Jenis-Jenis Delik

Sistem kitab undang-undang hukum pidana Indonesia mengenal pembagian delik selaku berikut :

  1. Kejahatan yang diangkut dalam Buku Kedua
  2. Pelanggaran yang diangkut dalam Buku Ketiga

Pembedaan ini mengikuti WSN, namun berlawanan dengan di Belanda. kitab undang-undang hukum pidana Indonesia membagi lagi kejahatan tersebut ke dalam kejahatan umumdan kejahatan ringan yang dikelola dalam Pasal 302 (penganiayaan ringan), 364 (pencurian ringan), 379 (penipuan ringan), 364 (pencurian ringan), 379 (penipuan ringan), 384 (tindakan curang yang ringan), 407 (perusakan atau menetralisir barang yang ringan), 482 (penadahan ringan).

Perbedaan kejahatan dan pelanggaran berdasarkan Jonkers ialah kejahatan kebanyakan termasuyk rechtsdelicten, delik aturan adalah tindakan yang tidak adil menurut filasafat, yakni yang tidak tergantung dari ketentuan hukum hukum pidana, tetapi dalam kesadaran batin manusia bahwa tindakan itu tidak adil dan selain itu tindakan yang tidak adil berdasarkan undang-undang adalah tindakan yang tidak sah yang diputuskan oleh undang-undang. Menurut Zainal Abidin Farid bahwa delik hukum adalah tindakan tercela dan pembuatnya patut dipidana menurut masyarakat tanpa mengamati undang-undang pidana, dengan kata lain kejahatan menurut penilaian penduduk yang oleh pembuat undang-undang ditetapkan selaku kejahatan.

Sedangkan Pelanggaran ialah yang tergolong wetsdecten, adalah perbuatan yang oleh penduduk tidak dipandang sebagai tindakan tercela yang pemubutanya harus dipidana, namun oleh pembentuk undang-undang ditetapkan selaku delik untuk menjamin keamanan lazim, memelihara dan menjaga ketertiban umum atau untuk meningkatkan kesehatan biasa .

Selain perbedaan kualitatif tersebut, juga ada perbedaan kuantitatif yang berdasarkan kriminologi yaitu peleanggaran tidak dipandang begitu berat dibandingkan dengan kejahatan. Padangan dari sisi Kriminologi tersebut bukanlah Memori van Toelicthingyang membedakan delik aturan dan delik undang-undang, tetapi pertama-tama diperkuat dengan hal bahwa hukuman pelanggaran lebih ringan daripada sanksi pembuat kejahatan. Kedua diperkuat dengan hal bahwa hal percubaan untuk melaksanakan pelanggaran dan pembantuan dalam pelanggaran tidak ialah delik (Pasal 54 dan Pasal 60 kitab undang-undang hukum pidana).

Berhubung adanya perbedaan kejahatan dan pelanggaran maka menurut Jonkers, ada beberapa akibat selaku berikut :

