Tidak bisa dibantah, media umum adalah fasilitas yang bisa diakses banyak kelompok dengan aneka macam kepentingan. Dari belum dewasa hingga orang dewasa, untuk pengembangan bisnis atau sekadar bertegur sapa dengan sobat-sobat yang telah usang tidak bersua. Pun untuk mengekspresikan diri dengan curhatan-curhatan melow, pisuhan, atau unggahan foto hasil jalan-jalan.
Belakangan semakin banyak unggahan foto atau status dari akun media umum yang kemudian tersebar secara trend dan menuai kecaman dari banyak pihak. Ini pasti karena postingan tersebut dianggap dan disepakati banyak pihak tidak cocok dengan norma yang ada di masyarakat kita.
Hujatan dan sumpah serapah sudah barang pasti menghujani pemilik akun mengiringi unggahannya itu, atau mungkin hasil screenshoot yang lalu disebar secara individu atau dibungkus sebagai suatu isu dan diterbitkan di banyak sekali situs media.
Belum usang beranjak dari timeline kita, kasus-kasus unggahan foto yang lalu viral dengan banyak kecaman. Masih ingat Ida Tri Susanti? Seorang mahasiswi di Jember, yang mengunggah foto diri berbaju salah satu klub sepak bola dan hasil buruannya—kucing hutan—yang dilindungi negara karena populasinya yang nyaris punah. Mungkin alasannya tidak tahu tenang kucing hutan yang dilindungi negara atau cuma berencana pamer kepada sahabat-temannya di media sosial. Namun justru caci maki dan sumpah serapah netizen dari aneka macam penjuru negeri ini, terus mengalir kepada mbak Ida ini. Dan ini pasti akan terus membekas di kehidupannya.
Membunuh satwa yang dilindungi negara memang bukan perbuatan yang dapat dibenarkan. Namun membunuh mental seseorang dengan caci maki dan sumpah serapah dianggap lazimsaja alasannya dikerjakan gotong royong.
Menyusul lalu unggahan Hesti Sundari di akun instagram miliknya. Dia berpose bak versi di rerimbunan bunga Amarilis di Pathuk, Gunung Kidul, yang rusak sebab diinjak-injak para hadirin.
Ini tak kalah viral dan pasti dengan diiringi berbagai hujatan yang ditujukan kepadanya. Terlebih unggahannya itu dibarengi kalimat mencak-mencak merasa tidak bersalah. Fatal. Ini mungkin alasannya mbak Hesti tidak pintar mencitrakan diri. Coba tidak mencak-mencak, hapus unggahannya, dan secepatnya meminta maaf atas perbuatannya, tentu tidak seramai dan seheboh itu. Namun terlambat, udah kepalang tanggung mencak-mencaknya itu dibaca banyak orang. Ketika lalu mbak Hesti mengakui kesalahnnya dan meminta maaf justru hanya dijadikan materi hujatan dan bully lanjutan.
Menginjak hingga menghancurkan keindahan taman bunga—terlebih bunga ini hanya mekar setahun sekali—memang bukan perbuatan yang bisa dibenarkan begitu saja. Namun, menginjak penginjak bunga dengan caci maki dan sumpah serapah ternyata dianggap lumrah alasannya dilaksanakan secara berjamaah.
Lagi. Sekira hampir dua mingguan yang lalu, beredar foto pelajar di salah satu Madrasah Tsanawiyah di Purbalingga yang diunggah ke akun facebook miliknya, Gopenx All Well—kemudian dikenali nama aslinya Jefri Iftiadi—dengan pose menghunus jari tengah kepada lukisan Jenderal Soedirman yang sedang hormat, dengan cengengesan dan melampirkan satu kata pada unggahannya itu; “FVCK”
”Lho, maksudmu apa, dek? Nek gak dike’i sangu wong tuamu sewaktu adek mau jalan-jalan, mbok jangan dilampiaskan dengan cara gitu toh! Itu akibat adek males waktu disuruh orang bau tanah adek, mungkin. Atau mungkin orang renta adek memang sedang tidak punya uang. Dan apa adek tidak tahu? Itu salah satu pendekar kita lho, dek. Seharusnya adek hormati meskipun cuma gambar. Bukan malah mengacungkan jari tengah sambil cengengesan seolah bangga gitu!”
Benar saja. Alih-alih merasa keren dan menuai banyak pujian dari sahabat-temannya di media umum dengan pose demikian, adek gemes ini justru mendapat banyak kecaman sampai dilaporkan ke kepolisian oleh beberapa netizen karena dianggap melecehkan.
“Jangan diulangi lagi ya, dek. Kakak-kakak yang menghujatmu itu, barangkali hanya ngasih kamu pelajaran kok agar kau lebih baik lagi. Jangan kapok bermedia sosial!”
Hal serupa mampu menimpa semua orang, di mana saja. Bahkan nama-nama besar sekalipun tidak luput dari hal itu. Darwis Tere Liye, misal. Novelis megaproduktif dengan karya-karya yang sering mendapat stempel “Best Seller”. Belio pernah jadi bahan bully-an netizen karena tulisannya di FP miliknya yang menyinggung soal kepahlawanan Ulama-ulama besar dan umat beragama lain, lalu mengesampingkan tugas komunis, sosialis, penggagas HAM, atau liberalis. Dengan kata lain, belio mewaspadai kepahlawanan Soekarno atau Tan Malaka.
Beruntung, Tere tidak sendirian. Dibelakangnya banyak ribuan bahkan jutaan fans garis keras yang—manggut-manggut dengan goresan pena-goresan pena blio, like, kemudian ijin share—siap membela mati-matian sang idola.
Pun Fahira Idris, Senator RI, Wakil Ketua Komite III DPD RI, yang tempo hari saya tulis. Ibu Senator juga tidak sendirian. Dibelakangnya banyak yang siap mendukung bahkan jika harus perang urat saraf sekalipun.
Dan masih banyak lagi artikel serupa baik berupa foto atau tulisan yang lalu menuai polemik di kelompok netizen.
Dunia maya mampu jadi jauh lebih kejam dari dunia aktual. Bisa lebih menyakitkan dari ajukan sahabat alasannya adalah kita jomblo terlalu usang. Atau mampu terasa lebih perih dari dikala kita menyaksikan mantan lewat di depan kita dengan pasangan barunya.
Sedikit saja kesalahan yang kita kerjakan, bisa menjadi lahan pencitraan orang lain biar dianggap baik. Itulah sebab, di dunia maya ini, pencitraan itu penting. Barangkali goresan pena ini termasuk. Eh!
Belajar Ketulusan Dari Seekor Ayam