Kasus Pelanggaran HAM Yang Pernah Terjadi di Indonesia

Hak Asasi Manusia, atau kadang-kadang disingkat selaku HAM merupakan sebuah konsepsi bahwa manusia berhak mendapatkan perlakukan yg adil & setara. Akan tetapi, masih banyak pelanggaran HAM yg belum tuntas di Indonesia.

Kasus-kasus HAM yg pernah terjadi di Indonesia memiliki latar belakang yg berlawanan antara yg satu dgn yg lain. Padahal tiap tahunnya diperingati Hari HAM selaku pengingat untuk menegakkan semua pelanggaran HAM yg terjadi pada kasus-perkara tersebut, utamanya pada masalah yg belum segera tuntas.

Di Indonesia sendiri, ketua Komnas HAM menyatakan memang terdapat beberapa berkas yg masih tertahan terkait kasus pelanggaran HAM. Kasus tersebut pula cukup bervariasi tahunnya, khususnya perkara usang yg terus ditumpuk tiap masing-masing periode.

Berikut merupakan beberapa perkara HAM yg masih belum teratasi Indonesia, bahkan hingga sekarang. Sebab Komnas HAM hanya mampu melaksanakan kewajibannya pada tahap pengusutan, sedangkan tahap lanjutan merupakan hak dr Jaksa Agung.

Pembunuhan Munir

Pembunuhan Munir merupakan salah satu kasus HAM di Indonesia yg belum diusut tuntas

Munir Said Thalib yaitu seorang pelopor HAM yg banyak bersuara pada zaman Orde Baru. Ia telah banyak melaksanakan pembelaan hukum pada orang-orang tertindas.

Salah satunya ialah menjadi pembela keluarga korban penculikan paksa yg terjadi pada tahun 1997 & 1998. Bahkan, Munir menjadi salah satu anggota KONTRAS pada masa itu, sebuah komisi yg mengadvokasikan orang-orang yg hilang, diculik, atau dihilangkan.

Selain selaku advokat bagi para korban penculikan & penghilangan paksa, Munir pula merupakan sosok pengkritik pemerintah orde baru yg dianggap banyak melaksanakan penyelewengan.

Pada ketika itu, mengkritik pemerintahan merupakan suatu langkah-langkah yg sangat berbahaya. Kebebasan berpendapat belum sebaik kini, ditambah lagi tendensi negara untuk menyerang balik pengkritiknya.

Benar saja, pada tahun 2004, Munir didapatkan tewas dlm pesawat yg sedang terbang menuju Amsterdam.

Hasil autopsi yg dilakukan oleh tim forensik Belanda menemukan adanya senyawa arsenik dlm jasad Munir. Kuat prasangka bahwa penggagas HAM ini sengaja diracun oleh pihak-pihak tertentu karena tak mau berhenti mengkritik mereka.

Selain karena merupakan pembungkaman & penghilangan hak bersuara, masalah Munir ini pula merupakan penghilangan nyawa dengan-cara paksa, sehingga mampu dikategorikan selaku salah satu pelanggaran HAM yg cukup menyeramkan.

Kasus Munir menciptakan banyak pelopor menjadi was was & lebih waspada akan keamanan mereka saat mengkritik pemerintah atau orang-orang di posisi kuasa lainnya.

 

Pembunuhan Massal tahun 1965

Pembantaian setelah G30S PKI Merupakan salah satu pembantaian massal terparah di Indonesia

Peristiwa berdarah G30SPKI memang berakhir dgn sejumlah tanda tanya & mendapatkan sorotan dr banyak sekali pihak. Pada tahun 2012, penyelidikan yg dilaksanakan oleh Komnas HAM ternyata memperoleh pelanggaran HAM yg cukup berat seusai insiden tersebut.

Korban dr insiden ini yaitu anggota PKI, serta beberapa organisais masyarakat lain yg satu jalan dgn mereka. Bahkan, banyak masyarakat sipil yg tak sengaja dibunuh pula karena dianggap sebagai anggota PKI walaupun bukan.

Pelanggaran HAM tersebut berbentukpenganiayaan, perbudakan, pembunuhan massal, penghilangan paksa nyawa seseorang & pemerkosaan.

