Suasana panas di Tanjung Priok sudah di rasakan sebulan sebelum kejadian itu terjadi. Upaya -upaya provokatif memancing massa sudah banyak dijalankan diantaranya, pembangunan gedung bioskup tugu yg sering memutar film maksiat yang berdiri persis berseberangan degan masjid Al-hidayah. Tokoh-tokoh islam menerka keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yg memusuhi islam. Suasana rekayasa ini khususnya sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung priok. Sebab, di kawasan lain kota di jakarta terjadi sensor yg ketat terhadap para mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis islam para mubalighnya bebas sekali untuk mengatakan, bahkan mengkritik pemerintah & menentang azas tunggal pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir & syarifudin Prawiranegara bergotong-royong telah melarang ulama untuk datang ke tanjung priok supaya tak masuk perangkap, namun undangan itu rupanya tidakterdengar oleh ulama-ulama tanjung priok.
Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dlm peristiwa berdarah itu. Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yg tewas sebanyak 18 orang & yg luka-luka 53 orang. Tapi data dr Sontak (SOlidaritas Untuk kejadian Tanjung Priok) jumlah korban yg tewas mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yg ditangkap militer mengalami banyak sekali macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri yaitu salah satu korban yg tewas diberondong peluru tentara…
Pengadilan HAM Jakarta Pusat yg berwenang mengusut & mengadili perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah menyelesaikan tugasnya untuk mengadili masalah tersebut pada pertengahan tahun 2004 yg kemudian. Perkara terakhir yg diputuskan oleh Pengadilan HAM Jakarta Pusat yaitu perkara Sutrisno Mascung, dkk, yakni pada 20 Agustus 2004, dgn putusan terdakwa Sutrisno Mascung, dkk sudah terbukti dengan-cara sah & meyakinkan melaksanakan pelanggaran HAM yg berat berbentukpembunuhan & percobaan pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno Mascung, dkk dijatuhi pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno Mascung, & 2 tahun penjara untuk anggotanya2.
Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putra Surya Porong, Jatim
Latar Belakang
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) pabrik tempat kerja Marsinah resah lantaran ada kabar kenaikan upah berdasarkan Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pebisnis untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dr upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap kepingan untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dgn himbauan dlm Surat Edaran Gubernur.
Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tak masuk kerja, kecuali staf & para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data wacana daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yg ingin Marsinah perlihatkan pada pihak pebisnis sebagai penguat tuntutan pekerja yg hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dgn mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dr ketiga shift serempak masuk pagi & mereka bareng -sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dlm pabrik. Satpam yg mempertahankan pabrik menghalang-halangi para buruh shift II & shift III. Para satpam pula mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster & spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI pada para pengunjuk rasa.
Aparat dr koramil & kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berjalan. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dgn pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dgn hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan mitra-kawannya. Marsinah terlihat antusiasmenyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dr buruh yg tak mau mengurangi tuntutan. Khususnya perihal pemberian tetap yg belum dibayarkan usahawan & upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dgn kepmen 50/1992 perihal Upah Minimum Regional. Setelah negosiasi yg melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Namun, pertentangan antara kalangan buruh dgn usahawan tersebut belum rampung. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu dijelaskan dlm surat dr kelurahan Siring. Tanpa dasar atau argumentasi yg terang, pihak tentara mendesak semoga ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK lantaran tekanan fisik & psikologis yg bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yg sama.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan eksistensi rekan-rekannya yg sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Marsinah murka saat mengetahui perlakuan tentara pada mitra-kawannya. Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut pada Pamannya yg berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dgn menenteng surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tak dipahami oleh rekan-rekannya hingga jadinya didapatkan sudah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993
Kematian Marsinah
Mayatnya didapatkan di gubuk petani akrab hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yg tak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dlm posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin lantaran diseret dlm kondisi terikat. Tulang panggulnya hancur lantaran pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, disangka karena penganiayaan dgn benda tumpul. Pada bagian yg sama menempel kain putih yg berlumuran darah. Mayatnya didapatkan dlm keadaan lemas, mengenaskan.
Proses Penyelidikan & Penyidikan
Tanggal 30 September 1993 sudah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan pengusutan & penyidikan masalah pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu yakni Kapolda Jatim dgn Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim & beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS (Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut & Porong; Yudi Astono, 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto, 22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bambang Wuryantoyo, 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat, 43 tahun, karyawan & sopir di PT CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi, 57 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun, kepala potongan buatan PT CPS Porong) ditangkap dengan-cara diam-membisu & tanpa mekanisme resmi, tergolong Mutiari, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS & satu-satunya perempuan yg ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yg kemudian dipahami sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yg diinterogasi dipaksa mengaku sudah membuat skenario & menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, hasilnya dipahami mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dgn tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum pegawapemerintah kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu sudah menangkap & menilik 10 orang yg disangka terlibat pembunuhan kepada Marsinah. Salah seorang dr 10 orang yg diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yg dipersangkakan Penyidik Polda Jatim kepada para tersangka dlm Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi tatkala menyebutkan, Suprapto (pekerja di belahan kontrol CPS) menjemput Marsinah dgn motornya di dekat rumah kos Marsinah. ia dibawa ke pabrik, kemudian dibawa lagi dgn Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yg lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, tetapi mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi & Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dr segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya sudah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga timbul tuduhan bahwa penyelidikan masalah ini yaitu “direkayasa”.