  1. Kejahatan dibagi atas kejahatan yang dilaksanakan dengan sengaja dan yang dilaksanakan dengan kealpaan atau kelalaian. Sedangkan pelanggaran tidaklah demikian, kecuali pelanggaran yang diuraikan dalam Pasal 490 sub 1 dan 4. Hal itu tidak berarti bahwa “asas tidak dijatuhkan pidana tanpa kesalahan“ tidak berlaku dalam mengadili pelanggaran. Beban pembuktian adanya kesalahan (sengaja dan kelalaian) ditaruh pada Kejaksaan, sedangkan pada pelanggaran kejaksaan tidak perlu mengambarkan adanya. Sudah cukup bilamana hakim beropini bahwa terdakwa pelanggaran sudah berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan rumusan delik. Akan tetapi apabila terdakwa dapat menunjukan bahwa ia tidak bersalah, maka ia tidak mampu dipidana. Contoh : Terdakwa yang disuruh majikannnya menjinjing susu kepada pelanggannya menyatakan bahwa majikannya tidak pernah memberitakan bahwa susu yang dibawahnya sudah dicampur air oleh majikannya.
  2. Percobaan untuk atau pembantuan dalam melaksanakan pelanggaran tidak diancam pidana (pasal 54 dan 60 kitab undang-undang hukum pidana) alasannya adalah pelanggaran dipandang kurang penting untuk menyebabkan seseorang yang melakukan percobaan dan pembantuan dijatuhi pidana.
  3. Tenggang waktu verjaring (lampau waktu) baik hak untuk menuntut maupun hak untuk pelaksanaan penjalanan pidana bagi pelanggaran lebih pendek ketimbang yang berlaku untuk kejahatan.
  4. Pasal 59 kitab undang-undang hukum pidana cuma berlaku untuk pelanggaran dan pengurus atau anggota pengelola ataupun para komisaris perusahaan cuma mampu dipidana jika pelanggaran itu telah terjadi dengan sepengetahuan mereka.
  5. Schikking hanya mungkin dijalankan dalam masalah pelanggaran menurut Pasal 82 ayat (1) KUHP kewenangan untuk menuntut pembuat pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja hapus, kalau pembuat dengan sukarela mengeluarkan uang maksimum minimum denda dan biaya yang sudah dikeluarkan bila penuntuttan telah dimulai atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan biasa , dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.
  6. Pasal 39 (1) hanya berlaku bagi kejahatan dan tidak berlaku untuk pelanggaran, yaitu barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melaksanakan kejahatan mampu dirampas. Pasal 39 (2) menyatakan bahwa dalam hal pemidanaan alasannya adalah kejahatan yang tidak dikerjakan dengan sengaja atau alasannya pelanggaran, mampu juga dirampas seperti tersebut dalam pasal 39 (1), namun hanya dalam hal yang ditentukan dalam undang-undang.
  7. Gabungan atau perbarengan (concursus) menurut pasal 70 kitab undang-undang hukum pidana yang hanya berlaku bagi pelanggaran dipakai system kumulasi murni, yang dibatasi ialah pelaku tiap-tiap pelanggaran dijatuhi pidana tanpa dikurangi, namun dibatasi dengan ketentuan bahwa jumlah pidana kurungan pengganti tidak boleh melampaui waktu delapan bulan. Makara untuk pidana denda berlaku system kumulasi murni yang dibatasi yakni semua denda dikenakan tanpa batas. Bagi kejahatan berlaku paal 65 dan 66 kitab undang-undang hukum pidana dengan system absorbs yang diperkeras, adalah diantara maksimum pidana denda yang harus dijatuhkan terhadap terdakwa diseleksi yang terberat ditambah dengan sepertiganya, serta system kumulasi sedang, ialah semua pidana maksimum dijumlahkan, tetapi yang dijatuhkan dilarang melampaui pidana yang terberat ditambah dengan sepertiganya.

Sedangkan perbedaan kejahatan dan pelanggaran menurut Zainal Abidin Farid :

  1. Pidana penjara hanya diperuntukkan bagi pembuat kejahatan sedangkan untuk pelanggara hanya dikenal pidana kurungan.
  2. Untuk pelanggaran tidak ada ketentuan mesti adanya aduan sebagai syarat penuntutan, sedangkan delik aduan yang ialah kejahatanm mensyaratkan adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Misalnya dalam pasal 284, 332, 367, 376 KUHP.

Jenis Delik-Delik menurut Hezewinkel Suringa, yaitu selaku berikut :

1. Krenkingsdelicten dan Gevaarzettingsdelicten

Krenkingsdelicten yaitu delik yang mengandung tindakan yang sudah menyerang dan merugikan kepentingan orang lain mirip pembunuhan (pasal338 kitab undang-undang hukum pidana), pencurian (pasal 362) perusakan (pasal 406), penipuan (pasal 378).

Kalau delik Krenking, (penyerangan) yang menyebabkan kerugian pada orang lain, maka delik yang mampu menimbulkan ancaman (gevaarzettingsdelicten) yaitu delik yang terjadi pada waktu kepentingan yang harus dilindungi terancam. Ketentuan tentang delik demikian ialah semacam ketentuan preventif atau pencegahan, yakni undang-undang pidana tidak menunggu sesudah terjadi balasan itu, undang-undang sudah dapat dipakai sebagai alat pencegah. Misalnya delik percobaan (Pasal 53 KUHP), setidak-tidaknya jikalau percobaan itu ditinjau dari segi teori obyektif (yang menitikberatkan pada bahanya perbuatan).