Setelah ditemukan oleh Komnas HAM & menerima perhatian dr Kejaksaan Agung, sampai sekarang perkara ini tengah di proses. Terakhir, jumlah korban yg diperkirakan dibunuh & meninggal pada pembunuhan massal di tahun 1965 tersebut mencapai hampir 1,5 juta orang, bahkan kemungkinannya bisa lebih besar.

Meskipun begitu, perkara ini sangat mempolarisasi masyarakat Indonesia, di satu sisi, penduduk Indonesia banyak sekali yg tidak senang PKI, tetapi, di lain segi, kekejaman TNI & oknum yang lain dlm menumpas balik PKI pula pantas dipertanyakan. Terlebih lagi tatkala banyak masyarakat sipil yg menjadi korban dr tindakan serangan balik ini.

 

Peristiwa Tanjung Priok 1984

Peristiwa tanjung priok merupakan salah satu kasus HAM pada tahun 1980an

Peristiwa Tanjung Priok merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM yg terjadi pada 12 September 1984. Peristiwa ini diawali dgn kehadiran anggota bintara ke Masjid As Saadah yg berlokasi di Tanjung Priok.

Bintara tersebut memerintahkan pengelola masjid untuk menurunkan spanduk-spanduk yg berbau kritik kepada pemerintahan saat itu, Orde Baru. Mendengar ajakan ini, pihak masjid menolak untuk melepasnya karena memang sudah prinsip & keleluasaan mereka untuk beropini.

Tidak terima, anggota bintara yg ada melepas paksa spanduk-spanduk yg ada di masjid tersebut. Sayangnya, mereka lalai & tak melepaskan bantalan kaki apalagi dulu, padahal ada batas suci dimana mereka mesti melepaskan ganjal kakinya.

Hal ini menyulut kemarahan para pengurus masjid & warga sekitar karena sungguh tak sopan. Akhirnya, mereka mengkremasi motor & memukuli para bintara yg masuk tanpa izin & tanpa melepas bantalan kakinya.

Menyikapi hal ini, pengelola masjid & warga sekitar yg ikut dlm penyerangan tersebut ditangkapi & dijebloskan dlm penjara. Dua hari kemudian, warga muslim Tanjung Priok melaksanakan demonstrasi untuk mendukung & meminta keleluasaan teman-sobat mereka.

Situasi kian memanas karena pihak militer tak menggubris tuntutan mereka. Akhirnya, terjadi keributan dimana pihak militer menembaki para demonstran untuk membubarkan mereka.

Berdasarkan hitungan resmi, kejadian ini mengakibatkan 24 orang tewas serta 54 orang terluka. Akan tetapi, berdasarkan asumsi, ada lebih dr lebih dr 100 warga Tanjung Priok yg tewas, hilang, ataupun terluka pada ketika demonstrasi tersebut.

 

Tragedi Semanggi & Kerusuhan Mei 1998 (Trisakti)

Tragedi Semanggi & Trisakti merupakan salah satu kasus HAM saat masa orde baru

Pada masa orde baru, pada 13 sampai 15 Mei terjadi kerusuhan yg cukup besar nyaris di seluruh tanah air. Awal kerusuhan ini kemungkinan dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap krisis finansial & ekonomi yg sedang melanda Asia, atau diketahui sebagai krisis moneter (krismon).

Ketegangan di masyarakat menjadi semakin tinggi & kondisi makin memburuk sehabis empat mahasiswa Trisaskti tewas tatkala melakukan unjuk rasa di tanggal 12 Mei.

Beberapa fakta dr peristiwa tersebut, terangkum dlm beberapa poin berikut ini, diantaranya yakni:

  • Kerusuhan menyebar di seluruh tanah air, & puncaknya berada di Jakarta sebagai ibu kota negara.
  • Terjadi mis-komunikasi & salah pandangan antar instansi pengadilan negara, baik antara DPR, Komnas HAM, & Kejaksaan Agung.
  • Kejaksaan Agung menyampaikan bahwa kasus ini bisa ditindak lanjuti jika mendapatkan rekomendasi dr DPR ke Presiden, tetapi sampai sekarang belum mendapat saran, jadi dikembalikan ke Komnas HAM.
  • Beberapa tahun kemudian, Kejaksaan Agung beralasan bahwa DPR tidak ingin menawarkan anjuran karena tak didapatkan adanya pelanggaran HAM berat di dalamnya. Sedangkan alasan yg lain, Kejaksaan Agung menilai bahwa kasus ini telah selesai di Pengadilan Militer tahun 1999.