Temuan Komnas HAM
Tim Komnas HAM dlm pengusutan permulaan melihat ada indikasi keterlibatan tiga anggota militer & seorang sipil dlm perkara
pembunuhan Marsinah. Salah satu anggota Komnas HAM Irjen Pol. (Purn) Koesparmono Irsan mengemukakan, agar perkara itu bisa terungkap harus ada keterbukaan semua pihak dgn berlandaskan aturan, bukan permasalahan politik. Ia berpendapat, jika persoalan itu dibuka dengan-cara tuntas maka dapat dipercaya semua orang akan terangkat. “Yang jelas Marsinah itu dibunuh bukan mati dhewe, tentu ada pelakunya, mari kita buka dgn legawa. Makin terbuka sebetulnya dapat dipercaya siapa saja makin terangkat. Tidak ada cita-cita menjelekkan yg lain,” katanya. Ia mengakui bahwa masalah yg sudah terjadi tujuh tahun kemudian itu hampir
mendekati kedaluwarsa untuk diproses dengan-cara aturan. Kendala yg dihadapi kepolisian saat ini yakni permasalahan pengesahan dr semua pihak. “Mau nggak mengakui sesuatu yg memang terjadi. Makanya saya kembalikan, mari tegakkan hukum, jangan politiknya. Kalau aturan itu ‘kan tak mengenal Koesparmono, atau pangkatnya apa, tetapi yg ada yaitu orang yg melaksanakan. Kalau ini dibawa ke suatu arena politik yg ada solidaritas politik,” katanya.
Temuan lain Komnas HAM yakni dlm proses penangkapan & penahanan para terdakwa dlm Kasus Marsinah itu melanggar hak asasi insan. Bentuk pelanggaran yg disebutnya bertentangan dgn KUHAP itu, antara lain, adanya penganiayaan baik fisik maupun mental. Komnas HAM mengimbau, pelaku penganiayaan itu diperiksa & ditindak.
Peristiwa itu terjadi dikala ribuan mahasiswa menggelar longmarch dr kampus Trisakti di Grogol, menuju Gedung dewan perwakilan rakyat/MPR di Slipi Jakarta. Namun, baru hingga depan kampus, mereka sudah dihadang ratusan polisi bersenjata lengkap dgn posisi siap menembak. Meski dihadapkan dgn moncong sejata, cowok-pemudi pemberani ini tak gentar.
Mereka tetap melangsungkan aksi demonstrasi dgn menggelar mimbar bebas di jalan selama berjam-jam. Polisi yg kesal kemudian mewakilkan mahasiswa masuk, sambil mengancam akan menembak jika mereka tak mendengar.
Mahasiswa pun oke untuk kembali ke dlm kampus dgn hening. Namun, ketika akan masuk ke dlm kampus, mereka mendapat provokasi hingga berujung pada bentrokan fisik. Suasana berkembang menjadi chaos, & terdengar bunyi rentetan tembakan ke arah massa pro demokrasi itu.
Enam orang dinyatakan tewas dlm insiden penembakan itu. Sementara 16 orang mahasiswa yang lain, termasuk pelajar, & penduduk yg ikut dlm aksi mengalami luka parah. Mereka dipukuli, diinjak, & menjadi korban penembakan brutal polisi.
Para mahasiswa yg tewas tertembak dlm tragedi Trisakti adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur 1996), Alan Mulyadi (Fakultas Ekonomi 96), Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin 95), Hendriawan (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen 96), Vero (Fakultas Ekonomi 96), & Hafidi Alifidin (Fakultas Teknik Sipil 95).
Selain mahasiswa, Samsul Bahri, siswa STM pula tewas. ia terkena peluru tajam pada penggalan perutnya hingga terburai, & eksklusif dilarikan ke tempat tinggal sakit untuk operasi. Sayang, nyawa pelajar pemberani ini tak tertolong.
Pada saat yg sama, di kampus Atmajaya, massa mahasiswa yg tergabung dlm Forum Kota (Forkot) tengah melakukan agresi mimbar bebas di dlm kampus. Saat mendengar rekannya tewas tertembus timah panas, mereka berencana bergabung dgn mahasiswa Trisakti. Namun, baru sampai depan kampus, mereka dihadang polisi.
Pasca insiden itu, amuk massa terjadi dimana-mana, hingga 15 Mei 1998. Ribuan gedung, toko, & rumah dihancurkan. Bahkan ada yg dibakar oleh massa. Sasaran kemarahan massa dikala itu dialihkan pada etnis China. Tidak cuma menjarah, massa pula membunuh, & memperkosa para perempuan keturunan etnis minoritas itu.
