Kagum, yang Tepat Ucap Subhanallah atau Masya Allah

Islam mengajarkan kalimat-kalimat yg baik (kalimat thayyibah) dlm segala situasi. Dengan kalimat-kalimat itu, orang beriman dikondisikan untuk senantiasa mengenang Allah. Dengan kalimat-kalimat itu, orang-orang mukmin dikondisikan untuk senantiasa dekat dgn Allah.

Jika seseorang mendapati sesuatu yg menjadikannya kagum atau mendengar kabar yg menjadikannya takjub, kalimat apakah yg paling tepat? “Subhanallah” (سُبْحَانَ اللَّهِ) atau “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ)?

Menurut para ulama, yg lebih sempurna ialah mengucapkan “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ). Sebagaimana firman Allah dlm surat Al Kahfi:

وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Mengapa ananda tak mengatakan waktu ananda memasuki kebunmu “maa syaa-allaah, laa quwwata illaa billaah (sangat atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dgn pinjaman Allah).” (QS. al Kahfi: 39)

Ucapan “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ) ini mengembalikan kekaguman kita pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa semua yg kita kagumi itu terwujud atas kehendak Allah, bukan alasannya adalah perjuangan kita atau orang tersebut. Dicontohkan dlm ayat tersebut, jika seseorang memasuki kebun, hendaklah ia mengucapkan “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ). Kekagumannya atas indahnya kebun tersebut, ranumnya buah, lebatnya tumbuhan & berhasilnya perkebunan, semata-mata kebaikan-kebaikan itu atas hasratAllah.

  Tabiat Masyru’ Rabbani

Sedangkan kalimat “Subhanallah” (سُبْحَانَ اللَّهِ), dlm Al Qur’an disebutkan lima kali. Yakni dlm surat Al Mu’minun ayat 91, Al Qashash ayat 68, Ash Shafat ayat 159, Ath Thur ayat 43 & Al Hasyr ayat 23.

Dalam surat Al Mu’minun ayat 91 & Ash Shafat ayat 159, kalimat “Subhanallah” digandengkan dgn “ammaa yashifuun” yg artinya Maha Suci Allah dr apa yg mereka sifatkan. Sedangkan dlm tiga ayat yang lain, kalimat “Subhanallah” digandengkan dgn “ammaa yusyrikuun” yg artinya Maha Suci Allah dr apa yg mereka persekutukan. Kaprikornus dlm Al Qur’an, kalimat “Subhanallah” dipakai untuk menyatakan kesucian Allah & menyangkal hal-hal negatif yg dituduhkan orang-orang musyrik.

Sedangkan dlm hadits, ucapan “Subhanallah” dipakai tatkala seseorang heran sikap seseorang. Heran, bukan kagum.

Misalnya tatkala Abu Hurairah junub & tak ingin berdekatan dgn Rasulullah yg suci. Rasulullah pun bersabda:

سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ

“Maha Suci Allah, bekerjsama muslim itu tak najis” (HR. Al Bukhari)

Ucapan “Subhanallah” pula dipakai Rasulullah tatkala ada insiden besar. Namun, bukan bentuk kekaguman.

Misalnya dlm sabda dia:

سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ

“Maha Suci Allah, betapa banyak fitnah yg turun di malam ini” (HR. Al Bukhari)

Meskipun demikian, sah-sah saja mengucapkan “subhanallah” tatkala kagum atau takjub sebagaimana sebagian ulama mempraktikannya. Di antara hujjahnya yakni firman Allah dlm Surat Ali Imran ayat 191 yg menggunakan kata “subhanaka” untuk orang yg sedang mempertimbangkan gejala kebesaran Allah.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Sesungguhnya dlm penciptaan langit & bumi, & pergeseran malam & siang terdapat gejala (kebesaran Allah) bagi orang yg cendekia, (yakni) orang-orang yg mengenang Allah sambil bangun, duduk, atau dlm keadaan berbaring, & mereka menimbang-nimbang tentang penciptaan langit & bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dr azab neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191)

Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/wargamasyarakat]