2. Gevaarzettingsdelicten (delik yang pembuatnya melakukan perbuatan yang dapat membahayakan) yang konkrit dan yang abstrak (concrete en abstracte gevaarzettingsdelicten)

Concrete Gevaarzettingsdelicten yakni delik yang oleh pembuat undang-undang mengancamkan pidana kepada pembuat sebuah tindakan jika beliau melanggar perbuatan yang secara konkrit (nyata) menjadikan ancaman di dalam pasal-pasal undang-undang pidana. Dalam hal ini pembuat undang-undang di samping mensyaratkan dilakukannya perbuatan juga timbul balasan yang membahayakan kepentingan aturan orang lain. Menghadapi perkara yang mempunyai akhir yang konkrit penuntut umum mesti melukiskan akhir konkrit itu di dalam surat dakwannya dan mesti membuktikannya di sidang pengadilan. Contoh ialah delik tersebut pada Pasal 187 kitab undang-undang hukum pidana (dengan sengaja menjadikan kebakaran), pasal 331 KUHP (penipuan pada pengerjaan bangunan).

Abstracte Gevaarzettingsdelicten ialah kebalikan gevaarzettingsdelicten. Dalam ini pembuat undang-undangf cuma melakukan tindakan oleh karena menurut pengalaman insan perbuatan demikian mampu dengan gampang menyerang kepentingan hukum orang lain tanpa menguraikan lebih lanjut kepentingan apa yang mampu dibahayakan. Dalam menghadapi delik yang demikian, maka Penuntut Umum cukup melukiskan tindakan apa yang dihentikan oleh undang-undang dan tak perlu dia mengambarkan akibat perbuatan itu secara konkrit. Contoh delik tersebut pada Pasal 161 kitab undang-undang hukum pidana (penghasutan). Penghasutan tidak butuhdibuktikan bahwa perbuatannya betul-betul dapat menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan melawan aturan atau menentang pejabat negara dengan kekerasan. Tidak diharapkan apakah penghasut mengeluarkan hasutannya kepada orang-orang yang mampu melaksanakan tindakan terlarang, atau penghasut mengatakan di depan orang-orang yang tak mengetahui bahasanya ataupun kebal terhadap hasutannya. Akibat hasutan tidak perlu ditulis oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, dan tidak perlu ia membuktikannya. Contoh lain yakni delik berdasarkan pasal 162 KUHP yang mengancam pidana barangsiapa di depan lazim lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan, atau fasilitas (upaya) guna melaksanakan delik, oleh alasannya adalah tindakan demikian pada umumnya mampu menimbulkan bahaya, yakni orang lain mampu tergerak.

3. Delik Formil dan Delik Materiil

Tindak pidana formil yakni tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memperlihatkan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu yakni melaksanakan suatu tindakan tertentu. Perumusan tindakan melawan hukum formil tidak mengamati dan atau tidak memerlukan timbulnya suatau akibat tertentu dari tindakan selaku syarat solusi tindak kriminal, melaiinkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana) untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan mengambil.

Sebaliknya dalam perumusan tindak pidana materiil, inti larangan yakni pada menjadikan akhir yang dihentikan. Oleh karna itu, siapa yang menjadikan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana. Tentang bagaimana wujud tindakan yang menyebabkan balasan terlarang tu tidaklah penting. Misalnya pada pembunuhan (pasal 338 KUHP) inti larangan adalah pada mengakibatkan kematian oang, dan bukan dari wujud menembak, membacaok atau menghantam. Untuk selesainya tindakan melawan hukum digantungkan pada timbulnya balasan dan bukan pada selesainya suatu tindakan.

Begitu juga dengan selesainya tindak pidana mateeriil, tidak tergantung sejauh mana wujud perbuatan yang dijalankan, namun sepenuhnya digantung kan pada syarat timbulnya akhir terlarangtersebut. Misalnya wujud membacok sudah final dikerjakan dalam hal pembunuhan, namun pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menjadikan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan.

