close

Kejahatan Dan Campur Tangan Yang Kuasa

KEJAHATAN DAN CAMPUR TANGAN TUHAN
(Sebuah Tinjauan Teodesi dan Teologi Islam)
Syafieh
Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Langsa
syafiehyanti@gmail.com
Abstrak
Artikel ini membicarakan tenang kejahaan dan campur tangan Tuhan dalam perspektif teodesi dan teologi Islam. Problem teodisi yang berkutat pada kausalitas dan penyelenggaraan Tuhan semenjak zaman Yunani Tuhan terhadirkan sebagai terdakwa. Berger memakai konsep teodisi untuk menunjukkan makna kepada penderitaan yang dialami manusia di dunia, dengan sekaligus prospektif kebahagiaan ‘di dunia sana’. Dalam korelasi ini agama jelas merupakan sebuah kekuatan alienasi. Kejahatan dan penderitaan selaku sebuah privasi selalu hadir dalam realitas dan kehidupan. Sementara para filosof Islam menolak konsep teodesi, berdasarkan Muttahharri, bahwa pada dataran fenomena tidak ada “kejahatan sejati” maupun “kebaikan sejati”, sedang pada dataran noumena hanya ada satu esensi, yakni kebaikan, alasannya adalah substansi kejahatan betul-betul ialah ketiadaan murni.
Kata Kunci: Teodisi, Agama, Kebaikan, Kejahatan
EVIL AND MIXED HANDS OF THE LORD
A Review of Theodicy and Islamic’s Theology
Abstract
This article discusses God ‘s omniscience and interference in the theological and Islamic’s theological perspectives. Theodical dilema that centered on causality and the administration of God since the days of Greece God presented as a defendant. Berger uses theodicy concept to give meaning to the suffering experienced by humans in the world, while simultaneously promising happiness “in the world there”. In this connection religion is clearly a force of alienation. Crime and suffering as a privacy are always present in reality and life. While Islamic’s theological reject the theodetic concept, according to Muttahharri, that on the plains of phenomena there is no “real evil” or “true goodness”, while on plain noumena there is only one essence, namely goodness, because the substance of evil is truly pure nothingness.
Keyword: Theodicy, Religion, Goodness, Evil
PENDAHULUAN 
Teodisi dalam ranah dan kajian filsafat boleh dibilang kurang mendapat perhatian para filsuf daripada metafisika contohnya. Bahkan condong terlupakan. Pada hal mesti diakui materi yang dikandungnya sungguh mendasar dan penting dalam upaya pengertian insan. Spesifikasi teodisi terletak pada penekanan atas kausalitas dan penyelenggaraan atau proviodensi Tuhan yang ialah bab substansial jika mempercakapkan insan. Problem wacana teodisi seumur dengan insan itu sendiri. Konstatsi ini sejalan dengan paham kreasionisme lebih-lebih setelah buah wawasan baik dan jelek dimakan oleh Adam. Pelanggaran perintah Tuhan ialah awal dari teodisi yang dimaksudkan.
Keburukan (evil) mencoreng tampang kosmikal realitas termasuk mahluk lain Di balik insiden teoditik tersebut kejahatan dalam tataran fisik manusia tereksplisitkan. Segalanya awut-awutan. Demikian juga kejahatan dalam ranah susila selamanya dekat dengan manusia. Ketidak-adilan menjadi pemandangan sehari-hari di setiap zaman. Singkatnya kejahatan tetap bersimaharajalela.
Salah satu tantangan yang cukup berat bagi eksistensi agama datang dari duduk perkara kejahatan yang dipandang oleh sebagian filosof sebagai bukti lemahnya keberadaan agama atau Tuhan. Sebagian orang memandang fakta kejahatan sebagai bukti tidak adanya Tuhan atau agama, dan ada juga sebaliknya, yang menatap kejahatan tidak bertentangan dengan keberadaan Tuhan atau agama.
Theodecy secara sederhana saya maknai sebagai paham yang menolak kedatangan Tuhan (dan karenanya juga agama) oleh karena merajalelanya kejahatan, kemaksiatan, tragedi, dan sejenisnya. Logika argumentasi yang dibangun adalah bahwa jika Tuhan ada, tidaklah mungkin Tuhan  membiarkan keadaan dan kejadian yang menistakan dan merugikan manusia tersebut berlangsung, terus-menerus lagi. Bukankah Tuhan, dalam persepsi orang-orang theistik/beragama, yakni sosok yang maha baik dan menghendaki kebaikan bagi insan? Bukankah Tuhan berpihak pada segala sesuatu yang baik?
Bagaimana kita menerangkan peristiwa peristiwa dari sudut pandang teologis? Sungguh tidak gampang dan tidak sederhana menjelaskannya. Bagaimana insan memahami keadilan dan kebenaran Allah dalam setiap tragedi yang terjadi atas dirinya? Pertanyaan ini yang dikaitkan dengan tema theodecy, ialah pertanyaan klasik yang terus menerus dipertanyakan di setiap waktu dan daerah.
Artikel ini akan membicarakan tentang kejahatan dan campur tangan Tuhan dalam perspekttif teodesi dan teologi Islam. Suatu kesusahan yang dihadapi oleh pemakalah adalah dikala menghubungkan antara desain teodisi yang berorientasi pada teologis rasionalis dengan konsep teologi Islam yang berorientasi pada teks. Sehingga saya sadari makalah ini masih terjebak pada tataran teologis dari pada sosiologis dan antropologis.
DEFENISI TEODISI 
Secara etimologi, teodisi berasal dari bahasa Yunani “theos” bermakna yang kuasa dan “dike”, artinya keadilan, yang ialah studi teologis filosofis yang menjajal untuk membenarkan Allah (sebagian besar dalam monoteistik) dan bersifat omni-kebajikan (semua mencintai). Lorens Bagus, penulis Kamus Filsafat, menawarkan beberapa pengertian untuk ungkapan ini.  Pertama, teodisi diartikan sebagai ilmu yang berupaya membenarkan cara-cara (jalan-jalan) Allah bagi insan. Kedua, teodisi yakni suatu perjuangan untuk mempertahankan kebaikan dan keadilan Allah saat Allah menakdirkan atau membiarkan suatu kejahatan etika dan alamiah maupun penderitaan insan.  Ketiga, usaha untuk menciptakan kemahakuasaan dan kemaharahiman Allah cocok dengan keberadaan kejahatan. Dengan demikian, teodisi merupakan satu upaya untuk menjaga, atau bahkan “membela” pemahaman kita wacana Allah (terutama dalam hal ini kebenaran dan keadilan-Nya), saat kenyataan atau fakta yang dihadapi membuat kita mempertanyakan atau menggugatnya (Lorens Bagus, 2002: 1089).
