Kaliwungu

Menjejakkan kaki kembali di Kaliwungu yakni menziarahi keinginan yang tersia-siakan. Membuka kembali kotak yang telah lama tersimpan rapi di rak. Kotor, sarat abu. Pandangan tertuju pada tempat parkir beratap fiber di sebelah utara bangunan beton berlantai empat (kini di situ telah pula berdiri bangunan beton). Disebelah timur agak ke utara nyaris mepet tembok tetangga ada sumur. Di sumur itu, dulu, banyak yang dengan riuh menimba bergantian. Mandi. Karena tidak ingin terlalu usang ngantri di kotak-kotak kamar mandi.
Di parkiran beratap fiber berukuran sekira 7×7 meter itu, dahulu, bangun bangunan dua lantai, dengan dinding dan sekat papan yang membagi delapan kamar. Di salah satu kamar di lantai dua, sebelah utara yang menghadap ke barat yang, diatas pintu, bertulis “SUNAN GESENG”, di sanalah saya bertempat ketika, sekira 13 tahun silam, saya menjejakkan kaki kali pertama di tanah ini.
Dihampir setiap pagi, selepas subuh, tidak lupa ngapéli Lik Mahfud (agar Allah mengampuni semua kealpaannya dan melapangkan kuburnya) untuk membeli ganjel perut; teh elok dan “blanggréng” dengan sambel terasi. Atau menunggu dua anak kecil yang dengan penuh semangat menjajakan dagangannya sebelum berangkat ke sekolah. “Gélékeee…Gélékeee…”. Sungguh aku rindu teriakan kedua bocah itu.
Tiba-tiba mirip terdengar bunyi yang tak aneh bagiku. Ya! bunyi Abah dari aula memanggilku dengan pengeras bunyi selepas ngaji tafsir jalalain atau adzkar nawawi (sekarang suara itu tak akan pernah ku dengar lagi). Segera ku tutup pintu kamar, ku kunci dari dalam dengan paku yang menempel–yang dibengkokkan–di jerumpul pintu, lalu krukupan sarung, akal-akalan tidur. Tak peduli siapa yang berulang menggedor pintu sambil teriak: “Kang, timbali abah!”
Aku masih ingat bagaimana dulu–dengan semangat–bareng melagukan bait demi bait nadhom ‘aqidatul awam, hidayatus shibyan, imrithi, alfiyah, atau membaca kembali kitab-kitab dengan makna gandul yang telah diajarkan sebelumnya sembari menanti ustadz masuk kelas–bersatir triplek untuk memisahkan satu kelas dengan kelas lain.
Aku masih ingat bagaimana raut wajah tegang diantara kami ketika ustadz memanggil kami satu per satu untuk maju menghafal nadhom atau sorogan. Masih terlihat terperinci muka-tampang takut tak bisa menghafal atau membaca kembali kitab yang telah dimaknainya sendiri. Sebab konsekuensi dikala tak bisa menghafal atau baca kitab, kami harus rela berdiri di kelas sebelah sampai akhir ngaji. Tentu itu hal yang membuat kami malu.
Kaliwungu membawaku kembali pada ingatan-ingatan wacana banyak hal.
: Kebijaksanaan Abah dan Bu Nyai, kearifan warga sekitar (apa kabar mak Sri, mak Khom, mak Nur, lik Bambang, pak Woh, om Gank, simbah–kopi slank, mami?), kemudian-lalang kaum bersarung tanpa alas kaki dengan gudig yang menempel di selakangan atau sela jari, makan rame-rame dalam satu talam, seember pecerén yang diciduk sendiri kemudian untuk mandi sendiri (sebagai ta’zir alasannya melakukan pelanggaran pada level tertentu), sampai penjalin yang siap mendarat di punggung-punggung para pelanggar hukum (aku tergolong didalamnya).
Aku rindu panjenengan timbali dengan pengeras bunyi alasannya tidak ngaji. Aku rindu panjenengan dukani alasannya adalah terlampau ndablek. Aku rindu panjenengan suruh mijeti selaku ta’zir pelanggaranku. Aku rindu bunyi itu. Aku rindu semua itu.
Sugeng tindak, Abah KH. Syamsul Ma’terpelajar. Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu.
_________________
Pungkuran, 23/02/2016

  Belajar Ketulusan Dari Seekor Ayam