Contoh-misalnya: Delik formil: pencurian (362) Delik materiil: kejahatan kepada nyawa (338)

4. Delik Communia dan Delik Propria

Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang mampu dijalankan oleh semua orang (delictacommunia ) dan tindakan melawan hukum yang cuma dapat dilakukan oleh orang yang bermutu tertentu (delicta propria).

Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada siapa saja. Akan tetapi, ada tindakan-perbuatan tertentu yang cuma mampu dikerjakan oleh orang-orang yang berkualitas tertentu saja. Delik Proporia sering menjadikan kesulitan bilamana delik dilaksanakan oleh pelaku akseptor (medepleger) atau doen pleger (pembuat yang membuat sehingga orang lain melaksanakan) tidak memiliki kualitas seperti yang disyaratkan oleh undang-undang. Misalnya : dapatkah seorang umumyang turut serta melakukan delik jabatan jabatan pasal 413 – 436 kitab undang-undang hukum pidana delik yang dilakukan oleh pegawai negeri membuat sehingga seorang Pegawai Negeri (yang sakit jiwa) melakukan delik jabatan ? (akan dipelajari dalam Hukum Pidana Lanjutan)

Contoh-contoh dalam jenis delik ini, Delik Communia: pembunuhan (338), penganiayaan (351, dll) Delik Propria: pegawai negri (pada kejahatan jabatan), nakhoda (pada kejahatan pelayaran) dll.

5. Delik Umum dan Delik Khusus

Delik umum ialah semua tindak pidana yang diangkut dalam KHUP selaku kodifikasi aturan ppdn materiil. Sementara itu delik khusus yakni semua tindak pidana yang terdapat dalam kodifikasi tersebut.

Walaupun sudah ada kodifikasi (kitab undang-undang hukum pidana), namun adanya tindak kriminal diluar KHUP ialah suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Perbuatan-tindakan tertentu yang dinilai merugikan penduduk dan pantas diancam dengan pidana itu terus meningkat , sesuai dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan ilmu wawasan, yang tidak cukup efektif dengan cuma menambahkannya pada kodifikasi (kitab undang-undang hukum pidana).

Tindak pidana diluar kitab undang-undang hukum pidana tersebar didalam banyak sekali peraturan perundang-ajakan yang ada. Peraturan perundang-undangan itu berbentukperaturan perundang-seruan pidana.

Contoh-misalnya: Delik biasa : kitab undang-undang hukum pidana. Delik khusus: UU No. 31 th 1999 perihal tindak kriminal korupsi, UU No. 5 th 1997 tentang psikotropika, dll.

6. Kejahatan Umum dan Kejahatan Politik

Delik Politik yaitu delik yang maksudnya diarahkan kepada keamanaan Negara dan kepala Negara. Misalnya pasal 104 hingga pasal 129 KUHP.

Menurut Hezwinkel Zuringa bahwa sering muncul kesulitan untuk membedakan delik lazim dengan delik politik. Delik politik yang murni yang berhubungan dengan ketatanegaraan murni tidak mienimbulkan problem, tetapi ada delik yang nampaknya merupakan delik politik, namun bahu-membahu bukan, adalah dia tergolong delik lazim.

Misalnya pembunuhan raja atau kepala Negara sebab motif dendam langsung belaka, nampaknya yaitu delik politik, namun sebenanya beliau adalah delik biasa . Sebaliknya ada delik yang sekilas yaitu delik umum, namun sesungguhnya ialah delik poltik, misalnya pencurian surat-surat belakang layar Negara yang dijual terhadap Negara gila. Delik demikian menurut Hezewinkel Suringa dinamakannya delik politik campuran. Contoh lain yakni pencurian senjata merupakan delik lazim tetapi alasannya tujuan pencuri ialah hendak menyelenggarakan pemberontakan, maka dia menjadi delik politik, inilah yang dinamakan delik politik commune.