Istilah ini dimunculkan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman Gottfried Leibniz dalam sebuah karya berbahasa Prancis dan diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh E.M Huggard berjudul Theodicy:Essays on The Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil (Teodisi: Esai ihwal Kebaikan Tuhan, Kebebasan Manusia dan Keaslian sifat Setan) (Freiherr von Gottfried Wilhelm Leibniz, 2007). Sebuah karya yang dimaksudkan untuk mancari pemecahan masalah ihwal penyelenggaran Tuhan di dunia, adalah antitesa antara adanya Tuhan yang tak terhingga baiknya dengan kejahatan di dunia ini (Louis Leahy, 1993: 318).
Istilah teodise dipertahankan disamping istilah filsafat agama (philoshophy of religion) dan filsafat ketuhanan (Philoshophy of God), sebab perumpamaan ini secara teknis kefilsafatan bersifat netral dan universal. Dalam membahas duduk perkara ketuhanan, teodise dapat mempresentasikan kesimpulan ihwal Tuhan: baik sebagai ada mutlak (God as The Absolute being), atau meminjam ungkapan Blaise Pascal sebagai “Ie dieu des Philosophes et des Savant” (Tuhan para filosof dan ilmuwan). Teodise pun dapat mempresentasikan Tuhan selaku “wujud Personal” (God a Personal Spirit), yang diistilahkan oleh Pascal dengan  “Ie dieu des d`Abraham, d`Isaac et de Jacob” (Tuhan Ibrahim, Ishak, dan Ya`kub).
Teodisi dikatakan bersifat universal, alasannya adalah perumpamaan ini telah dikenal oleh golongan filosof, teolog maupun ilmuwan-ilmuwan yang terlibat dalam diskursus ketuhanan. Oleh sebab wataknya yang bersifat filosofis, dalam membahas masalah ketuhanan, teodise menghalangi pembahasannya pada batas-batas rasional kodrati dengan tidak menyandarkan pada otoritas dari kebenaran apa pun, utamanya wahyu Tuhan. Dengan demikian dalam membahas dilema ketuhanan, teodise lebih memikirkan aspek obyektifitas dan terbuka secara umum, baik bagi orang yang mempercayai-Nya atau tidak.
Lebih tegas mampu dibilang, orientasi pembahasan teodise wacana wujud Tuhan cuma berangkat dari aspek eksistensialitas-Nya(Louis Berkhof, 1981: 43), artinya pembahasan hanya diarahkan pada sejauh mana keberadaan Tuhan mampu ditangkap oleh akal anggapan dengan menggunakan dan memikirkan data-data ketuhanan yang konkrit dan terbuka bagi siapa saja beragama atau tidak (Louis Leahy, 1993: 24).
Secara tradisional menurut McCloskey, persoalan teodisi timbul secara filosofis alasannya adanya kontradiksi yang memerlukan penegasan bahwa Tuhan sebagai Pencipta Yang Maha Sempurna tergolong pencipta kejahatan (H.J. McCloskey,1974:1). Kontradiksi dimaksud yaitu keadaan di mana kita dihadapkan pada keimanan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, namun pada sisi lain, kita melihat beragam kejahatan dalam kehidupan. Keadaan seperti ini, sepintas memang mampu menenteng terhadap suatu pembenaran pemikiran, dalam bentuk pertanyaan bila Tuhan memang Maha Adil dan Maha Sempurna mengapa dalam ciptaan-Nya masih menawarkan kekurangsempurnaan mirip adanya petaka, penyakit, kemiskinan, kekafiran dan sebagainya (Laurel C Schneider, 2008: 62). Bukankah kondisi ini mampu disebut selaku suatu kontradiksi dalam iman keimanan tersebut.
Bagi kelompok teisme tradisional, menatap bahwa Tuhan tetap sebagai yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Sempurna, walaupun ada kejahatan di dunia. Namun, kalau disadari bahwa wujud yang mempunyai kebaikan itu pasti akan mengeliminir kejahatan tersebut, dan sejatinya tidak ada batas-batas bagi wujud yang Maha Kuasa untuk melaksanakan apa saja, tergolong kejahatan itu sendiri (Ibrahim al-Badawi, 2002: 88-90). Itu sebabnya, McCloskey merasa kesusahan untuk mengaitkan korelasi antara persoalan kejahatan dengan keadilan Tuhan. Bahkan, dia menyebutnya selaku suatu misteri.
Ia menyatakan: “If God does not exist, where does good comefrom? If he does exist, where does evil comefrom? If God is the source of good, can he also be the source of evil? Evil exists and God exists. Their coexistence is a mystery.” (Jika Tuhan tidak ada, dari mana asal kebaikan? Jika Dia betul-betul ada, dari mana asal kejahatan? Jika Tuhan yaitu sumber kebaikan, dapatkah Dia juga menjadi sumber kejahatan?…Kejahatan ada dan Tuhan ada. Koeksistensi keduanya yaitu suatu misteri) (H.J. McCloskey,1974:2).
Dalam tradisi fatwa Islam, dilema kejahatan ini timbul berkaitan dengan pembahasan tentang keadilan Tuhan. Berbagai anutan aliran memiliki pandangan dan penafsiran tersendiri sesuai dengan prinsip mereka masing-masing. Namun, mereka berbeda dari para filsuf maupun pemikir Barat yang condong mendiskreditkan Tuhan. Bagi para filsuf muslim, terlebih teolog, apapun aliran pemikirannya, orientasi mereka dalam membicarakan duduk perkara ini adalah justru untuk memelihara kemahasucian (tanzih) dan kemahaesaan (tauhid) Tuhan (Harun Nasution, 1986: 32-34).
Jika ditelusuri secara historis, hadirnya anutan filosofis dalam Islam selalu berdasarkan pada prinsip tauhid. Asy’ariah misalnya, suatu pedoman pedoman yang banyak diikuti kaum Sunni, tidak mengakui keadilan Tuhan sebagai dilema akidah, sehingga mereka menolak keadilan itu sebagai kriteria tindakan Tuhan (Osman Bakar, 1994: 11-12). Bagi mereka, penetapan keadilan untuk tindakan Tuhan itu sama halnya dengan membatasi kehendak-Nya. Bagi kelompok Asy’ariah, makna keadilan tidak memiliki hakikat apapun kecuali bahwa semua yang dilaksanakan Allah adalah adil. Dengan kata lain, keadilan bukan matrik bagi perbuatan Allah melainkan perbuatanNya lah yang menjadi persyaratan bagi keadilan (Murtadha Muthahhari, 1997: 17-18).