Terlepas dr semua fakta tersebut, sampai dikala ini perkara Trisakti & Peristiwa Semanggi belum mendapatkan titik temu & solusi yg jelas. Lembaga negara pula terkesan lambat dlm mengambil tindakan penyelesaian.

Masih banyak pula elemen-elemen mahasiswa yg mendorong pemerintah untuk menyelesaikan perkara ini & menunjukkan transparansi sejelas-jelasnya.

 

Kasus Marsinah

Marsinah merupakan aktivis buruh yg dihilangkan & dibunuh

Marsinah yakni seorang buruh pabrik yg tinggal di Jawa Timur. Beliau pula merupakan seorang penggerak yg cukup populer pada zaman Orde Baru.

Pada tahun 1993, Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yg berisi agar perusahaan di Jawa Timur memaksimalkan upah buruh sebesar 20% dr honor pokok. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup para buruh & meminimalisir angka kemiskinan.

Akan tetapi PT tempat Marsinah melakukan pekerjaan , PT Catur Putra Surya, tak terlalu setuju dgn himbauan ini. Mereka menolak himbauan ini karena akan meningkatkan beban operasional pabrik & menghemat margin keuntungan.

Akibatnya, Marsinah & kawan-kawannya mogok kerja & melaksanakan demonstrasi pada tanggal 3 & 4 Mei 1993. Selain berunjuk rasa, Marsinah beserta 13 perwakilan buruh pula melaksanakan diskusi diplomatis dgn pihak pabrik.

Mereka berharap bahwa pihak perusahaan akan bisa untuk menyaksikan manfaat dr menaikkan upah buruh. Sayangnya, diskusi berjalan alot & tak mampu membuahkan hasil.

Pada tanggal 5 Mei, siang harinya, 13 sobat Marsinah ditangkap Kodim Sidoarjo karena tuduhan menghasut para buruh supaya tak masuk kerja & mengadakan rapat gelap.

Mereka dipaksa untuk mengundurkan diri & berhenti melaksanakan aksi-aksi melawan perusahaan. Marsinah kemudian tiba ke Kodim untuk menanyakan kondisi rekan-rekannya.

Malamnya, Marsinah menghilang tanpa kabar, sahabat-temannya bahkan tak ada yg tahu keberadaannya. Selama tiga hari tiga malam, sobat-sahabat Marsinah mencarinya, tetapi tak berhasil ditemukan.

Marsinah baru ditemukan pada tanggal 8 Mei 1993 dlm keadaan sudah meninggal. Berdasarkan hasil otopsi, Marsinah mengalami penyiksaan yg berat sebelum menghela nafas terakhirnya.

 

Pelanggaran HAM di Aceh

Aksi represi & pembantaian GAM di Aceh merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia

Pada tahun 1990 hingga 1998 terjadi kerusuhan & pemberontakan rakyat Aceh. Salah satu penyebabnya adalah karena mereka tak puas dgn pemerintahan dikala itu sehingga lebih memilih untuk memisahkan diri.

Untuk menghindari hal-hal yg tak diharapkan, pemerintah Indonesia menyelenggarakan operasi militer untuk mendamaikan daerah Aceh. Sayangnya, operasi militer yg semestinya mendamaikan ini justru menjadi bukti kebrutalan TNI saat itu dlm menumpas pemberontak.

Akibat dr operasi militer ini, ada beberapa kasus pelanggaran HAM yg terjadi. Operasi ini tak cuma menewaskan pemberontak namun pula warga sipil yg kerap berada di tempat yg salah, atau disangka selaku pemberontak.

Banyak warga Aceh yg meninggal akhir operasi yg berlangsung selama 8 tahun ini. Menurut catatan, ada sekitar 9 ribu hingga 12 ribu korban jiwa yg jatuh.

Oleh karena itu, masalah penertiban & penumpasan pemberontakan Aceh merupakan salah satu perkara pelanggaran hak asasi insan yg cukup parah di Indonesia.

 

Tragedi Wamena

Tragedi wamena di Papua merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia

Tragedi pelanggaran HAM pula pernah terjadi di Papua, yg sering disebut selaku tragedi Wamena. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 2003 pada awal bulan April, & berjalan pada dini hari.