7. Delik Commissionis dan Delik Ommissionis

Delik aktif (delicta commisionis) adalah delik yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (kasatmata). Perbuatan aktif (disebut tindakan materiil) ialah perbuatan yang untuk merealisasikan disyaratkan adanya gerakan dari anggota badan orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif, orang melanggar larangan, tindakan aktif ini terdapat baik tindakan melawan hukum yang dirumuskan secara formil maupun materiil. Sebagian besar tindak pidana yang dirumuskan dalam kitab undang-undang hukum pidana yaitu delik aktif.

Berbeda dengan delik pasif, dalam delik pasif, ada sebuah keadaan dan atau kondisi tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani keharusan aturan untuk berbuat tertentu, yang kalau tidak dijalankan (aktif) perbuatan itu, dia telah melanggara keharusan hukumnya tadi. Di sini dia telah melaksanakan tindak kriminal pasif. delik ini mampu disebut juga tindakan melawan hukum pengabaian suatau keharusan aturan.

Delik pidana pasif ada dua macam, yaitu delik pasif murni dan tidak murni disebut dengan (delicta commisionis per omissionem).

Delik pasif murni yakni tindakan melawan hukum pasif yang dirumuskan secara formil atau delik yang intinya semata-mata bagian perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif.

Delik pasif yang tidak murni adalah yang pada dasarnya berupa delik konkret, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau delik yang mengandung suatau akhir terlarang, namun dilaksanakan dengan atau tidak berbuat atau mengabaikan sehingga akhir itu sungguh-sungguh timbul. Misalnya pada pembunuhan 338 (sesungguhnya tindakan melawan hukum aktif), tetapi kalau akibat matinya itu di sebabkan karna seseorang tidak berbuat sesuai kewajiban hukumnya mesti ia perbuat dan risikonya menjadikan kematian, disini ada delik pasif yang tidak murni. Misalnya seorang ibu tidak mnyusui anaknya agar mati, peruatan ini melanggar pasal 338 dengan seccara perbuatan pasif.

Contoh-misalnya:

  1. Delik commisionis: 338, 351, 353, 362 dll.
  2. Delik omisionis:
  • Pasif murni: 224, 304, 522.
  • Pasif tidak murni: 338 (pada ibu menyusui)

8. Delik yang bangkit sendiri (zelfstandige dalicten) dan delik yang berkelanjutan atau Delik berlanjut (veortgezette dalicten)

Delik bangun sendiri (Zelfstanding Delict) yaitu terjadinya delik hanya satu tindakan saja tanpa ada kelanjutan perbuatan tersebut dan tidak ada perbuatan lain lagi. Contoh: seseorang masuk dalam rumah pribadi membunuh, tidak mencuri dan memperkosa.

Pasal 64 kitab undang-undang hukum pidana menyatakan bahwa, bila antara beberapa perbuatan mempunyai relasi sedemikian rupa sehingga mesti dianggap selaku perbuatan berlanjut atau berkelanjutan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka terhadap terdakwa cuma dapat dikenakan satu peraturan pidana (strafsanctie), dan jikalau berlawanan maka yang dapat dikenakan ialah peraturan yang mengandung ancaman pidana yang paling berat. Ukuran tentang relasi kedua delik itu tidak ditetapkan oleh kitab undang-undang hukum pidana, namun diserahkan terhadap hakim untuk menentukannya.

Pasal 64 KUHP dapat ditafsirkan selaku berikut :

a. Delik berkelanjutan atau berlanjut pada hakikatnya ialah satu bentuk kesatuan atau satu delik.

b. Voortgezette delict, atau delik berlanjut terdiri atas dua atau lebih delik yang sebab kaitannya yang bersahabat menjadikan dikenakannya satu sanksi atau pidana kepada terdakwa.

Menurut Hezwinkel Suringa pertimbangan pada butir b yang paling banyak dianut, yang sangat penting hubungannya dengan locus delicti kawasan terjadinya delik) dan konsekuensi yang bertalian dengan hal itu.

