Keadilan Dalam Ekonomi
Salah satu dari tiga pilar kekuatan yang mensugesti keadaban publik adalah sektor ekonomi atau kominitas bisnis, dan fairness atau keadilan menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini sebab menyangkut masalah pembagian barang dan jasa yang terbatas terhadap semua orang. Dasar teori ekonomi yaitu bagaimana setiap orang memaksimalkan keuntungan atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya dari barang dan jasa yang terbatas. Penekanan dalam paradigma ini yakni “maksimalisasi” dan “terbatas”. Bagi seorang pelanggan atau pengguna barang dan jasa, tingkat kegunaan diukur dengan tingkat kepuasan, kesehatan, ketentraman, keselamatan, atau kemakmuran. Misalnya, dengan budget yang terbatas, seseorang berusaha menerima rumah gres yang memberinya kenyamanan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang dan jasa atau produsen, tingkat kegunaan diukur dengan tingkat profit atau pemasukan. Dengan pendidikan yang dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yang memberikannya pemasukan paling tinggi, atau dengan modal dan tenaga kerja yang ada, seorang produsen berupaya membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan keuntungan paling tinggi baginya.
Karena kelangkahan senantiasa muncul dalam ekonomi (atau dalam kehidupan manusia secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang dan jasa tidak pernah mampu dilepaskan dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak akan menjadi suatu dilema bila barang dan jasa atau sumber daya yang ada berlimpah hingga tidak ada harganya, seperti air maritim, angin dan mata hari, atau kalau di suatu wilayah yang sungguh luas dan sangat kaya akan sumber daya alam cuma ada segelintir manusia. Semakin langka barang dan jasa atau sumber daya (sementara, jumlah penduduk bertambah terus), makin besar persoalan distribusi, yang memiliki arti semakin besar masalah keadilan di dalam ekonomi.
Keadilan juga ialah sebuah topik penting dalam adab. Seperti yang mampu dikutip dari Bertens (2000)
sebagai berikut: susah sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis namun tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tak hirau kepada ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi yakni menyangkut akhlak bisnis, karena bisnis yakni kegiatan ekonomi.
Dari uraian singkat diatas didapat sebuah gambaran yang jelas bahwa keadaban publik dilihat dari aspek
ekonominya adalah menyangkut pendistribusian secara adil barang dan jasa ke siapa saja sesuai proporsinya masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi terjadi dalam banyak sekali aspek, mulai dari ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, tata cara penggajian hingga peluang mendapatkan pendidikan. Semua ini kesannya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi bersahabat kaitannya dengan problem kemiskinan dan kesenjangan. Adalah tidak mungkin untuk mengatakan bahwa sebuah bangsa sangat beradab kalau di negara tersebut sebagian besar orangnya sungguh miskin, buruh sungguh tertindas, sebagian besar petaninya adalah petani gurem, dan banyak industri melakukan buruh belum dewasa yang dibayar sangat murah (eksploitasi bawah umur).
Etika Bisnis dan Keadilan.
Bisnis yaitu aktivitas ekonomi, atau ekonomi adalah acara bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis
yang baik adalah yang senantiasa menghasilkan laba besar. Di dalam teori produsen (teori ekonomi mikro), dibilang bahwa setiap usahawan mencari keuntungan sebesar mungkin dengan biaya seminimum mungkin. Maksimalisasi laba ialah tema penting dalam ilmu administrasi ekonomi, dan ini merupakan cita-cita, atau dasar dari perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat semenjak kala merkantilisme pada abad ke 18 lalu. Ini juga yang mendorong negara-negara di Eropa Barat melaksanakan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah dan Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang dari V.O.C. yang balasannya menjajah Indonesia.
Kalau mengoptimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan muncul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaan/pebisnis akan berproduksi dengan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; kalau bisa tidak mengeluarkan satu senpun biaya yang berakti buru-burunya tidak digaji. Hingga saat ini aneka macam perkara yang mampu dilihat yang mencerminkan dasar fatwa bisnis kapitalis. Beberapa acuan mampu disebut di sini. Pertama, salah satu atau bahkan dapat dikatakan selaku motivasi utama dari perusahaan-perusahaan di negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang yaitu mencari tenaga kerja murah. Kedua, banyak perusahaan di Indonesia lebih suka memakai buruh lepas atau kontrakan ketimbang pegawai tetap demi keuntungan perusahaan. Ketiga, banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-penyedia kecil-kecilan, bukan sebab ingin membuatkan keuntungan dengan mereka melainkan untuk menghemat biaya bikinan dan sekaligus menggeser resiko bisnis akhir pergantian pasar secara tiba-tiba ke para penyedia -penyedia tersebut. Sedangkan dari sudut pandang etika, bisnis yang senantiasa membuat keuntungan besar tidak senantiasa dianggap sebaga bisnis yang cantik, kalau laba tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan seperti contohnya mengeluarkan uang upah yang sungguh murah atau dengan cara penipuan, misalnya memakai materi baku yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan pelanggan, seperti dalam masalah tahu dengan memakai bahan pengawet formalin.
