Kehidupan & Konflik Sosial, Agama Dan Budaya Pontianak – Jakarta Pada Era 2000 – 2008

Memahami agama dengan adanya moralitas, tentunya sedikit menjadi pengalaman menarik saat mengetahui darimana nenek moyang mereka berasal, dan beragama. Maka, banyak sekali kepentingan ekonomi sudah menjelaskan bagaimana kehidupan agama memiliki perbedaan filsafat yang berbeda dalam lingkungan terkecil.

Untuk mengetahui hal tersebut persoalanya yaitu ada pada kepentingan ekonomi sebelumnya yang berasal dari adanya budaya dan agama dalam kehidupan sosial yang menyimpang pada pedoman budha – Protestan di Pontianak, dan bagaimana mereka memberhalakan Tuhan.

Pengamatan hal tersebut dimulai dari resistensi mereka kepada banyak sekali anutan agama utamanya yang pro, dan bagaimana kantong politik berjalan yang ada pada setiap masing-masing petugas partai politik. Ketika mempesona sekali mempelajari agama tersebut, maka terperinci bagaimana mereka hidup dengan ekonomi dan pengetahuan yang miliki.

Hal ini menjelaskan bagaimana pembangunan kota Pontianak pada masa kolonial – dan abad ini berjalan dengan cara yang tidak baik atau kotor, serta birokrasi yang terbentuk kepada setiap pekerjaan atas keburukan orang dalam beragama Islam – Katolik – Protestan dan Budha di Indonesia.

Persoalan tersebut mendatangkan suatu observasi dalam daerah terkecil di Pontianak contohnya, menjadi bab penting dalam setiap kepentingan ekonomi, dan pekerja atau buruh. Penjelasan yang baik ketika mereka beragama, dan menciptakan pertentangan sosial, etnik, dan rumah tangga cuma seorang oknum dari hasil biologis dan di rencanakan dengan baik di RT 003.

Itu adalah otak – otang orang Jawa – Batak – Dayak – dan Tionghoa serta Melayu disini (kelas sosial kebawah – menegah), yang hidup bertetangga dalam kepentingan ekonomi politik perkotaan dan Jakarta, untuk bertahan hidup urbanisasi, dan bermigrasi contohnya yang memang mampu dijelaskan berasal dari agama Budha – Islam, tidak jauh dari lingkungan keluarga untuk para kriminal itu mestinya (orang).

  Perilaku Rasis Tidak Menghapus Rasisme

Perjalanan dari hasil sakramen menjadi penting dalam melihat janji babtis mereka kepada kepentingan ekonomi politik suatu agama, di Pontianak dan Kapuas Hulu menerangkan hal tersebut, hidup. 

Pada golongan kelas sosial kebawah cuma seorang buruh, dan dosen mesum di Pontianak Sihombing dan dokter gadungan tidak lepas dari moralitas rendah dan oknum orang Tionghoa  – Melayu yang numpang hidup di Indonesia, serta menciptakan kekacauan secara kolektif.

Itu ialah hasil moralitas dan adab yang rendah, ketika hendak tidak memiliki kekuasaan, ekonomi, dan budaya yang mendukung mereka dalam sebuah lingkungan penduduk , gereja dan Negara. 

Sehingga kehidupan sosial mereka menjadi menjijikan masing – masing agama (numpang hidup) dengan hasil pembangunan Nasional di Kalimantan Barat, dan Pontianak yang begitu jelek. Bagaimana tokoh agama ketika ini menanggapinya dalam pembangunan iktikad mereka di masyarakat, dikala ini ?