomi, Kejahatan seksual, Kejahatan garang, dan Kejahatan politik.

Sedang menurut aturan pidana kita maka tipe penjahat, sebagai berikut:

  1. Kejahatan dan pelanggaran mengenai kekayaan
  2. Kejahatan dan pelanggaran perihal nyawa dan badan
  3. Kejahatan dan pelanggaran tentang kehormatan orang
  4. Kejahatan dan pelanggaran perihal kesopanan
  5. Kejahatan dan pelanggaran mengenai membahayakan kondisi
  6. Kejahatn dan pelanggaran menganai kedudukan Negara
  7. Kejahatan dan pelanggaran perihal tindakan alat-alat Negara.

Lombrossi

pelaku kejahatan terbagi terhadap:

  1. Penjahat semenjak lahir
  2. Penjahat sakit abnormal
  3. Penjahat alasannya nafsu kelamin
  4. Penjahat karena potensi :

1) Penjahat sejati

2) Penjahat alasannya kebiasaan

Menurut Gruhle pelaku kejahatan terbagi juga kepada:

a. Petindak karena kecenderungan :

a) yang aktif melaksanakan

b) yang pasif, yang tak keberatan melaksanakan

  1. Petindak alasannya adalah kelemahan
  2. Petindak alasannya nafsu
  3. Petindak karena kehormatan

Perihal Pelaku kejahatan, Garofalo membaginya kepada:

  1. Pembunuh
  2. Petindak kasar
  3. Petindak alasannya kurang jujur
  4. Petindak karena nafsu

Seelig melihat kejahatan dari motifnya dan membaginya kepada:

  1. Penjahat alasannya enggan melakukan pekerjaan
  2. Penjahat kekayaan duit
  3. Penjahat bergairah
  4. Penjahat nafsu seksual
  5. Penjahat alasannya krisis
  6. Penjahat yang bereaksi primitif
  7. Penjahat alasannya keyakinan
  8. Penjahat alasannya adalah kurang disiplin
  9. Penjahat bentuk adonan

Sedangkan tipe jenis penjahat menurut Bonger ada 9, yaitu :

  1. The Cassual Offender; Tipe ini bantu-membantu belum mampu disebut penjahat, namun pelanggar kecil, mirip tidak pakai lampu pada malam hari atau tidak berjalan di sisi kiri jalan.
  2. The Occasional Criminal ;Orang ini melaksanakan kejahatan ringan mirip, orang yang menabrak sehingga korban luka ringan.
  3. The Episodic Criminal ;Perbuatannya disebabkan alasannya adalah emosi yang jago, sehingga dia kehilangan kontrol.
  4. The Habitat Criminal ;Mereka atau orang yang selalu mengulangi perbuatannya, seperti pemabok, pengemis. Dan mampu juga digolongkan selaku residivis.
  5. The Professional Criminal ;Pelaku perbuatan ini sebagai mata pencaharian, alasannya adalah sifatnya mata pencaharian tentunya banyak terjadi di lapangan ekonomi seperti penyelundupan, korupsi, pemasaran narkotik.
  6. Organized Crime ; Para pelaku mengadakan organisasi yang rapi untuk operasi kejahatan.
  7. The Mentally Abnormal Criminal ;Penjahat ini menderita penyakit psikopatis dan psikotis, penjahat yang mengalami gangguan jiwa.
  8. The Nonmalicious Criminal ;Sesuatu perbuatan dinilai sekolompok masyarakat selaku kejahatan sedang kelompok lain menyebut bukan kejahatan. Kejahatan ini bersifat relatif. Ada orang yang menuduh seorang laki’ menyerahkan isterinya pada tamunya sebagai kejahatan. Hal ini dikerjakan selaku budpekerti istiadat mereka dalam menyambut tamunya.
  9.  The White Collar Crime ; Kejahatan yang dilaksanakan oleh seorang dari upper class didalam rangka melaksanakan aktivitas-acara dalam jabatan, baik di bidang ekonomi maupun sosial politik dan terutama merupakan pelanggaran atas iktikad dari masyarakat kepadanya. Kerugian yang ditimbulkan bersifat bahan dan immateril. Yang dimaksud immateril timbulnya ketidakpercayaan dan menurunnya keyakinan penduduk kepadanya.

Dengan menyebarkan suatu tipologi perihal kejahatan dan penjahat, maka akan diperoleh citra yang lengkap dan cermat tentang pelaku dan kejadiannya serta sejumlah ciri biasa dari kejahatan dan penjahat yang lebih jauh dapat dipakai untuk memilih teknik-teknik yang lebih menenteng hasil dalam kerangka pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum.