Awalnya insiden tersebut dimulai dgn pembobolan gudang senjata markas Kodim Wamena, dimana penyerang menjinjing lari amunisi & senjata api. Pada penyerangan tersebut, dua anggota Kodim tercatat meninggal dunia, yakni Lettu Tentara Nasional Indonesia AD Napitulu, & serdadu Ruben Kana, yg merupakan tentara penjaga gudang senjata.

Untuk menyisir pelaku pembunuhan tersebut, abdnegara Tentara Nasional Indonesia-Polisi Republik Indonesia melaksanakan penangkapan & penyiksaan pada penduduk lokal. Sayangnya, Tentara Nasional Indonesia & Polisi Republik Indonesia melakukan penyisiran ini dgn cukup brutal pada masyarakat sekitar.

Banyak korban jiwa berjatuhan karena bencana ini, mulai dr perampasan paksa yg menimbulkan korban jiwa, & pengungsian penduduk dengan-cara paksa untuk memperoleh pelaku yg masih lari.

Pada pemindahan paksa tersebut, disebutkan bahwa 42 orang meninggal karena kelaparan, sedangkan 15 yg lain menjadi korban perampasan.

Komnas HAM yg mengusut perkara ini menemukan banyak sekali tanda bahwa terdapat pemaksaan tanda tangan surat pernyataan, berikut pula perusakan kemudahan lazim. Bahkan di pihak Kejaksaan Agung sendiri, perkara ini masih belum ada pertumbuhan karena tarik ulur antara menyebarkan instansi aturan.

Tragedi Wamena ini timbul lagi ke permukaan & santer diberitakan setelah peristiwa mahasiswa Papua yg didiskriminasi oleh polisi gres-baru ini. Oleh karena itu, pemerintah & forum-lembaga HAM kembali disorot untuk menyelesaikan kasus ini.

 

Peristiwa Talangsari di Lampung

Peristiwa talangsari di Lampung merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia

Pada tahun 1989 terjadi peristiwa yg merupakan pelanggaran HAM berat di Lampung, Sumatera. Di bulan Maret tahun 2005, Komnas HAM berkomitmen untuk melaksanakan penyelidikan pada insiden Talangsari yg terjadi di daerah tersebut.

Dua bulan setelahnya, Komnas HAM menyatakan terdapat beberapa komponen pelanggaran HAM berat pada insiden tersebut & menenteng berkas pengusutan ke Kejaksaan Agung. Berkas tersebut masuk ke daftar perkara pelanggaran HAM di tahun 2006, namun sampai kini masalah tersebut belum mendapatkan titik temu.

Beberapa fakta perihal insiden tersebut antar lain:

  • Tercatat penyerangan dipimpin oleh Kolonel Hendropriyono, yg merupakan pimpinan Danrem Garuda Hitam nomor 043.
  • Penyerbuan & penyerangan tersebut kemungkinan karena hendak menghentikan aktivitas yg dikerjakan oleh Jamaah pengajian di Talangsari. Pasalnya terdapat isu mereka hendak mengubah Pancasila menjadi Al-Quran & Hadist, yg saat itu di pimpin oleh Warsidi selaku pemimpin pengajian.
  • Akan tetapi banyak jama’ah yg malah dinyatakan menghilang, perkampungan yg dibumi hanguskan & masih ditutup hingga dikala ini.

Peristiwa ini terjadi lantaran ada isu bahwa terdapat jemaat islam yg hendak makar dr pemerintah. Saat itu, pemerintah memang sangat represif dgn desain tunggal pancasilanya, meskipun begitu, isu ini belum mampu diverifikasi.

Oleh karena itu, camat, kepala dusun, beserta kapten & komandan polisi setempat hendak mendatangi kelompok ini & meminta keterangan. Sayangnya, kedatangan rombongan besar ini dianggap selaku langkah-langkah penyerangan oleh pemerintah, sehingga dihujani panah oleh jamaah tersebut.

Menyikapi hal ini, keesokan harinya, Tentara Nasional Indonesia & polisi mengepung & menyerang golongan ini dgn sekitar 3 pleton tentara & 40 anggota brimob. Tercatat terdapat ratusan masyarakat sipil yg dibantai dlm penyerangan ini & banyak lagi yg terluka.

