Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, al-Walid bin Ubadah menuturkan insiden yg amat membekas di dlm hati tatkala ayahnya, Ubadah bin Shamit, sedang mengalami sakit. Dalam kunjungannya kala itu, al-Walid membayangkan bahwa ayahnya akan meninggal dunia.
“Ayah,” tutur al-Walid dgn nada sendu, “berpesanlah kepadaku dgn sebenar-benarnya.”
Jawab sang ayah, “Bantulah gue untuk duduk, Nak.”
Setelah didudukkan dgn posisi terbaik, Ubadah bin Shamit memberikan wasiat agungnya, “Nak, tidaklah kau-sekalian menggapai wawasan yg tepat wacana Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum kamu-sekalian meyakini takdir yg baik & jelek.”
“Ayah,” tanya al-Walid pada ayahnya, “apa yg mesti gue lakukan supaya mengenali bagaimana hakikat takdir yg baik & takdir yg jelek?”
“Nak,” tutur Ubadah bin Shamit bertenaga, “engkau harus selalu meyakini; sesuatu yg telah menimpamu memang mustahil terhindar darimu, & segala sesuatu yg terhindar darimu amatlah mustahil untuk menimpamu.”
“Nak,” lanjut sang ayah menuturkan, “aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Makhluk pertama yg diciptakan oleh Allah Ta’ala yaitu pena. ia berfirman pada pena: Tulislah. Sejak dikala itulah ditentukan semua yg akan terjadi sampai Hari Kiamat tiba.’”
Ubadah bin Shamit pun menyampaikan hikmah pamungkas pada anaknya dgn berkata, “Nak, jika kau-sekalian meninggal dunia tanpa mengimani hakikat ini, pastilah kau-sekalian masuk ke dlm neraka.”
Selain diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dlm Musnad-nya, hadits ini pula diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dlm Sunan-nya.
Inilah hakikat agung tentang takdir. Baik & jelek. Semuanya sudah tertulis indah dlm Lauhul Mahfuzh. Tiada satu pun yg terjadi di dunia ini, melainkan sudah tertulis di dlm catatan yg agung. Pun sehelai daun yg jatuh di tengah gulita malam, atau semut kecil hitam yg berlangsung tatkala hari tak lagi bercahaya.
Keyakinan akan takdir yg baik & jelek pula menjadi satu dr enam rukun keyakinan yg wajib dipercayai. Ianya harus dilakukan satu paket, dengan-cara menyeluruh. Tidaklah keyakinan seseorang tepat kecuali semua aspeknya diyakini dgn hati, diucapkan dgn lisan, & diamalkan dgn perbuatan.
Karena semua sudah ditakdirkan, maka yg terbaik yakni memperbagus amal, bukan sibuk menebak; apakah kita ditakdirkan untuk menjadi penghuni surga atau neraka. Sebab takdir tak bisa dijadikan hujjah di akhirat kelak.
Wallahu a’lam. [Pirman/Wargamasyarakat]