  Pasal-Pasal Dalam Konvensi Aturan Bahari 1982

D. Mengapa Manusia Melakukan Kejahatan

1. Aliran Kriminologi Klasik

Menurut anutan ini tidaklah perlu dicari alasannya adalah musabab kejahatan, alasannya adalah setiap tindakan yang dijalankan seseorang menurut pendapatyang sadar yang sudah diperhitungkan untung dan ruginya. Apabila ia berhasil atas perbuatannya maka ia untung, tetapi jika ia gagal dalam perbuatannya dan terkena eksekusi maka beliau rugi. Pandangan ini dipengaruhi oleh alrian filsafat kala 18 yakni hedonisme, Utilitarisme, dan Rasionalisme.

Mengapa manusia melakukan kejahatan, berdasarkan pemikiran ini pada dasarnya “bahwa setiap individu telah mempunyai hitungan sendiri-sendiri tentang untung dan ruginya, dari perbuatan yang hendak dilakukannya itu”.

Aliran klasik menyebut ajarannya sebagai Hedonistic Psychology, bahwa insan mengendalikan tingkah lakunya atas dasar pertimbangan suka dan murung yang diperoleh dari tindakan tertentu dibandingkan dengan murung yang diperoleh dari langkah-langkah yang serupa, si penindak (pelaku kejahatan) diperkirakan bertindak bebas dan menentukan pilihannya menurut perhitungan hedonitas.

2. Aliran Positivisme

Orang yang melakukan kejahatan alasannya adalah adanya imbas lingkungan, mirip kondisi masyarakat yang semrawut, saling tiru menjiplak dalam berbagai pergaulan, faktor lingkungan ekonomi seperti kemisikinan. Semboyan fatwa positivisme ini yakni “bahwa dunia lebih bertanggungjawab terhadap bagaimana kesannya saya, daripada saya sendiri”. Baik buruknya perangai seseorang tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri tetapi lingkungannya ikut bertanggungjawab atas perbuatannya.

Ungkapan di atas menyiratkan makna bahwa manusia tak mampu melepaskan dirinya dari proses interaksi timbal balik antara diri dan lingkungan masyarakatnya. Sebab itu setiap penduduk mempunyai produk penjahatnya sendiri sesuai dengan corak ragam penduduk itu sendiri. Masyarakat mampu menjadi ladang yang subur bagi aneka ragam benih bentuk kejahatan. Masyarakat yang “sakit”, penduduk yang sarat patologi merupakan rahim yang produktif melahirkan aneka ragam penjahat. Apabila penjahat dibiarkan sebagai ‘limbah masyarakat’ yang awut-awutan di seantro kawasan, dengan demikian masyarakat itu ibarat ‘penghasil wabah’.

Manusia yang berbuat jahat menurut Hoefnagles, mereka berada dalam suasana crisis of indiviual identity. Apakah mereka meresa dan setuju untuk dibilang penjahat sehabis melakukan tindakan sebagaimana tertera dalam undang-undangdan juga cap yang diberikan masyarakat ? Siapa peduli terhadap ketidaksetujuan atau kesetujuan onggokan ‘limbah masyarakat’ yang mengotori wilayah seantro kota ? adakah penduduk yang hendak mendengarkan suara limbahnya ? hal ini berpulang kepada hati setiap hati nurani anggota masyarakat itu sendiri. Namun demikian, perlukah kita renungi bareng bahwa kita tidaklah memerangi penjahat tetapi yang kita perangi yakni kejahatan.

3. Aliran Kombinasi

Mengapa insan melakukan kejahatan, berdasarkan ajaran ini yang dipelopori oleh murid Lambrosso, Enricco Ferry (1856-2929), bawah kejahatan terletak pada aspek-faktor Bio-Sosiologi atau Bakat (B) dan Lingkungan (L) yang secara bersama memberi pengaruh kepada eksklusif dan keadaan seseorang yang pada saatnya dapat berbuat jahat.

Beliau lebih menekankan pada kesalinghubungan dari faktor-aspek sosial, ekonomi, politik, yang mensugesti kejahatan. Menurutnya kejahatan dapat dijelaskan melalui : studi dampak-efek interaktif di antara aspek-faktor fisik (ras, geograpis, temparatur); faktor-faktor sosial (umur, jenis kelamin, variabel-variabel psikologis); kejahatn juga dapat dibatasi dengan perubahan-perubahan sosial (subsidi perumahan, kendali kelahiran, keleluasaan menikah, dan bercerai).

Adapun rumusan-rumusan kejahatan sebagai berikut :

Cesare Lambroso : K = B (Pendekatan Antropolgis)

Laccasagne : K = L (Pendekatan Sosiologis)

Enrico Ferry : K = B + L (Pendekatan Bio Sosiologis)

Bonger : K = (B+L) + L

 

K= Kejahatan B= Bakat L= Lingkungan

 

*selaku materi kuliah

S.Maronie / 9 Februari 2012 / @K10CyberHouse