Selain itu, Mu’tazilah dan Syi’ah yang berseberangan dengan Asy’ariah memang menyebabkan keadilan Tuhan sebagai prinsip pedoman. Mereka mempercayai bahwa keadilan ini ialah dasar bagi perbuatan Tuhan, dalam mengatur alam maupun menegakkan aturan-aturan-Nya. Bagi Mu’tazilah dan Syi’ah, keadilan mempunyai hakikatnya sendiri. Sepanjang Allah Maha bijak dan adil, Dia akan melakukan perbuatan-Nya berdasarkan persyaratan keadilan. Makna adil bagi Allah, mirip dituturkan oleh Qadhi Abdul Jabbar, bahwa semua tindakan-Nya bersifat baik; Tuhan tidak akan pernah berbuat jahat atau buruk, dan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakannya (Abd alKarim ‘Usman, 1965: 132). Artinya, Tuhan tidak akan berdusta, tidak bersikap zalim, tidak menyiksa bawah umur orang kafir lantaran dosa orang bau tanah mereka, tidak menurunkan mukjizat pada pendusta, dan tidak memberi beban yang tidak dapat dipikul oleh manusia.
Dengan kata lain, bagi Mu’tazilah, adanya kejahatan di dunia ini bukan dari Allah. Allah tidak berbuat jelek sebab tindakan buruk itu muncul hanya dari wujud yang tidak tepat sedang Dia bersifat Maha Sempurna (Qadhi Abdul Jabbar, 1965: 313). Pernyataan bahwa semua tindakan Tuhan bersifat baik, berdasarkan Mu’tazilah, belum cukup untuk mengekspresikan kemahabaikan-Nya. Atas dasar itu, mereka mengajarkan konsep al-salah wa al-aslah, suatu pemikiran yang memastikan bahwa wajib bagi Tuhan memberikan yang baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Konskuensinya, kejahatan yang terjadi di dunia bukan dari Tuhan.
Manakala kita melihat suatu kejahatan, bencana alam contohnya, bukan ialah manifestasi hasratdan tindakan-Nya namun selaku balasan dari perbuatan manusia atau dinamika alam itu sendiri saat tidak sejalan dengan aturan alam (sunnatullah) yang menempel pada dirinya (Harun Nasution, 1986: 54). Menurut iktikad Mu’tazilah, segala sesuatu di alam semesta ini sudah diciptakan Allah lengkap dengan dinamika dan hukum “keseimbangan” pada dirinya masing-masing. Setiap persinggungan antara satu dengan lainnya akan menunjukkan balasan konkret atau negatif.
Dengan demikian, pedoman Mu’tazilah maupun Syiah, sebagaimana Asy‘ariyah, tetap berlandaskan tauhid dan bermaksud untuk mensucikan Tuhan. Bagi mereka, kejelekan atau kejahatan bukan berasal dari Tuhan Yang Maha Sempurna melainkan implikasi dari dinamika dan interaksinya dengan hukum yang melekat pada sesuatu itu (Abu Mansur bin Muhammad al-Baghdadi, t.t: 95). Jika dikatakan bahwa mati adalah takdir Tuhan, maka artinya mati merupakan salah satu hukum-Nya yang berlaku bagi setiap makhluk hidup.
Dengan kata lain, setiap yang hidup mesti akan mengalami mati. Persoalannya hanya terletak pada problem alasannya dan waktu, yaitu alasannya apa yang akan mengirimkan sebuah makhluk hidup menuju kematiannya. Sebab kematian mampu bersifat eksternal atau internal. Sebab eksternal berkaitan dengan pola interaksi makhluk hidup dengan sesuatu di luar dirinya, sedang karena internal yaitu hukum-aturan yang menghalangi kejadiannya, misalnya ialah faktor usia. Kaprikornus, mati pada dataran fenomenalnya hanyalah merupakan akhir dari rangkaian alasannya adalah-alasannya yang ada.
AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
Secara lazim agama yaitu sistem kepercayaan yang dianut oleh setiap orang berdasarkan akidah mereka masing-masing. Agama ialah sebuah kekuatan yang besar lengan berkuasa dan paling dirasakan dalam kehidupan insan. Agama mempengaruhi manusia dalam segala faktor kehidupan. Agama mengajarkan manusia untuk yakin dan takut akan Tuhan serta mengajarkan bagimana manusia berperilaku laris yang bagus dan benar.
Pada dasarnya semua agama itu sama, yakni sama-sama mengajarkan kita bagaimana memuji dan menyembah Tuhan serta melakukan perintah dan menjauhi setiap larangannya. Agama juga ialah petunjuk arah kepada adanya kehidupan yang terjadi setelah adanya kematian.Agama disini menjelaskan bahwa ternyata masih ada kehidupan lain sehabis adanya kematian.Oleh karena itu agama mengajarkan kita bagaimana berperilaku laris semoga menemukan kehidupan yang infinit sesudah terjadinya akhir hayat tersebut.
Tetapi tidak bisa disangkal bahwa di dalam kehidupan beragama ini masih ada terdapat sifat insan yang fanatik kepada agama lain. Mereka selalu membanding-bandingkan agama mereka sendiri dengan agama orang lain dan menilai bahwa agama merekalah yang benar sedangkan agama lainnya itu tidak benar.
Di dalam perspektif sosiologis berpendapat bahwa alasan seseorang menentukan agama tertentu tidak hanya didasarkan pada nilai-nilai kebenaran yang terkandung di dalam agama tertentu melainkan juga sebab faktor-faktor lain. Misalnya alasannya faktor wilayah dan suku, seperti yang terdapat di Indonesia. Dimana kebanyakan orang-orang Aceh beragama Islam, orang-orang Batak beragama Nasrani dan orang-orang Flores beragama Katholik.
Terkadang seseorang menganut agama tertentu bukan karena pertimbangan-pertimbangan eksklusif setelah menimbang-nimbang antara agama yang satu dengan agama yang lainnya, melainkan karena dia telah terlahir di dalam kawasan itu. Artinya bahwa seseorang menganut suatu agama tertentu karena mengikuti agama yang telah dianut oleh orang tua mereka.Hal ini memperlihatkan bahwa agama itu diturunkan oleh orang bau tanah kepada anak mereka.
