Pada pembangunan kota Pontianak, pada kurun kolonial yang diketahui dengan adanya masyarakat Melayu – Dayak urbansiasi Desa – Kota, dan Tionghoa menjadi faktor penting dalam melihat berbagai hal terkait problem manusianya.
Sebelumnya adanya pembentukan kota, dan agama maka kebuasan manusia akan terlihat pada tugas mereka di masyarakat baik itu pada metode ekonomi, budaya dan agama secara baik terkait dengan karakteristik penduduk Tionghoa Lai – Perbatasan.
Hasil resistensi pemerintah pada tempat kawasan walikota Pontianak Siregar 1993 – 1998 (sampah dimasyarakat Pontianak – Jakarta sebelumnya), hanya sebagai olok-olokan bagi setiap pekerjaannya di Pontianak, pada metode politik – birokrasi ketika itu. Peran budaya pada pembangunan era Orde Baru – Reformasi, selaku pribumi atas ketidaksenangan mereka kepada kaum penduduk Tionghoa Indonesia.
Setelah budaya politik sebelumnya pada abad kolonial belanda, maka identitas budaya dan agama (Sihombing, HKBP – Islam) numpang hidup selalu dimana-mana, menerangkan mata pencahariannya, sehabis berlindung dibalik tembok agama Kristen di Pontianak, bawah mereka tidak berdosa, bersungguh-sungguh gereja, dan menjadi pengurus gereja misalnya hasil kolektifitas dan pertentangan terjadi.
Hal ini menerangkan adanya pergeseran sosial yang layak dipahami dengan adanya duduk perkara manusia yang berpengaruh pada moralitas dan akhlak mereka selaku kelas sosial rendah sebelumnya, baik itu hasil drama kehidupan sosial di Jakarta guna bertahan hidup apakah sudah terjadi sebelumnya.
Maka, pembentukan perkotaan pontianak (orang) dan seksualitas pada abad sehabis kolonial – Kemerdekaan tepatnya pada kurun kemerdekaan RI berbagai paham agama dan ideology komunisme. Semakin meningkat sesuai dengan kompetisi dan globalisasi penduduk ekonomi pontianak, contohnya Batak atau Tionghoa ingin masuk pada seksualitas untuk menguasai ekonomi (mata uang) hasil seksulitas ingin direncanakan.
Menjelaskan adanya kebiadaban mereka selama hidup dengan moralitas dan dramaturgi kehidupan sosial yang dibuat berdasarkan hasil ekonomi, budaya yang menerangkan adanya ketidaksenangan, tidak mempunyai malu para kaum pribumi – Tionghoa yang berurbanisasi untuk menikmati ekonomi perkotaan Tionghoa di Pontianak terperinci telah menjadi baik pada pembangunan ekonomi Pontianak ketika ini 80an – 2000.
Kemajuaan perkotaan dan Desa, akan sungguh berlainan dikala mereka hidup pada ekonomi politik, dan kenikmatan mereka kepada sistem budaya di penduduk yang berjalan berlawanan sampai dikala ini. Ketika hal ini menjadi baik dengan adanya moralitas dan etika pada sebuah agama tertentu, tanpa harus memanfaatkan kehidupan sosial dalam suatu identitas budaya dan agama akan semakin baik terjadi.
Kawasan Pontianak, yang masih tidak baik tertata akan berlawanan jauh dengan Ibukota Jakarta yang tepatnya sarat dengan persaingan ekonomi, dan moralitas dalam suatu pembangunan yang ada di masyarakat pribumi – Tionghoa.
Hal ini menjelaskan pembangunan perkotaan ketika ini akan berefek pada tata cara ekonomi politik dan ketidaksiapan mereka terhadap pembangunan ekonomi kota yang layak diketahui dengan adanya kemajuaan kota Pontianak, dan pembangunan manusia yang berjalan dari kudeta dan ruang ekonomi dan budaya.
Dalam metode pembangunan ruko (arsitektur) dan rumah usang Tionghoa masa kini pada tahun 2000 – 2022 dikala ini, secara khusus dengan penataan kota Pontianak oleh Walikota Sutarmidji – Edi Rusdi Kamtono 2018 -2023, asli orang Melayu.