Kearifan lokal (local wisdom) sekarang menjadi sesuatu yang mulai pudar, jarang lagi terdengar. Di ruang publik terlebih, rasanya kering. Kecuali untuk kepentingan studi-studi ilmiah, kalimat kearifan lokal terdengar. Dengan jarang dibincangkannya tema kearifan setempat, tampaknya kita mulai teledor melestarikan peninggalan sejarah. Padahal dari kearifan setempat itulah kehidupan tenang dan kompak terlahir.
Dalam pembelajaran sejarah, legalisasi terhadap kearifan lokal perlu terus-menerus diangkat. Menjadi ide sentral jikalau perlu. Ya, pasti dengan tujuan memotivasi dan membangkitkan kecintaan kita terhadap keadaan lokalitas. Peninggalan atau warisan leluruh akan terus hidup. Bukan semata dalam kata dan ucapan, melainkan langkah-langkah.
Jangan berlebihan kita memimpikan nasionalisme, kalau kearifan lokal dilangkahi. Mestinya, bermula dari pembelajaran ihwal kecintaan terahdap kearifan setempat kita kuatkan. Selanjutnya, kita dengan efektif, tidak telalu susah menghidupkan kesadaran nasionalisme. Sebab, nasionalisme kebangsaan itu terlahir dari solidaritas penduduk setempat.
Kekuatan nasionalisme tak boleh tersekat. Apalagi diputuskan rantainya dengan sejarah kearifan setempat. Jika direview, sejarah nasionalisme Indonesia itu belakangan lahir. Setelah kearifan lokal, barulah nasionalisme menyusul. Karena jauh sebelum Indonesia terbentuk dengan iktikad nasionalismenya supaya penduduk bersatu, kearifan lokal lebih dulu dihidupkan.
Kearifan setempat itu berkorelasi dengan nilai luhur yang menjadi bikinan sejarah, inspirasi, kebaikan, solidaritas, kolektifisme penduduk , perilaku saling peduli dan empati (tolerance). Di masa terbaru semua spirit itu mulai luntur. Masyarakat karenanya sudah biasa dengan tema pluralisme, liberalisme dan Hak Asasi Manusia (HAM), yang kesemuanya itu berbau kebarat-baratan (Amerika sentris). Kita seolah lupa, produk lokalitas kita lebih unggul.
Jauh sebelum kita mengenali perihal dan narasi besar yang disisipkan kalangan Asing, kita telah mengenali kerja tolong-menolong. Semangat tolong menolong, berbagi dan menerapkan kebaikan sudah menjadi identitas leluhur kita. Tanpa ada acara yang diselundupkan, hal itu lebih murni. Kearifan lokal yang ditinggalkan para pendahulu kita mesti digelorakan.
Kurangi mengadopsi cara pandang Eropa atau Amerika yang kapitalis. Kiblat fatwa kita harusnya ditaruh pada tradisi kebaikan yang pernah ditunjukkan para nenek moyang kita. Beteng sekaligus kekuatan perlawanan kita kepada gelombang ekspansi aliran liberal Barat ada pada nilai kearifan lokal.
Mulai terasa sekarang, dimana penduduk kita direpotkan dengan konflik komunal, konflik suku dan gosip-isu primordial yang lain. Akankan kita terus dibenturkan?. Tentu, jikalau tidak secepatnya sadar diri maka kita dibentur-benturkan terus. Padahal kita semua ialah satu, kita bersaudara. Yang ada hanyalah mudharat dan kerugian yang didapati, bila soal perbedaan primordial kita jadikan perbedaan hingga melahirkan konflik.
Segera sadar, lalu kita rubah haluan berfikir kita. Kitalah masyarakat Indonesia yang punya kearifan lokal. Jangan berlebihan atau bahkan salah tafsir kepada nasionalisme, yang akhirnya berbuntut pada pengabaian nilai-nilai lokalitas. Kita seakan-akan lebih mendewakan nasionalisme, lalu menyingkirkan kearifan lokal. Disitulah kesesatan berfikir kita. Lekas sadar dan balik arah. Kedepankan, bahwa kearifan local yang perlu diprioritaskan.
Sepantasnya kearifan setempat menjadi di depan dan pengikat persatuan. Melalui kearifan setempat kita menumbuhkan nasionalisme. Jangan dibolak-balik nalarnya. Jangan sampai kita dituding sebagai generasi ahistoris. Sedari permulaan pemahaman soal integrasi itu terlahir dan dibudayakan dari pelosok-pelosok Desa.
Masyarakat di daerah terisolir di Nusantara ini telah sudah biasa dengan hidup rukun dan hening, tanpa mengenal gagasan nasionalisme pun mereka sudah damai. Kini dikala modernitas tiba, teknologi mulai dikenalkan ke masyarakat Desa, semua ketentraman dan ketenteraman itu mirip menghilang.