 

Pembantaian Rawagede

Pembantaian rawagede oleh militer belanda merupakan salah satu kasus HAM di Indonesia

Pada aksi militer Belanda yg pertama, tepatnya pada tanggal 9 Desember 1947, terjadi pembantaian di kampung Rawagede yg dijalankan oleh militer Belanda.

Pembantaian ini terjadi karena banyak masyarakat sipil yg mengungsi ke rawagede tatkala Belanda menyerang Bekasi & Karawang. Belanda mengira bahwa dr penduduk sipil yg mengungsi tersebut, terdapat komponen-bagian tentara Indonesia yg membaur dgn masyarakat.

Oleh karena itu, militer Belanda tanpa pikir panjang langsung menyisir & mengamankan penduduk yg mengungsi ke Rawagede. Dalam pengawalan & penyisiran ini, banyak masyarakat sipil yg dibunuh tanpa argumentasi terperinci.

Pembantaian Rawagede ini menewaskan sekitar 431 penduduk. Setahun kemudian, Belanda kembali menyerang kampung ini tanpa argumentasi. Sebanyak 35 warga Rawagede tewas akhir serangan ini.

Pengadilan HAM Internasional baru memproses perkara ini berpuluh-puluh tahun kemudian, sesudah Indonesia merdeka & Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

Pada September 2011, pengadilan menetapkan bahwa pemerintah Belanda bersalah & mesti bertanggung jawab serta menunjukkan kompensasi pada keluarga korban pembantaian ini.

 

Penembakan Misterius tahun 1982 sampai 1985 (PETRUS)

Salah satu kasus HAM pada masa orde baru adalah adanya penembakan misterius yg membunuh orang yg dianggap kriminal

Petrus, atau lebih sering diketahui selaku penembakan misterius merupakan serangkaian pembunuhan yg dijalankan pada masa pemerintahan presiden Soeharto.

Memiliki nama lain selaku Operasi Clurit, dalih pembunuhan tersebut dikarenakan untuk menangani tingkat kejahatan yg ketika itu cukup tinggi. Namun, banyak yg beropini bahwa operasi ini pula bermaksud untuk membungkam musuh-lawan politik Soeharto.

Operasi ini melingkupi kegiatan penangkapan & pembunuhan, utamanya untuk penduduk yg mengganggu ketertiban lazim. Pusat penembakan misterius ini terjadi di Jawa Tengah & Jakarta, dgn pelaku yg hingga kini tak diketahui siapa. Bahkan hingga kini pelaku tak didapatkan & tak pernah diadili.

Berdasarkan data yg di himpun oleh Komnas HAM, ratusan orang telah terbunuh dlm peristiwa berdarah selama empat tahun ini, dgn rincian:

  • Di tahun 1983, terdapat 532 orang yg tewas terbunuh. Separuh lebih, yakni 367 orang meninggal karena luka tembakan.
  • Pada tahun 1984, 107 orang dinyatakan tewas & hilang. Sekitar 15 orang tewas ditembak, sedangkan sisanya dibunuh dgn cara yg beragam.
  • Pada tahun 1985, tercatat 74 orang meninggal & tak diketahui sebabnya. Sekitar 28 orang dibunuh dgn cara ditembak.

Meskipun saat itu kondisi keamanan menjadi lebih baik karena maling-maling menjadi takut saat melaksanakan aksinya, kondisi demokrasi menjadi kian menurun.

Hal ini karena para penggagas takut dicap selaku kriminal tatkala melancarkan unjuk rasa atau kritik, sehingga bisa saja ditembak kapanpun oleh penembak misterius ini.

 

Penculikan Aktivis 1997/1998

Saat masa orde baru, banyak aktivis & mahasiswa yg diculik & dihilangkan

Pada tahun 1997 & 1998, Indonesia mengalami pergolakan yg cukup hebat di berbagai lapisan masyarakat. Saat itu, ketidakpuasan terhadap pemerintah menciptakan banyak penggagas makin vokal menyuarakan penolakan kepada pemerintah.

Seiring dgn kritik mahasiswa yg semakin keras pada pemerintah, pihak penguasa pun memutar nalar untuk meminimalisir kritik-kritik tersebut. Salah satunya adalah dgn mengamankan & menangkap orang-orang yg dianggap sebagai provokator.

Keadaan menjadi kian memanas menjelang pemilu 1997 & sidang MPR 1998. Retorika yg dikeluarkan oleh mahasiswa & para pencetus makin membara pada pemerintah. Keadaan yg semakin genting ini berbuntut penghilangan orang dengan-cara paksa.