Kasus formalin ini merupakan satu acuan konkrit dari suatu perilaku pebisnis/pelaku bisnis yang telah melanggar adab dalam bisnis atau yang umum disebut adab bisnis. Tetapi apakah adat bisnis itu sendiri? Menurut Keraf (1998) budbahasa berhubungan dengan kebiasaan hidup yang bagus, baik pada diri seseorang maupun
pada suatu masyarakat atau kalangan penduduk . Ini memiliki arti adat berkaitan dengan nilai-nilai, sistem hidup yang bagus, hukum hidup yang bagus, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf mengatakan bahwa budpekerti mampu dirumuskan sebagai refleksi krisis dan rasional perihal: (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai insan; dan perihal (b) problem-duduk perkara kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma sopan santun yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana akhlak bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yang manusiawi dalam melaksanakan bisnis, atau melaksanakan bisnis sesuai norma-norma sopan santun yang umum diterima.
Masalah budbahasa bisnis tidak cuma pada tingkat pengusaha/perusahaan secara individu, namun juga pada tingkat nasional, baik yang dikerjakan oleh masyarakat secara biasa atau pemerintah. Yang dikerjakan oleh penduduk , contohnya pemasaran dan pembelian kaset bajakan seperti yang terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yang dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan bersamaan di stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, dan di stadion Wembley di London, Inggris, pada 13 Juli 1985. Konser amal ini bermaksud untuk mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu lalu timbul kaset-kaset rekaman konser tersebut di sejumlah negara di Timur Tengah dan juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tersebut mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan ada yang menggunakan pita cukai Indonesia. Menurut isu dari Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yang terlibat di dalam pembajakan kaset tersebut.
Sedangkan pelanggaran adab bisnis yang dikerjakan pemerintah Indonesia selama ini bisa dilihat contohnya yakni dalam kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia mempunyai Undang-Undang Agraria dan UUD 1945 Pasal 33 menekankan keadilan dalam ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru sampai ketika ini tidak ada perjuangan mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani oleh penduduk kaya. Akibatnya, mirip yang hendak dibahas nanti, menurut Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 (paling final), jumlah keluarga tani tanpa lahan atau dengan lahan kurang dari 0,5 hektar (disebut petani gurem) meningkat terus.
Jadi, dari uraian diatas mampu dikatakan bahwa bicara etika bisnis yaitu bicara soal acara bisnis yang tidak merugikan salah satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf (1998), ada tiga target dan lingkup pokok etika bisnis. Pertama, adat bisnis sebagai etika profesi membahas aneka macam prinsip, keadaan, dan duduk perkara yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Sasaran kedua dari budpekerti bisnis yaitu untuk menyadarkan masyarakat, terutama konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas selaku pemilik aset biasa seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang dihentikan dilanggar oleh praktek bisnis siapa saja juga. Ketiga, adat bisnis pada tingkat makro, yaitu berbicara tentang tata cara ekonomi yang sungguh memilih etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, budpekerti bisnis ini atau disebut juga budbahasa ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kongkalikong, dan semacamnya yang snagat mensugesti tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi namun juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara.
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa budbahasa bisnis sebenarnya yakni bicara perihal keadilan, dan dalam hal ini ialah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah harus membagi semuanya dengan cara yang sama terhadap para anggota masyarakat. Konkritnya dalam faktor sosial ekonomi yaitu memberikan potensi yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang bagus atau kehidupan pantas. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan timbul bila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang tertentu yang tidak mempunyai hak khusus, mirip contohnya dalam mendapatkan proyek-proyek pembangunan atau izin impor seperti banyak terjadi pada kurun pemerintahan Orde Baru. Nepotisme ialah salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif.
Sedangkan menurut Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif ialah distribusi ekonomi yang merata tau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan. (hal. 142). Tetapi kini pertanyaannya yakni: apa yang menjadi dasar pembagian yang adil itu, apakah sama rata atau sesuai peran dan dukungan masing-masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) menyaksikan pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yang mengatakan bahwa pembagian bisa dikatakan adil jika semua orang menerima bab yang sama. Makara, dasar fatwa dari teori ini adalah bahwa membagi dengan adil mempunyai arti membagi rata. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini juga merupakan dogma lazim penduduk Perancis dalam revolusinya menumbangkan monarki absolut dan feodalisme pada periode ke 18 dan revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence pada tahun 1776 yang memastikan ”All men are created equal”. Pemikiran ini juga yang melandasi metode penyeleksian lazim dibanyak negara-negara maju dengan sistem ”one person one vote”.