Meskipun agama itu berasal dari iman yang dianut oleh orang tua yang juga diturunkan kepada anaknya, ternyata masih ada kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat dimana dalam suatu keluarga terdapat dua doktrin yang berlawanan. Misalnya ayahnya beragama kristen  dan ibunya beragama islam.
Dimana pada dikala mereka menikah masing-masing dari mereka tetap menjaga agamanya masing-masing. Sehingga pada kesannya mereka menikah dengan kedua pemikiran agama yang mereka anut. Pertama mereka menikah dengan tata cara yang ada dalam agama kristen dan berikutnya menurut tata cara yang ada dalam agama Islam. Dan saat mereka telah memiliki anak,mereka menyampaikan terhadap anaknya bahwa belum dewasa mereka bebas menentukan agama mana yang hendak mereka anut. Apakah mereka akan menganut agama yang serupa seperti ayahnya ataukah menganut agama yang serupa mirip ibunya.
Meskipun mereka hidup dengan perbedaan dogma, ternyata mereka mampu menjaga dan menghargai agama mereka satu sama lain.Dimana dikala ayahnya berdoa maka ibunya akan menghargainya. Sebaliknya dikala ibunya sembahyang dan berpuasa maka ayahnya juga menghargainya. Dalam hal ini mereka ternyata bisa tetap hidup rukun mirip orang-orang lainnya meskipun dengan dua keyakian yang berlawanan dalam satu rumah.
Sebenarnya hal ini memang ada salahnya juga. Seharusnya seseorang yang  hidup dalam suatu keluraga menganut satu kepercayaan saja.Agar anak mereka juga nantinya  tidak gundah-galau apakah mesti mengikut agama yang dipercayai ayah ataukah ibu. Dengan demikian maka akan lebih tercipta rasa kenyamananan dalam sebuah keluarga tersebut.
Dalam mendefenisikan agama, para ilmuan sosial biasanya memakai dua macam defenisi yang bisa melengkapi satu sama lain, adalah defenisi subtantif dan defenisi fungsional. Defenisi subtantif  berusaha menerangkan perihal mirip apa itu agama.Artinya dalam hal ini agama dijelaskan seperti apa kenyataannya dan kebenarannya sesuai dengan batasan dan kategori-klasifikasi yang membedakannya dengan yang bukan agama. Sedangkan definisi agama secara fungsional menekankan kepada fungsi agama yang mesti dilakukan sebagaimana mestinya dan tidak mementingkan isi dari akidah dan praktik keagamaan.
Artinya  disini  menerangkan wacana apa yang semestinya dibuat dan dikerjakan  oleh agama untuk seorang individu,kalangan atau masyarakat. Bukan apa yang yang dijalankan oleh seorang individu, kalangan  ataupun masyarakat kepada agama. Dimana dalam hal ini juga menerangkan bahwa isi dari iktikad dan praktik keagamaan tidaklah terlalu penting dibandingkan dengan konsekuensi-konsekuensi dari agama itu untuk kehidupan masyarakat.
Tokoh sosiologi yang menawarkan persepsi terhadap agama ialah  Karl Max. Marx tidak menciptakan studi khusus ihwal agama sebagaimana halnya dengan Max Weber atau Emile Durkheim. Pokok-pokok pikirannya perihal agama tercecer dalam banyak sekali tulisannya yang mengkritik masyarakat kapitalis. Ada beberapa pokok anggapan marx wacana agama. Pertama, Marx menilai bahwa agama sebagai suatu alienasi. Dalam hal ini bergotong-royong maksud dan tujuan Marx adalah untuk mengkritik  masyarakat kapitalis yang telah menjadikan alienasi dalam diri kaum buruh. Menurut Marx sebagaimana sistem ekonomi kapitalis sudah menimbulkan buruh teralienasi, demikian juga agama telah membalikkan perhatian manusia dari situasi real dunia ini dan mengarahkannya terhadap dunia setelah maut. Menurut marx dalam hal ini agama sudah mengubah cara berfikir manusia semoga yakin terhadap keadaan di luar realita dan dalam agama itu diterangkan bagaimana cara manusia itu sendiri untuk meraih sesuatu diluar kenyataan tersebut seperti yang dimaksudkan (Karl Marx, 1992: 244).
Artinya bahwa di dalam agama ada dijelaskan tentang masih adanya kehidupan lain sehabis seseorang itu meninggal.Kehidupan yang dimaksudkan yaitu kehidupan baka yang berasal dari Tuhan. Kalau kita berfikir berdasarkan nalar kita masing-masing, sebenarnya mustahil juga bila ternyata masih ada kehidupan lain setelah terjadinya maut.Hal ini memang sungguh tidak masuk akal.Tetapi itulah yang dikatakan dalam agama dan kita tidak mungkin menentangnya.Kita juga sebagai umat beragama secara umum percaya akan adanya kehidupan lain setelah akhir hayat tersebut.Dan di dalam agama diterangkan cara agar kita mampu hidup di kehidupan yang kekal tersebut yaitu dengan berbuat baik kepada siapa pun,menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya.
Selain itu sebuah langkah-langkah dimana berdoa kepada Tuhan untuk memohon keberhasilan hidup tidak disetujui oleh Marx. Karena bagi Marx kesanggupan untuk berhasil itu ada di dalam manusia itu sendiri dan tidak butuhberdoa terhadap Tuhan untuk memohon kesuksesan yang dimaksud.
Sebenarnya jikalau menurut aku maksud dari pernyataan marx tersebut ialah mustahil sesorang itu akan berhasil bila dia hanya berdoa saja kepada Tuhan  tanpa bekerja. Dan dalam hal ini untuk meraih sebuah kesuksesan dan kesuksesan hidup yang dibutuhkan ialah bagimana perjuangan dan jerih payah kita yang tidak kenal putus asa. Tapi jikalau berdasarkan saya kita harusnya berdoa juga kepada Tuhan semoga apapun yang kita kerjakan dan kerjakan diberkati oleh-Nya,dengan catatan kita berdoa sambil bekerja dan berupaya.
Marx juga mengatakan bahwa ciri-ciri khas yang dikenakan pada Allah sebenarnya tidak lain dibandingkan dengan ciri-ciri khas manusia yang diproyeksikan pada Allah yang mengendalikan manusia lewat perintah-perintahnya. Oleh sebab itu, Marx menambahkan bahwa sebetulnya bukan Allah yang menciptakan manusia menurut gambarnya melainkan manusialah yang menciptakan Allah menurut citra atau bayangannya.
