Belum lama berselang dr waktu meninggalnya Ja`far bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash-Shidiq tiba untuk meminang Asma’ Binti Umais sehabis wafatnya istri ia Ummu Rumaan. Tiada argumentasi lagi bagi Asma’ menolak pinangan orang seutama Abu Bakar Ash Shidiq, begitulah kesannya Asma` berpindah ke rumah Abu Bakar Ash Shidiq untuk menambah cahaya kebenaran & cahaya iktikad & untuk mencurahkan cinta & kesetiaan di rumah tangganya.
Setelah sekian usang ia melangsungkan ijab kabul yg penuh berkah, Allah mengaruniai pada mereka berdua seorang anak pria. Mereka ingin melangsungkan haji wada`, maka Abu Bakar menyuruh istrinya untuk mandi & meyertai haji sesudah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintanya.
Asma` menyaksikan insiden demi kejadian yg besar, namun insiden yg terbesar yakni wafatnya pemimpin anak Adam & terputusnya wahyu dr langit. Kemudian beliau pula menyaksikan suaminya, Abu Bakar, memegang tampuk kekhalifahan bagi kaum muslimin sehingga suaminya merampungkan problematika yg sungguh rumit seperti memerangi orang murtad, memerangi orang-orang yg tidak mau bersedekah serta mengirim pasukan Usamah & sikapnya yg teguh laksana gunung tak ragu -ragu & tak pula sangsi, demikian pula ia menyaksikan bagaimana derma Allah diberikan pada kaum muslimin dgn sikap akidah yg teguh tersebut.
Asma`senantiasa menjaga supaya suaminya senantiasa merasa senang & ia hidup bersama suaminya dgn perasaan yg nrimo turut memikul beban bareng suaminya dlm urusan umat yg besar.
Akan tetapi hal itu tak berlangsung usang alasannya khalifah Ash-Shidiq sakit & makin bertambah parah sampai keringat membasahi pada belahan atas kedua pipi dia. Ash-Shidiq dgn ketajaman perasaan seorang mukmin yg shiddiq mencicipi dekatnya maut ia sehingga beliau bersegera untuk berwasiat. Adapun di antara wasiat ia adalah supaya beliau dimandikan oleh istrinya Asma` binti Umais, di samping itu ia berpesan pada istrinya biar berbuka puasa yg mana ia berkata: “Berbukalah lantaran hal itu menciptakan dirimu lebih kuat.”
Asma` merasa telah dekatnya wafat beliau sehingga ia membaca istirja` & memohon ampun sedangkan kedua mata beliau tak berpaling sedikitpun dr memandang suaminya yg ruhnya kembali dgn selamat pada Allah. Hal itu menciptakan Asma` meneteskan air mata & bersedih hati, akan tetapi sedikitpun dia tak mengatakan sesuatu melainkan yg diridhai Allah Tabaraka Wa Ta`ala, beliau tetap bersabar & berteguh hati.
Selanjutnya ia menunaikan kasus penting yg diminta oleh suaminya yg sudah tiada, karena dia adalah orang yg paling bisa diandalkan oleh suaminya.
Mulailah beliau memandikan suaminya & hal itu memperbesar kesedihan & kesulitan dia sehingga dia lupa terhadap wasiat yg kedua. Beliau bertanya pada para muhajirin yg hadir, “Sesungguhnya gue sedang berpuasa, tetapi hari ini yakni hari yg sangat dingin, apakah boleh bagiku untuk mandi?” mereka menjawab, “Tidak.”
Di final siang seusai dimakamkannya Ash-Shidiq tiba-tiba Asma` binti Umais ingat wasiat suaminya yg kedua yakni biar beliau berbuka (tidak melanjutkan shaum). Lantas apa yg hendak dilakukannya kini? Sedangkan waktu cuma tinggal sebentar lagi, menanti matahari tenggelam & orang yg shaum diperbolehkan untuk berbuka? Apakah ia akan menanti sejenak saja untuk melanjutkan shaumnya?
Kesetiaan terhadap suaminya telah menghalangi ia untuk mengkhianati wasiat suaminya yg sudah pergi, maka ia mengambil air & minum kemudian berkata: “Demi Allah gue tak akan melanggar janjinya hari ini.”