Kedua, teori sosialistis yang menentukan prinsip keperluan setiap orang sebagai dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan penduduk adil, jika kebutuhan semua warganya tercukupi, mirip kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Secara positif, sosialisme terutama mempertimbangkan masalah-persoalan pekerjaan bagi kaum buruh dalam konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, diketahui dua prinsip, adalah bagaimana beban atau hal-hal yang berat mesti dibagi, yaitu hal-hal yang menuntut pengorbanan dari semua warga masyarakat, dan bagaimana hal-hal yang yummy untuk diperoleh mesti diberikan sesuai keperluan. Contoh dari prinsip pertama tersebut contohnya adalah setiap warga punya hak yang serupa untuk mendapatkan pekerjaan yang patut, tergolong orang-orang cacat, tetapi orang-orang yang menyandang cacat tubuh mesti diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, tidak seberat beban yang diberikan kepada pekerja-pekerja dengan keadaan badan yang prima. Sedangkan teladan dari prinsip kedua itu ialah contohnya honor atau upah dibilang adil bila sesuai dengan kebutuhan pekerja.
Ketiga, teori liberalistis yang menilai pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang tidak adil. Menurut teori ini, pembagian harus didasarkan pada perjuangan-perjuangan bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk mendapatkan sesuatu. Jadi yang bekerja keras mendapat lebih banyak dibandingkan yang malas bekerja. Jadi, pemfokusan dari teori ini adalah prestasi yang dilihat sebagai perwujudan opsi bebas seseorang. Tentu ada problem serius dengan teori ini, pada ketika seseorang tidak mampu berprestasi karena cacat atau orang yang menganggur diluar kemauannya sendiri, dan sebagainya. Dua teori pertama tersebut dalam prakteknya memiliki persoalan, terutama dalam ekonomi. Dalam teori pertama, ini artinya upah yang diterima seorang buruh pabrik sama dengan pendapatan dari pimpinan perusahaan. Walaupun seseorang berprestasi jauh lebih anggun dibandingkan orang lain, gaji mereka tetap sama, dan ini pasti sesuatu yang tidak adil. Demikian juga dilema dengan teori kedua. Keadilan distributif yang dianut oleh ekonomi sosialis ialah di mana semua orang dijamin keperluan ekonominya secara relatif sama terlepas dari pertolongan dan tugas atau prestasinya bagi kehidupan bareng atau perusahaan. Ini pun metode distribusi yang tidak adil, alasannya adalah setiap warga akan diberi jatah sesuai dengan keperluan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat minim. Jadi, tata cara pembagian sama rata malahan menimbulkan ketidakadilan.
Keadilan distributif sering juga dianggap sebagai kata lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang tidak
sependapat dengan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial harus dibedakan dengan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yang paling baik untuk menguraikan keadilan sosial yakni membedakannya dengan keadilan individual. Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya berlainan. Bertens (2000) menjelaskan selaku berikut: Pelaksanaan keadilan perorangan tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau mampu juga beberapa orang) saja. Dalam pelaksanaan keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung dari struktur-struktur penduduk di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Keadilan sosial tidak terealisasi, jika struktur-struktur masyarakat tidak memungkinkan. Karena itu di sini orang mengatakan juga tentang ketidakadilan struktural dan kemiskinan struktural. (hal.92).
Menurut Bertens (1997, 2000), jikalau keadilan artinya ialah menawarkan kepada setiap orang yang menjadi
haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, kalau hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana, jikalau hak-hak individual tercukupi. Lebih lanjut, Bertens (2000) menerangkan Keadilan individual terkadang dapat dilaksanakan dengan tepat. Karena kompleksitas penduduk terbaru, keadilan sosial tidak pernah dapat dijalankan dengan tepat. Setiap pergantian dalam masyarakat, seperti contohnya dinaikkannya pajak, mampu menimbulkan ketidakadilan struktural untuk kelompok tertentu. Keadilan sosial ialah impian yang mampu dihampiri semakin erat, tetapi tidak pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. (hal.93-94). Makara yang dimaksud di sini ialah bahwa di satu masyarakat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari pada di masyarakat lain, mirip contohnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat bagus. Tetapi mudah tidak ada satu penduduk atau negara pun di mana tidak ada duduk perkara keadilan sosial.