Kalau berdasarkan aku maksud dari pernyataan Marx tersebut yaitu bagaimana mungkin kita mampu yakin dan mengenali bila Allah itu menciptakan manusia menurut gambarnya sementara kita juga belum pernah melihat gambar dan rupa Allah mirip apa.Kaprikornus,dalam hal ini artinya manusialah yang membuat Allah itu ada dan insan percaya kalau Allah itu memang ada sesuai dengan gambaran atau bayangan yang mereka lihat dalam cerita-dongeng, film-film dan gambar-gambar perihal Allah.
Kedua, Marx menganggap bahwa agama selaku suatu ideologi. Marx menyampaikan agama selaku sebuah ideologi karena banyaknya realita perihal manusia yang dibalikkan. Maksud pernyataan tersebut berdasarkan aku yaitu bahwa agama hanyalah suatu persepsi hidup manusia saja. Manusia percaya akan adanya kehidupan infinit. Sehingga membuat insan  berupaya untuk melaksanakan setiap perintah Tuhan dan menjauhi larangannya dengan pernuh ketekunan dan rela menderita dalam menjalani hidup di dunia ini.Dalam hal ini menurut pandangan marx tindakan mereka itu salah,alasannya adalah mereka lebih memprioritaskan Tuhan dan tidak perduli kalaupun mereka harus menderita sehingga pada kesudahannya mereka hidup di dalam kemiskinan.Hal ini menurutnya akan merugikan insan itu sendiri sebab lebih mengutamakan hal yang tidak positif dan mengesampingkan kenyataan yang bantu-membantu.
Ketiga, Marx menilai bahwa agama selaku candu masyarakat. Artinya agama memiliki ciri-ciri menghibur dan bersifat sementara sebagaimana layaknya obat bius yang menunjukkan pelepasan sementara dari pendertiaan dengan resiko imbas-efek sampingan yang berbahaya. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari ketika kita sakit, kita akan minum obat semoga sembuh. Dalam hal ini obat berfungsi untuk menetralisir rasa sakit sementara atau bahkan bisa menjinjing kesembuhan dikala kita mengkonsumsinya. Demikian halnya juga juga dengan agama,dimana agama mengajarkan bahwa ketika kita tabah dan rela menderita demi Tuhan maka kita akan memperoleh kehidupan yang abadi.Disini insan berfikir bahwa apa yang mereka kerjakan sudah benar dan merasa terhibur sementara akan apa yang dikatakan dan diterangkan dalam agama.Sehingga bagi marx,agama itu mempunyai ciri-ciri menghibur insan yang bersifat sementara ketika sedang frustasi ataupun mengalami penderitaan yang bisa membuat mereka sabar dan bertahan menjalani hidup (Malcolm B. Hamilton, 1995: 82).
Keempat, berdasarkan Marx agama harus dihapuskan. Marx menegaskan bahwa agama harus dihapus karena menunjukkan kebahagiaan yang bersifat delusi sebelum mereka mencapai kebahagiaan yang sebetulnya. Maksud dari pernyataan marx ini adalah agama itu semestinya dihapus ataupun ditiadakan alasannya setiap fatwa nya berupa khayalan dan delusi semata. Sehingga manusia tidak perlu menderita dan tertekan dalam menjalani hidup di dunia ini  demi mendapatkan kehidupan baka sehabis adanya maut yang dianggap tidak kasatmata.
Namun, agama adalah produk kondisi-kondisi sosial kemasyarakatan, maka beliau tidak bisa dihapus. Satu-satunya cara untuk meniadakan agama ialah dengan menghapus keadaan-keadaan yang menjinjing penderitaan dan kesengsaraan pada hidup insan. Selain itu berdasarkan Marx, agama tidak mempunyai kurun depan. Agama bukanlah sesuatu yang bersifat inheren pada manusia, tetapi produk dari kondisi-kondisi sosial tertentu. Sentimen keagamaan dalam dirinya ialah produk sosial.
Selain Marx, Durkheim juga memiliki beberapa pokok-pokok fikiran ihwal agama. Menurutnya agama yakni solidaritas sosial. Dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life,(Emile Durkheim,1947) Durkheim mengembangkan perspektif teoretisnya secara menyeluruh perihal solidaritas sosial. Dalam telaahnya, dia menjelaskan bahwa agama selaku fakta sosial hadir dalam kesadaran anggota masyarakat, sebab gejalanya yang inter-subjektif. Bagi Durkheim, analisis sosiologis tentang agama mesti dimulai dengan pengesahan akan adanya saling ketergantungan antara agama dan penduduk . Pilihannya untuk mempelajari penduduk sederhana (“penduduk primitif” berdasarkan terminologi yang ia pakai), dikarenakan sifat ketergantungan ini nampak lebih nyata dibanding dalam konteks masyarakat yang sudah maju. Yang beliau lakukan yakni mencari penjelasan wacana tanda-tanda agama di penduduk primitif untuk mengetahui dasar-dasar kehidupan sosial.
Dengan demikian, bagi Durkheim, dasar-dasar susila dalam penduduk memiliki asal-usulnya dalam pengalaman-pengalaman religius kolektif. Kepercayaan-iman agama dan ritus-ritusnya merefleksikan dan memperkuat kembali struktur sosial penduduk . Sehingga memudarnya pengaruh agama dalam penduduk modern mungkin dapat dilihat dengan gampang dalam perspektif Durkheim sebagai satu indikator runtuhnya solidaritas sosial.
Menurut Durkheim, agama yang paling primitif dan paling sederhana itu yaitu totemisme. Pertama, Pemahaman Durkheim tentang Totemisme. Menurut Durkheim, simbol-simbol totem ini ialah lambang dari suku itu sendiri sama mirip bendera ialah lambang untuk suatu negara. Durkheim kemudian menawarkan bagaimana tata cara totem itu ialah satu sistem kosmologis dan bagaimana klasifikasi-klasifikasi mirip kelas memiliki kaitan dengan totemisme.
Kedua, Durkheim memperhatikan bahwa manusia  mengambil bab di dalam yang sakral. Sebagai anggota-anggota suku yang mempunyai totem-totem sakral dan percaya bahwa mereka adalah turunan dari totem-totem yang sakral itu,mereka percaya akan kesakralan dirinya. 