Selain itu delik berlanjut juga penting untuk penyertaan pasal 55 dan pasal 56 kitab undang-undang hukum pidana. Jikalau delik berlanjut dipandang sebagai campuran beberapa delik, dan bukan sebagai suatu kesatuan maka beliau ialah concursus realis ialah perbarengan beberapa delik yang diadili sekaligus oleh hakim.

9. Delik yang simpulan seketika (afiopenden delicten) dan delik yang terus menerus (yoordurende dalicten)

Delik yang akhir saat itu juga terdiri atas tindakan positif ataupun aktif ataupun perbuatan pasif atau negative (pengabaian) yang simpulan saat itu juga itu juga, tergolong juga perbuatan yang merealisasikan delikakibat. Contoh yaitu pencurian, pembunuhan, pembakaran. Dapat ditarik kesimpulan bahwa delik tersebut terdiri atas perbuatan (dan mungkin juga akibat) yang selesain saat itu juga sesudah dilakukannya perbuatan.

Delik terus menerus adalah sebuah perbuatan yang dijalankan untuk melangsungkan keadaan yang dihentikan. Pembunuhan menurut pasal 338 kitab undang-undang hukum pidana yaitu delik yang tamat seketika, namun delik tersebut pada pasal 333 (1) KUHP sebaliknya tergolong delik terus menerus. Keadaan terus menerus yang tidak boleh ditarik kesimpulan dari kata “meneruska penahanan” di dalam pasal 333 (1) kitab undang-undang hukum pidana, sedangkan perkataan menahan memiliki arti sebuah tindakan yang dilakukan dan selesai saat itu juga itu juga.

Misalnya : Tindak pidana yang dikontrol dalam pasal 333 KUHP yaitu tindak kriminal merampas kemerdekaan orang. Dalam tindak kriminal ini, selama orang yang dirampas kemerdekaannya itu belum dilepas ( contohnya disekap didalam kamar ), maka selam itu pula tindak kriminal itu masih berjalan.

10. Delik tunggal atau delik sederhana (enkelvoudige delicten) dan delik majemuk

Delik Majemuk pada hakikatnya terdiri atas dua atau lebih delik yang dipersatukan atau delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi jika dilaksanakan berulang kali perbuatan, contohnya delik kebiasaan ihwal penadahan dalam pasal 481 KUHP (membuat kebiasaan dengan sengaja membeli dan seterusnya… barang diperoleh sebab kejahatan), delik menurut Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana delik yang mensyaratkan adanya pekerjaan tertentu sebagai sumber penghasilan terutama, juga mengandung delik kebiasaan atau delik majemuk yang dengan sengaja menyelenggarakan atau membuat lebih mudah tindakan cabul dengan orang lain.

Kebiasannlah merupakan unsure konstitutif delik tersebut yang dapat ditarik kesimpulan dari realita bahwa terdakwa beberapa kali melakukan tindakan yang dihentikan. Kemajemukan tindakan-perbuatan melawan aturan bukanlah perbuatan yang secara kebetulan beriringan, namun memiliki kekerabatan tertentu satu sama lain ditinjau dari sifat perbuatan-tindakan itu (objektif), serta ditinjau dari secara subjektif menyangkut arah kebijakan pembuat delik.

Delik Tunggal yaitu delik yang cukup dikerjakan dengan satu kali perbuatan. Artinya delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilaksanakan sekali tindakan. Misalnya : Pencurian, penipuan, pembunuhan dan lain sebagainya.

11. Delik Biasa (eenvodige delicten) dan delik berkualifikasi

Delik dalam bentuk pokok atau delik biasa adalah bentuk tindak kriminal yang paling sederhana, tanpa adanya unsure yang bersifat memberatkan.

Delik yang dikualifikasikan ialah delik dalam bentuk pokok yang ditambah dengan
adanya unsur pemberatan, sehingga ancaman pidananya menjadi lebih berat. Sebagai pola dapat dikemukakan selaku berikut :

Delik dalam pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana ialah bentuk pokok dari pencurian, sedangkan delik dalam pasal 363 KUHP dan 365 KUHP merupakan bentuk kualifikasi / pemberatan dari tindak kriminal pencurian dalam bentuk pokok (pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana).