Ekonomi Berazas Pancasila
Keadilan dalam ekonomi juga intinya ialah peradaban ekonomi Indonesia yang dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila kemanusian yang adil dan beradab, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yakni tiga sila yang sifatnya paling asasi. Dari sini muncul
perumpamaan yang sudah menjadi baku “penduduk yang adil dan makmur”. Dua pengertian ini tidak bisa dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain dan bantu-membantu mensyaraktan kehidupan penduduk Indonesia yang baik Keadilan tidak akan tercapai kalau tidak tersedia barang yang cukup untuk menyanggupi kebutuhan hidup semua warga, sedangkan di segi lain, kemakmuran tidak akan menjamin tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia tidak dibagikan secara merata keseluruh warga masyarakat (Bertens, 2000).
Keadilan dalam ekonomi sering dikaitkan dengan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, untuk mencapai rakyat adil sejahtera dibutuhkan selain demokrasi politik juga demokrasi ekonomi yang berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yang cocok dengan kehidupan orisinil masyarakat Indonesia yang umum bermusyawarah untuk mufakat (Karman, 2006).
Keadilan dalam perekonomian Indonesia juga ditegaskan di dalam pidato Supomo dalam penyusunan naskah persiapan UUD 1945, mirip yang dikutip dari Suwarno (1993), Dalam negara yang menurut integralistik, yang berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan digunakan sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan namun pada hakekatnya negara yang akan memilih dimana dan dimasa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah kawasan atau yang akan diserahkan lepada sesuatu tubuh hukum prive atau terhadap seseorang, itu semua tergantung dari pada kepentingan negara, kepentingan rakyat semuanya Begitupun ihwal hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat penduduk Indonesia selaku masyarakat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup dari kaum tani dan negara mesti mempertahankan semoga tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga oleh sebab kekeluargaan itu sifatnya penduduk Timur, yang harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dipakai selaku salah satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106).
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, kehidupan penduduk dalam bidang sosial-ekonomi dikontrol oleh pasal-pasal 27 ayat 2, pasal 33, dan pasal 34. Dinyatakan di dalam pasal-pasal tersebut bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang pantas bagi kemanusiaan. Ini artinya setiap warganegara Indonesia mesti menerima pekerjaan supaya dia mampu memperoleh penghidupan yang layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun ada warganegara Indonesia yang tidak menerima pekerjaan (menganggur), dia tetap mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan patut. Ini berarti, jika dia bekerja, beliau berhak menerima upah yang manusiawi, dalam arti dengan upah tersebut beliau dapat hidup layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh dalam menunjukkan kehidupan patut baginya. Norma ini ditegaskan di dalam pasal 34 yang menyampaikan bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Di dalam ayat 1 pasal 33, dibilang bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bareng berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang bikinan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Walaupun di dalam ayat ini disebut secara eksplisit koperasi, tetapi di dalam realitas, asas kekeluargaan bisa juga dipraktekkan dalam bentuk-bentuk perjuangan non-koperasi. Seperti yang diterangkan oleh Suwarno (1993) sebagai berikut, mampu juga dengan usaha-usaha moderen dengan pengaturan sedemikian rupa, sehingga perjuangan-usaha yang mampu diurus oleh golongan-kelompok penduduk yang kurang besar lengan berkuasa dalam permodalan hendaknya diserahkan kepada mereka itu tidak seluruhnya diusahakan oleh yang berpengaruh permodalannya, sehingga menjadi konglomerat yang menguasai cabang-cabang bikinan dari hulu sampai hilar tanpa sisa sedikit pun untuk kawasan usaha kalangan yang lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan mampu juga dipraktekkan dalam pengelolaan perusahaan besar, yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sehingga para buruh bisa membeli saham perusahaan cukup mempunyai arti.(hal.135).
Tetapi, memang dalam kenyataannya, keadilan ekonomi mirip yang diamanatkan oleh Pasal 33 tersebut, sukar sekali direalisasikan. Seperti yang dapat dikutip dari Karman (2006), biaya bernegara terlalu besar merampas kemakmuran yang sebaiknya milik rakyat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri terhadap para kapitalistik. Pemerintah kehilangan tugas vital dalam mengelola sendiri kekayaan alam Perekonomian bangsa berjalan di luar amanat konstitusi Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan mirip pelaku industri manufaktur yang harus berjuang dalam metode mekanisme pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, sehabis berupaya payah menanam padi, nilai tukar hasil bikinan petani tak sepadan biaya buatan dan biaya hidup sehari-hari (hal.6)
Praktek-praktek ketidakadilan dalam ekonomi, baik yang dijalankan oleh pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh pembuat kebijakan, yang tidak cocok dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini sudah menimbulkan banyak problem dalam perekonomian nasional, mulai dari tingkat makro hingga mikro yang menghasilkan antara lain kemiskinan dan kesenjangan.