Ketiga, Menurut Durkheim totemisme ialah  masyarakat menyembah diri sendiri. Dalam hal ini totemisme bukanlah suatu agama yang yakin pada binatang, flora,manusia ataupun gambar-gambar tertentu melainkan keyakinan pada sebuah kekuatan impersonal dan tak berjulukan yang berada di balik makhluk-makhluk yang dijadikan totem itu sendiri. Karena itu Durkheim menyimpulkan bahwa yang kuasa suku atau totem suku tidak lain dibandingkan dengan masyarakat itu sendiri yang dipersonifikasikan atau dilambangkan dengan tanaman atau binatang totem (Emile Durkheim, 2003: 331).
Max weber tidak berambisi untuk menjawab pertanyaan ihwal mengapa orang beragama atau argumentasi-alasan dari suatu tingkah laku keagmaaan. Dia tidak tertarik untuk menjelaskan apa itu agama. Namun demikian, Weber juga tetap berupaya untuk berbagi suatu pendekatan lazim kepada agama selaku suatu fenomena sosial dan meneliti hakikat kehidupan agama itu sendiri.Ada beberapa pokok pikiran Weber perihal agama diantaranya.
Pertama, Pendekatan Psikologis kepada Agama. Di dalam bukunya yang berjudul The Social Psychology of The World religions , Weber menguraikan pendekatan psikologis kepada agama. Di dalam buku tersebut, dia menolak pedoman yang menyatakan bahwa dalam menghubungkan agama dengan aspek-faktor sosial, sesorang harus memakai pendekatan yang bersifat reduksionis.
Weber menolak tesis yang menyampaikan bahwa agama yaitu suatu ilusi. Weber juga tidak bisa menerima teori-teori ihwal agama yang mengatakan bahwa agama merupakan sebuah bentuk pelarian dari penderitaan dan kesulitan hidup walaupun ia mengakui adanya relasi antara agama dan penderitaan.
Menurut Weber, dalam banyak tradisi keagamaan terutama dalam penduduk pra-industri, orang-orang yang mengalami kemalangan atau bencana berfikir bahwa kemalangan itu disebabkan kemarahan para ilahi yang menghukum mereka. Selain itu, mereka juga berfikir bahwa penderitaan atau sakit disebabkan oleh kerasukan roh-roh jahat yang murka akibat tindakan-perbuatan mereka. Sebenarnya asumsi masyarakat tersebut sudah salah dan terlalu yakin kepada yang kuasa-yang kuasa yang menurut mereka ada.
Kedua, Pokok pikiran Weber tentang agama pada suku-suku orisinil. Dimana dalam hal ini Weber mengamati bahwa motivasi tingkah laku keagamaan pada masyarakat sederhana biasanya ialah keinginan untuk menjaga hidup dan memperoleh kesejahteraan. Kepercayaan dan tingkah laku  keagamaan serta langkah-langkah-tindakan magis tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari dan nyaris selalu terarah pada tujuan-tujuan hemat,yakni kemakmuran hidup secara material.
Weber terkadang membuat perbedaan antara tindakan magis dan tingkah laku keagamaan. Menurut ia, tindakan magis biasanya bersifat manipulatif  dan cenderung memaksa dewi-dewi atau roh-roh halus untuk melakukan apa yang diinginkannya. Sementara itu,tingkah laku keagamaan atau agama terarah kepada penyembahan yang kuasa-dewi itu. Menurut Weber, agama-agama pada penduduk orisinil cenderung terarah terhadap hal-hal yang bersifat magis. Artinya dalam hal ini penduduk sangat percaya kepada ilahi-dewi bahwa ilahi akan melakukan apa yang mereka harapkan.
Ketiga, Pokok fikiran Weber perihal agama dan rasionalitas. Dalam kehidupan keagamaan, rasionalitas memiliki arti menetralisir faktor-aspek magis dalam praktik kehidupan keagamaan dan menyebarkan aliran-pedoman agama ke dalam satu metode iman yang bersifat formal. Dalam upaya berbagi agama ke dalam sistem doktrin yang bersifat formal dikembangkanlah bermacam disiplin ilmu yang berafiliasi dengan agama.Weber meyakini bahwa fatwa-pedoman agama mempunyai imbas kepada tingkah laris manusia dan beliau berminat untuk mengenali dampak dari fatwa-pedoman agama itu terhadap acara ekonomi (Bernard Raho, 2013: 98).
Sementara berdasarkan Peter L. Berger, Agama selaku hasil konstruksi insan melalui tiga tahap dialektik, adalah eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. (Peter Ludwig Berger,197:88) Inti dari ketiga momentum proses dialektis ini yaitu bahwa insan lewat tindakan dan interaksinya secara terus menerus menciptakan sebuah realitas sosial yang dimiliki bareng , termasuk realitas yang dialami sehari-hari. Berger mengetahui agama selaku bentuk proyeksi insan yang dihasilkan lewat eksternalisasi (Peter Ludwig Berger,197:180). Rumusan Berger perihal agama ini mampu menjadi titik-pola bagi kajian empiris terhadap agama, yang tentunya berada di luar kajian teologis dan etis. Melalui proses sosialisasi, agama melakukan pelanggengan dunia yang telah dikonstruksikan manusia. Di samping itu, agama melegitimasi realitas sosial yang ada. Agama membutuhkan struktur plausibilitas atau basis sosial guna mendukung keberadaannya.
Dengan demikian agama sangat berperan dalam membentuk perilaku penduduk , dan bisa membangun kesadaran insan untuk bertindak sesuai dengan dinamika nilai dalam masyarakat. Sekali lagi, dalam konteks ini,agama yang berintikan dogma (belief) akan mengarahkan bahkan membentuk sikap masyarakat (practice). Belief yang dalam ranah sosiologis dikategorikan sebagai sesuatu yang absurd dan berada dalam daerah kesadaran (mind) akan mendeterminasi sikap dan tindakan (matter) yang dilaksanakan oleh manusia, baik selaku individu atau penduduk dalam daerah kasatmata.