Situasi benar-benar tak terkendali. Mahasiswa ada yg coba menenangkan, tetapi gagal. Sedang pegawanegeri kepolisian, & tentara yg berjaga-jaga di lokasi saat itu, hanya menonton dr kejauhan. Alhasil, ribuan orang menjadi korban. Ada yg tewas dlm bentrok, hilang diculik, hingga terpanggang api ketika melakukan penjarahan.
Berdasarkan data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), pelaku kerusuhan pada 13-15 Mei 1998 dibagi menjadi dua golongan. Terdiri dr massa pasif (massa pendatang) yg lantaran diprovokasi berubah menjadi massa aktif, & kedua golongan provokator.
Para provokator ini, lazimnya bukan dr wilayah setempat. Secara fisik, mereka tampak terlatih, & sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap). Bahkan mereka tak ikut menjarah, & secepatnya meninggalkan lokasi sehabis gedung atau barang terbakar. Belum dimengerti siapa provokator ini.
Mereka pula menenteng & mempersiapkan sejumlah barang untuk kebutuhan menghancurkan & aben, seperti jenis logam pendongkel, materi bakar cair, kendaraan, bom molotov, & sebagainya.
Kelompok inilah yg menggerakkan massa dgn memancing kericuhan, memperlihatkan gejala tertentu pada target, melaksanakan perusakan permulaan, pembakaran, & mendorong agresi penjarahan. Kelompok ini datang dr luar, & bukan penduduk setempat. Jumlah mereka cuma belasan, tetapi sangat terlatih.
Kelompok ini mempunyai kemampuan ahli & sudah biasa memakai alat untuk kekerasan. Mereka pula memiliki mobilitas yg tinggi & kerja yg sistematis. Dalam aksinya, mereka kerap memakai fasilitas transportasi, seperti motor, mobil/Jeep, & alat komunikasi (HT/HP).
Pada lazimnya , golongan ini sulit dimengerti walaupun di beberapa kasus dijalankan oleh kelompok dr organisasi cowok (teladan di Medan, ditemukan keterlibatan pribadi Pemuda Pancasila). TGPF pula menemukan fakta adanya keterlibatan anggota aparat keselamatan dlm kerusuhan di Jakarta, Medan, & Solo.
Dalam kesimpulannya, TGPF menyatakan, kerusuhan Mei bersifat saling terkait antar-lokasi, dgn model yg ibarat provokator. Skala kerusuhan ini sangat besar & terdapat keseragaman waktu. Lebih jauh, kerusuhan terjadi dengan-cara berurutan, & sistematis.
Tim pula menemukan, prasangka adanya faktor kesengajaan yg mengandung unsur penumpangan suasana. Dimana para provokator disangka sengaja membuat kerusuhan, sebagai belahan dr pertandingan politik di tingkat elite.
Kesimpulan itu merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dr preman setempat, organisasi politik & massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota & unsur di dlm ABRI yg ada di luar kendali dlm kerusuhan itu.
Untuk itu, Ketua Satuan Tugas HAM Kejaksaan Agung, B.R. Pangaribuan, baiklah jika dibuat tim khusus membahas jalannya penyelesaian masalah ini tanpa melanggar Undang-undang HAM itu sendiri. “Baiknya memang ada konferensi membahas masalah ini,” katanya pada Tempo News Room, di Jakarta, Selasa (5/11).
Tim itu, kata ia, musti terdiri dr tim penyidik kejaksaan, anggota penyelidik Komnas HAM, Mahkamah Agung, & DPR. Dijelaskan, pemikiran ini sesungguhnya sudah pernah ada tatkala Sekjen Komnas HAM masih dijabat Asmara Nababan. Bersama dgn anggota KPP HAM, Albert Hasibuan, ia pernah berjumpa dgn Jaksa Agung, M.A. Rachman. Dan, ilham tersebut muncul. Namun, “Tim itu gagal dibuat karena Asmara Nababan tak terpilih lagi jadi Sekjen,” katanya. Alhasil, ide itu mentah lagi disusul perubahan anggota komisi.
Lebih lanjut, Pangaribuan menyatakan, jaksa pasti kesusahan memproses perkara ini karena Undang-Undang HAM saling bertolak belakang satu sama lain. “Kalau sudah disidik, mau dibawa ke mana berkas itu? Pengadilannya saja tak ada,” katanya. Ia merujuk hasil Panitia Khusus DPR untuk kasus ini yg menyatakan bahwa insiden penembakan itu bukan tergolong pelanggaran HAM berat. Maka, semoga perkara ini bisa diadili, dewan perwakilan rakyat harus mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc pada Presiden, sesuai pasal 43, UU 26/2000.
Pasal itu berbunyi, “Seorang komandan dinyatakan bersalah jikalau tak mencegah anak buahnya melakukan pelanggaran HAM, atau tidak ingin menyerahkannya ke penuntutan untuk diadili.” Faktanya, kata Pangaribuan, pengadilan militer sudah menghukum para serdadu yg jadi tersangka kasus ini. Sementara, untuk mengadili para komandannya mesti dibentuk pengadilan HAM ad hoc dahulu. Repotnya, pembentukan pengadilan mirip itu pun melanggar pasal 91, UU Hak Asasi Manusia, Nomor 39/1999.