Delik dalam pasal 372 KUHP merupakan bentuk pokok dari penggelapan, sedangkan delik dalam pasal 374 KUHP dan 375 KUHP merupakan bentuk kualifikasi/pemberatan dari delik penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372 KUHP).

Untuk memberikan gambaran perihal apa dan bagaimana perbedaan tindak pidana dalam bentuk pokok dan tindak kriminal yang dikualifikasikan, berikut akan kami berikan teladan pasal-pasal yang menertibkan hal pengertian dimaksud :

Pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana tentang delik pencurian dalam bentuk pokok :

”Barang siapa mengambil sebuah barang, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan aturan, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Ketentuan pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana diatas ialah bentuk delik pencurian yang pokok, jadi merupakan bentuk pencurian yang paling sederhana. delik pencurian dalam bentuk pokok diatas apabila dibarengi adanya unsur-unsur pemberat, maka akan menjelma delik pencurian yang dikualifikasikan pencurian dengan pemberatan.

Misalnya : delik yang diatur dalam pasal 363 KUHP seperti dalam rumusan selaku berikut :
Pasal 363 KUHP wacana tindak pidana pencurian yang dikualifikasikan dengan pemberatan menyatakan :

1. Diancam dengan pidana penjara paling usang tujuh tahun :

  • Ke-1 : Pencurian ternak
  • ke-2 : Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa bahari, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, adanya huru hara, pemberontakan atau ancaman perang .
  • ke-3 : Pencurian diwaktu dalam suatu rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilaksanakan oleh orang yang adanya disitu tidak dikenali atau diharapkan oleh yang berhak.
  • ke-4 : Pencurian yang dikerjakan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
  • ke-5 : Pencurian yang untuk masuk ketempat melaksanakan kejahatan, atau untuk hingga pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan cara merusak, memotong atau memanjat atau dengan menggunakan anak kunci artifisial, perintah palsu atau pakaian jabatan artifisial.

2. Jika pencurian yang diterangkan dalam butir ke-3 dibarengi dengan salah satu tersebut butir ke-4 dan butir ke-5, maka dikenakan pidana paling usang sembilan tahun. Tindak pidana dalam pasal 363 KUHP tersebut ialah bentuk pemberatan dari tindak kriminal yang dikontrol dalam pasala 362 kitab undang-undang hukum pidana. Dengan kata lain, tindak kriminal dalam pasal 363 kitab undang-undang hukum pidana tersebut tindakan melawan hukum pokoknya adalah tindak kriminal dalam pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana, yang oleh alasannya adalah ada unsur pemberatnya, sehingga bahaya pidananya diperberat.

12. Delik aduan dan Delik bukan aduan

Delik Aduan ialah delik yang penuntutannya hanya dijalankan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan / korban. Dengan demikian, apabila tidak ada pengaduan, kepada tindak kriminal tersebut dilarang dilaksanakan penuntutan. Tindak pidana aduan dapat dibedakan dalam dua jenis yakni :

a. Delik Aduan Absolut :

Adalah delik yang mempersyaratkan secara absolute adanya pengaduan untuk penuntutannya. Misalnya : delik perzinaan dalam pasal 284 kitab undang-undang hukum pidana, delik pencemaran nama baik dalam pasal 310 KUHP dan sebagainya. Jenis delik ini menjadi aduan, alasannya adalah sifat dari deliknya relative.

b. Delik Adua Relatif :

Pada prinsipnya jenis delik ini bukanlah merupakan delik pidana aduan. Jadi dasarnya delik aduan relative ialah delik laporan (delik biasa) yang alasannya dijalankan dalam lingkungan keluarga, kemudian menjadi delik aduan. Misalnya : Tindak pidana pencurian dalam keluarga dalam pasal 367 kitab undang-undang hukum pidana, tindakan melawan hukum penggelapan dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP dan sebagainya.

Delik bukan aduan ialah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya. Misalnya : delik pembunuhan, pencurian penggelapan, perjudian dan sebagainya.

* sebagai materi kuliah

S. Maronie, 14 Desember 2012, @Phoenam Rajalangit

  Rumah Lanting Orang Melayu