Ketika penduduk ialah “realitas” bagi insan – masyarakat adalah “buatan” insan dan di sisi lain insan sebagai pembangun penduduk dan dunia, dan manusia merupakan “subjek” yang beragama, maka sesuai dengan pemikiran konstruksionis Berger (dan Luckmann), agama akan mendeterminasi pranata sosial yang lahir dan berada dalam masyarakat, yang pastinya tidak mengeliminir unsur pembentuk lain seperti struktur sosial yang sudah ada. Agama sudah berubah menjadi menjadi bentuk norma dan sikap sekaligus, dan ia menjadi sebuah gejala budaya, di satu segi, serta menjadi metode budaya di segi lain. Dalam konteks ini, apa yang diungkapkan Clifford Geertz bahwa agama menjadi tata cara budaya (cultural system), sejalan dengan rancangan Berger wacana “kehadiran” Tuhan dalam masyarakat (theodicy) (Peter Ludwig Berger,197:53) 

KEJAHATAN DAN CAMPUR TANGAN TUHAN DALAM PERSPEKTIF TEODESI DAN TEOLOGI ISLAM 
Menurut persepsi Berger (1990) teodisi mensugesti secara eksklusif setiap  individu dalam kehidupannya sehari-hari  di penduduk . Salah satu fungsi sosial  penting teodisi yakni selaku klarifikasi hak kesetaraan dalam suatu kekuasaan dan keistimewaan yang diperoleh seorang insan dari Tuhan (Peter L. Berger, 1990: 58-59). 
Berger menggunakan konsep Teodisi untuk memberikan makna kepada penderitaan yang dialami insan di dunia, dengan sekaligus menjanjikan kebahagiaan ‘di dunia sana’. Dalam hubungan ini agama terang ialah sebuah kekuatan alienasi. Alienasi oleh Berger dikenali selaku terputusnya hubungan dialektik antara individu dengan dunianya. Meski sebaliknya agama juga memiliki kekuatan dealienasi.
Sejalan dengan kemajuan penduduk terbaru, Berger menyaksikan proses sekularisasi sebagai lepasnya berbagai sektor kehidupan masyarakat dari dominasi institusi dan simbol agama. Sedang sekularisasi itu sendiri berakar pada tradisi penduduk Israel kuno sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Lama. Hal ini jelas tampakdalam rancangan transendentalisasi Tuhan, motif historisasi dan rasionalisasi etis yang sungguh mewarnai Perjanjian Lama.
Teodisi selaku pemikiran filosofis yang bersentuhan dengan rancangan kejahatan, mirip dibilang Huston Smith, seperti watu karang (Huston Smith, 2003:329). Keadilan Tuhan merupakan problem filosofis yang sangat mendasar sehingga setiap metode yang rasional pada hasilnya akan terbentur dengan resistensi masalah epistemologis. Tetapi, hal itu bukan mempunyai arti bahwa pemahaman terhadap persoalan kehidupan tidak dapat dikenali, alasannya adalah persoalan ini bantu-membantu hanya duduk perkara cara pandang. Ibarat anak kecil yang menjatuhkan mainannya ke sungai, seakan insiden itu ialah akhir dunia baginya. Namun, tidak demikian halnya dengan pengertian sang ayah/ibunya.
Gambaran serupa juga terjadi pada diri seorang agamawan, filsuf, ilmuwan dan orang yang tidak beragama sekalipun ketika menatap pengalaman dan nilai-nilai pada dataran religius eksistensial. Seorang ateis akan mengatakan bahwa kejahatan tergolong duduk perkara yang bertentangan dengan keadilan Tuhan. Sedangkan kaum politeis, sebagaimana kaum dualis, akan berpendapat bahwa jikalau ada kejahatan dan kebaikan maka mereka meniscayakan adanya dua sumber wujud/Tuhan (Benyamin Abrahamov,1998:59). Artinya, setiap kejahatan dan kebaikan, masing-masing akan berhubungan dengan sumber atau pencipta yang berlainan. Tetapi, dalam dunia monoteis, meskipun dualitas itu masih ada, kebaikan tetap sebagai entitas tunggal. Sebaliknya, dalam kesadaran mistik, kejahatan lenyap sama sekali dan yang tinggal hanya kebaikan, yaitu Tuhan (Muthahhari, 1997: 123-124).
Karena itu, sebelum membahas lebih jauh ihwal problem teodisi perlu mengurai hakikat kejahatan. Apakah kejahatan ialah duduk perkara eksistensial dan kongkret ataukah persoalan noneksistensial dan relatif?
Meski jawabannya beragam, namun bagi kaum ateis, politeis dan dualis, jawabnya sama bahwa kejahatan mempunyai esensi, bahkan termasuk sifat-sifat buruk atau jahat; seperti pembohong, bakhil, khianat dan sebagainya merupakan sifat-sifat riil pada manusia, dan sifat tersebut sekaligus ialah esensinya. Kaum ateis memandang bahwa nilai merupakan salah satu faktor dari pengalaman sehingga kejahatan sebagai sebuah nilai mesti pula digali dari pengalaman. Dengan kata lain, nilai kejahatan tidak akan pernah ada jikalau beliau tidak termanifestasikan secara eksistensial di lapangan (Mackie, J. L, 1982: 52).
Sementara itu, kaum dualis, meski juga menegaskan adanya hakikat wujud kejahatan, bahu-membahu hendak membebaskan Tuhan dari kejahatan. Tetapi, dengan penegasannya itu mereka bukan saja sudah menyekutukan Tuhan dengan wujud lain selaku pembuat kejahatan, bahkan sudah mereduksi hasratdan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas selaku pencipta kebaikan semata. Pandangan ini di antaranya tercermin pada diri Leibniz yang berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat melaksanakan sesuatu yang secara logis tidak mungkin, walaupun dia segera memberi catatan bahwa fakta ini sama sekali tidak mengandung pengertian membatasi kemahakuasaan Tuhan (McCloskey, H. J, 1974: 14).
Lain halnya dengan Muthahhari yang memakai pendekatan Mu’tazilah dan kaum filsuf Muslim mirip Ibnu Sina dan Mulla Shadra. Dia mengatakan bahwa dikala Islam menatap alam, dia memandangnya dalam dua entitas yang berlawanan; kebaikan dan kejahatan. Tetapi, dalam kerangka pengertian yang lebih luas, alam ini dipandang sebagai zero kejahatan. Semua yang ada adalah baik karena metode yang mendasarinya ialah tata cara yang terbaik. Dari perspektif dalil ontologis Ibnu Sina, esensi semesta alam dan segala yang ada di dalamnya ialah kebaikan, sebuah keniscayaan dari wujud Tuhan sebagai wajib al-wujud bi dhatihi (ada berdasarkan dirinya sendiri).