Harapannya yakni, massa pencetus & mahasiswa akan kehilangan semangat & takut untuk bersuara tatkala sobat-temannya dihilangkan. Sebanyak 23 penggagas hilang pada periode tersebut. Sembilan diantara mereka dilepaskan kembali, satu korban didapatkan tewas, & 13 korban hilang, yang lain tak pernah kembali hingga kini.

Penculikan yg dikerjakan oleh pegawapemerintah negara ini terjadi di banyak sekali wilayah, beberapa diantaranya yaitu Solo, Lampung, & paling banyak di Jakarta.

Banyak yg menerka bahwa para pencetus diinterogasi kemudian dibunuh & dibuang di tempat-tempat terpencil agar tak dapat ditemukan. Ada yg menduga bahwa mereka dimasukkan kedalam tong minyak & diisi oleh beton, lalu dibuang di tengah maritim. Ada pula yg berasumsi bahwa jasad mereka dibuang di hutan biar dikonsumsi oleh binatang buas.

 

Pembantaian Santa Cruz

Pembantaian Santa Cruz merupakan salah satu kasus HAM di Indonesia

Pembantaian Santa Cruz terjadi di Dili, Timor Timur, pada tanggal 12 November 1991. Sekarang, timor timur telah menjelma negara independen yakni Timor Leste.

Tragedi ini diawali dgn planning kehadiran anggota dewan perwakilan rakyat Portugal & 12 wartawan ke Timor Timur. Akan tetapi, pemerintah Indonesia keberatan dgn kehadiran salah satu perwakilan wartawan yg berkebangsaan Australia karena wartawan ini dicurigai mendukung kemerdekaan Timor Leste.

Saat itu memang Australia sangat mendukung kemerdekaan Timor Leste. Hal ini disangka disebabkan oleh cadangan minyak yg sangat besar di perairan Timor. Timor Leste pula dapat menjadi zona buffer jikalau nanti di masa depan, terjadi konflik antara Indonesia dgn Australia.

Menanggapi hal ini, pemerintah Indonesia pun membatalkan kunjungan tersebut dgn alasan adanya wartawan yg berat sebelah. Mahasiswa yg mengenali peniadaan ini pun merasa sungguh kecewa.

Buntut kekecewaan ini yakni terjadinya konfrontasi antara pihak pro integrasi & pihak pro kemerdekaan pada tanggal 28 Oktober 1991 di gereja Motael Dili. Konfrontasi ini menyebabkan dua orang tewas, Sebastiao Gomes dr pro kemerdekaan & Afonso Henriques dr pro integrasi.

Mahasiswa menjadi semakin murka, mereka pun mengadakan aksi protes ketika proses pemakaman Gomes. Dalam melancarkan protes ini, banyak mahasiswa yg melakukan kerusuhan & mengganggu ketertiban sipil.

Banyak pula yg menyerang tentara yg mempertahankan pemakaman. Tidak terima provokasi ini, tentara pun mulai memukuli & menyuruh pendemo untuk bubar. Sayangnya, seruan ini tak digubris & malah memperbesar anarkisme dr mahasiswa yg memang sudah sakit hati dgn perilaku tentara.

Akhirnya, tentara Indonesia melepaskan tembakan-tembakan ke arah kerumunan pendemo tersebut. Akibat serangan ini, 271 orang tewas, 250 orang menghilang, & sekitar 382 orang terluka.

Peristiwa ini pula sukses direkam oleh jurnalis Australia & Amerika yaitu Stahl, Goodman, & Allan Nairn. Dokumenter ini menjadi suatu senjata untuk mempermalukan Indonesia di kancah Internasional & mendukung kemerdekaan Timor.

Pembantaian Santa Cruz ini pula menjadi salah satu pendorong kemerdekaan Timor, karena kini, mereka disokong oleh komunitas Internasional.

Itulah beberapa masalah-masalah HAM yg pernah terjadi di Indonesia & masih belum diusut tuntas sampai sekarang. Lambannya pihak hukum nasional menggarap kasus tersebut, kemungkinan besar karena adanya campur tangan banyak pihak yg berkuasa.

  Lembaga Eksekutif: Pengertian, Wewenang, Tugas, dan Lembaganya