Untuk mengetahui hutan, maka akan ada budaya etika yang tradisional berdasarkan hasil dari tata cara politik, dan ekonomi yang dilangsungkan dengan baik. Ketika, mengerti penduduk budbahasa pelosok Dayak yang masih tidak tahu apa – apa pada kehidupan kota, maka akan berlainan dengan adanya tata cara budaya setempat, di masyarakat sampai saat ini.
Kepentingan penduduk kota, dalam hal ini yaitu adanya sumber daya alam, hutan, yang bersumber pada sumber kebutuhan utama. Untuk melanjutkan berbagai pertentangan yang tercipta mengenai batas – batas gereja, hendaknya dipahami dengan adanya perebutan sumber daya.
Berbagai hal terkait itu juga dilangsungkan, dimulai pada faktor pendidikan dan kelas pekerja yang mengharuskan mereka hidup di setempat, Kalimantan dengan kehidupan brutal. Ketika pergantian politik, bagaimana mereka numpang hidup di lokal, Indonesia pada masyarakat Jawa – Dayak dan Batak, tanpa budaya malu sebagai orang Indonesia.
Rencana kejahatan itu pun dibentuk pada seksualitas, tidak jauh dari kaum keluarga seorang petugas partai PDI Perjuangan, hanya kader politik yang mempunyai potensi menciptakan iseng dan onar, serta menghancurkan mental di masyarakat, dan individu, pedesaan.
Hal ini menerangkan banyak sekali koalisi penduduk Tionghoa dan Dayak di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat, dengan pekerjaan kedua orang bau tanah mereka sebelumnya, guna naik kelas sosial, dan berbagai hal numpang hidup sebelumnya tanpa aib terhadap hasil seksualitas Kapuas Hulu 1970an.
Berbagai hal terkait itu juga, bagaimana kehidupan sosial, dan mendapatkan aneka macam sejarah panjang mereka dalam kehidupan sosial dengan baik, dan beragam sesuai dengan ekonomi seksualitas yang mereka terapkan, dan bagaimana genetika itu hidup pada masyarakat kota di Pontianak.
Memahami genetika bong – batak hulu di lingkungan rumah yang beringas dan bersembunyi dibalik tembok agama, pada pendidikan yang dibentuk di Pontianak, dan budaya ekonomi, serta makan dan minum pada koridor rumah tangga 003, pada laki – laki mestinya punya malu untuk tinggal di rumah dan kehidupan sosial budaya, di masyarakat kota.
Dipahami pada pekerjaannya yang mereka terapkan pada lingkungan rumah tangga sampai ketika ini, banyak mencar ilmu budaya batak – dayak – jawa (makan orang, makan duit, budaya batak), di Pontianak, akan berlawanan, dengan ongkang kaki, berimajinasi untuk seksualitas, suatu pengalaman pribadi aku Batak – Jawa, Tionghoa pontianak siapa mereka, dan kerja dimana menjadi awal pertanyaan aku.
Menjadikan catatan kriminalitas kepada aktivitas ekonomi mereka, selama di Pontianak, dan bagaimana mereka bertahan hidup, dengan pekerjaan mereka saat ini 2017 – 2022. serta kecurangan dalam hidup, dan acara ekonomi dan budaya mereka di masyarakat, dan rumah tangga, dan tidak beraktivitas contohnya.
Budaya malu, pada orang pedesaan dan kota, sungguh jauh dengan tata cara kepentingan ekonomi di masyarakat kota, dan tiba ke kota enggan bekerja, namun banyak bicara, dan makan pun nebeng dengan perumpamaan itu, yang mereka peroleh dari hasil perjuangan hidup dan kelas mereka di masyarakat, tanpa aib dengan karakteristik mereka di masyarakat perkotaan, pada persoalanya ialah donasi.
Maka sandang, pangan dan papan menjadi sasaran kepada bantuan pada tembok agama mereka dimasyarakat, bahwa mereka beragama Kristen, Nasrani, di Lokal, Indonesia, tergolong hasil asimilasi Islam di Kalimantan Barat, Indonesia sebelumnya, dalam hal ini, pada mata pencaharian mereka menerangkan.
Strategi hidup mereka di masyarakat, Batak – makan orang di Pontianak cari hidup ketika asimilasi budaya dan agama, ialah mendekati secara seskualitas, bila ada masalah tentang orang renta angkat dalam agama Kitab Nasrani Protestan dan Kristen.
Dan kesadaran individu dalam sebuah budaya dan agama, otak kelas sosial kebawah – menegah, dan penghasut (orang Timur – Pontianak) hasil usaha kelas sosial pun terjadi, daei ekonomi seksualitas dan urbanisasi.