Jika wujud Tuhan ialah wujud yang niscaya, maka kemahabaikan dan kemahaadilan-Nya ialah sifat yang pasti pula. Sebaliknya, segala yang ada selain Tuhan dari segi esensinya adalah mumkin al-wujud, mungkin mampu ada dan mungkin tidak. Artinya, kebaikan dan kejahatan yang ada di dunia merupakan sesuatu yang mungkin. Mereka menjadi ada alasannya mendapatkan limpahan wujud dari wajib al-wujud, namun alasannya adalah Tuhan itu Maha Baik, Maha Adil dan Maha Sempurna serta tidak mungkin bersifat sebaliknya, maka segala yang melimpah dari-Nya pada esensinya yaitu kebaikan. Dengan demikian, kejahatan yang ada di dunia yakni non-eksistensial dan relatif sebab secara mendasar esensinya ialah kebaikan.
Berangkat dari pedoman filosofis di atas, mampu dikatakan bahwa pernyataan “kejahatan di dunia bersifat eksistensial dan noneksistensial” ialah sama-sama mengandung kebenaran. Kejahatan dibilang non-eksistensial tidak bermakna bahwa kejahatan yang ada di penduduk tidak ada wujudnya alasannya adalah hal itu berlawanan dengan kemestian. Kenyataannya benar-benar disaksikan adanya kebutaan, ketulian, kemiskinan, penyakit, kezaliman, penganiayaan, kebodohan, kekurangan, ajal, gempa bumi, yang semua itu tidak dapat diingkari selaku sesuatu yang jahat. Dalam hal ini menawan untuk mencermati pernyataan Muthahhari (Muthahhari, 1997: 1558), bahwa:
“Kebaikan dan kejahatan di alam ini bukan dua hal yang berlawanan dan terpisah satu sama lain, sebagaimana berbedanya benda-benda mati dari tumbuh-tumbuhan, atau berkembang-tanaman dari hewan, yang masing-masing mempunyai barisan tertentu. Adalah kekeliruan bila membayangkan bahwa kejahatan memiliki barisan tertentu yang esensinya bersifat “jahat sejati” tanpa sedikit pun kebaikan di dalamnya, dan bahwa kebaikan mempunyai barisan tertentu yang berbeda dan esensinya bersifat “baik sejati” tanpa sedikit pun kejahatan di dalamnya. Yang benar ialah bahwa kebaikan dan kejahatan ialah dua hal yang menyatu tanpa bisa dipisah-pisahkan. Ketika di suatu bagian alam ada kejahatan, di situ niscaya ada kebaikan, dan di mana ada kebaikan pasti di situ ada kejahatan. Kebaikan dan kejahatan begitu menyatu dan bersenyawa di alam ini, bukan senyawa kimiawi melainkan senyawa yang lebih mendalam dan lebih halus, senyawa antara eksistensi dan non-eksistensi (tarkib al-wujud wa al-`adam)”.

PENUTUP
Dari pembahasan di atas mampu ditegaskan kembali bahwa dualisme wujud, yakni kejahatan dan kebaikan, pada dataran fenomenalnya memang ada, tetapi pada esensinya hanya ada kebaikan. Pandangan ini ialah konsekuensi dari kenyataan bahwa Tuhan selaku wajib al-wujud yaitu Maha Baik, Maha Adil dan Maha Sempurna sehingga apa pun yang melimpah dari-Nya niscaya mengandung esensi kebaikan. Dalam hal ini Muthahhari memastikan bahwa pada dataran fenomena tidak ada “kejahatan sejati” maupun “kebaikan sejati”, sedang pada dataran noumena cuma ada satu esensi, ialah kebaikan, alasannya substansi kejahatan sungguh-sungguh merupakan ketiadaan murni.
Sementara Berger memakai rancangan Teodisi untuk menawarkan makna kepada penderitaan yang dialami insan di dunia, dengan sekaligus menjanjikan kebahagiaan ‘di dunia sana’. Dalam korelasi ini agama terang merupakan suatu kekuatan alienasi. Alienasi oleh Berger diketahui sebagai terputusnya korelasi dialektik antara individu dengan dunianya. Menurut Berger teodisi mensugesti secara langsung setiap  individu dalam kehidupannya sehari-hari di masyarakat. Salah satu fungsi sosial  penting teodisi ialah sebagai klarifikasi hak kesetaraan dalam suatu kekuasaan dan keutamaan yang diperoleh seorang manusia dari Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (ed.) ‘Abd alKarim ‘Usman, Kairo: Maktabah Wahbah, 1965
Abrahamov, Benyamin, Ilmu Kalam: Tradisonalisme dan Rasionalisme dalam Teologi Islam, terjemahan Jakarta: Serambi, 1998
Al-Baghdadi, Abu Mansur bin Muhammad, Al-Farq Baina al-Firaq, Kairo: Maktabah Ibn Sina, tt
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Cet. II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
Berger, Peter Ludwig, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion New York: Anchor Books, 1967
Berkhof, Louis. Systematic Theology, USA: W.M.B. Eermands Publishing, 1981
Durkheim, Emile Sejarah Agama, terj. Inyiak Ridhwan Muzir, Ircisod, Yogyakarta, 2003
Durkheim, Emile, The Elementary Forms of Religious Life, translated by Joseph Ward Swain New York: Free Press, 1947
Hamilton, Malcolm B,. The Sociology of Religion, London: Routledge, 1995
Lari, Sayyid Mujtaba Musavi,  God and His Attributes: Lessons on Islamic Doctrine, trans. Hamid Algar, Potomac: Islamic Education Center, 1989
Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta: kanisius, 1993
Leibniz, Freiherr von Gottfried Wilhelm,  Theodicy:Essays on The Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, terj. Oleh E.M Huggard, Oxford: Biblio Bazaar, 2007
Mackie, J. L., The Miracle of Theism: Arguments for and Against the Existence of God, Oxford: Clarendon Press, 1982
Marx, Karl, Early Writings, London: Pinguin Books, 1992
McCloskey, H. J., God and Evil, Netherlands: Martinus Nijhoff, the Hague, 1974
Muthahhari, Murtadha, Al-‘Adl al-Ilahi, Cetakan III, Beirut Libanon: Al-Dar al-Islamiyah, 1997 
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-pedoman Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986
Raho, Bernard, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Jakarta: Penerbit Obor, 2013
Schneider, Laurel C, Beyond Monotheism, a Theology of Multiplicity, New York: Routledge, 2008
Smith, Huston, Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief, dalam terj. Ary Budiyanto, Bandung: Mizan, 2003