Setelah kepergian suaminya, Asma` melazimi rumahnya dgn mendidik putra-putranya baik dr Ja`far maupun dr Abu Bakar, beliau menyerahkan urusan anak-anaknya pada Allah dgn memohon terhadap-Nya untuk memperbaiki anak-anaknya & Allah pun memperbaiki mereka hingga mereka menjadi imam bagi orang-orang yg bertakwa. Inilah puncak dr impian beliau di dunia & ia tak mengetahui takdir yg akan menimpa dia yg tersembunyi di balik ilmu Allah.
Dialah Ali bin Abi Thalib saudara dr Ja`far yg mempunyai dua sayap mengunjungi Asma` untuk meminangnya sebagai wujud kesetiaan Ali pada saudaranya yg ia cintai yaitu Ja`far begitu pula Abu Bakar Ash Shidiq.
Setelah berulang-ulang berfikir & mempertimbangkannya dgn matang maka dia menetapkan untuk menerima lamaran dr Abi Thalib sehingga potensi tersebut mampu ia gunakan untuk menolong membina putra-putra saudaranya Ja`far. Maka berpindahlah Asma` ke dlm rumah tangga Ali sesudah wafatnya Fatimah Az Zahra & ternyata beliau pula memiliki suami yg paling baik dlm bergaul. Senantiasa Asma` memiki kedudukan yg tinggi di mata Ali hingga dia sering mengulang-ulang di setiap daerah, “Di antara wanita yg mempunyai syahwat sudah mendustai kalian, maka gue tak menaruh kepercayaan di antara wanita melebihi Asma` binti Umais”.
Allah menunjukkan kemurahan pada Ali dgn mangaruniai anak dr Asma` yg bernama Yahya & Aunan, berlalulah hari demi hari & Ali menyaksikan pemandangan yg aneh yakni putra saudaranya Ja`far sedang berbantahan dgn Muhammad bin Abu Bakar & masing-masing membanggakan diri dr yg lain dgn mengatakan, “Aku lebih baik dr pada ananda & ayahku lebih baik dr pada ayahmu.”
Ali tak mengetahui apa yg mereka berdua katakan? Dan bagaimana pula memutuskan antara keduanya lantaran dia merasa simpati dgn keduanya? Maka tiada yg mampu ia kerjakan selain memanggil ibu mereka yakni Asma` kemudian berkata: “Putuslah antara keduanya!”
Dengan pikirannya yg tajam & pesan tersirat yg mendalam dia berkata: “Aku tak menyaksikan seorang pemuda di Arab yg lebih baik dr pada Ja`far & gue tak pernah menyaksikan orang bau tanah yg lebih baik dr pada Abu Bakar.”
Inilah yg menyelesaikan urusan mereka berdua & kembalilah kedua bocah tersebut saling merangkul & bermain bersama, tetapi Ali merasa kagum dgn bagusnya keputusan yg diambil Asma` terhadap anak-anaknya, dgn menatap wajah istrinya, dia berkata: “Engkau tak menyisihkan bagi kami sedikitpun wahai Asma`?” Dengan kecerdasan yg tinggi & keberanian yg luar biasa ditambah lagi budbahasa yg mulia ia berkata: Di antara ketiga orang pilihan, kebaikan anda masih di bawah kebaikan mereka.”
Ali tak merasa ajaib dgn jawaban istrinya yg pandai, maka dia berkata dgn kesatria & susila yg utama berkata: “Seandainya kau-sekalian tak menjawab dgn jawaban tersebut niscaya gue cela dirimu.”
Akhirnya kaum mislimin memilih Ali selaku Khalifah sehabis Utsman bin Affan, maka untuk kedua kalinya Asma`menjadi istri bagi seorang khalifah yg kali ini ialah Khalifah Rasyidin yg keempat, mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua.
Asma`turut serta memikul tanggung jawab selaku istri khalifah bagi kaum muslimin dlm menghadapi peristiwa-peristiwa yg besar. Begitu pula dgn Abdullah bin Ja`far & Muhammad bin Abu Bakar bangkit disamping ayahnya dlm rangka membela kebenaran. Kemudian sehabis berselang beberapa lama wafatlah putra ia Muhammad bin Abu Bakar & petaka tersebut menjinjing imbas yg besar pada diri dia, akan tetapi Asma` seorang wanita mukminah tak mungkin meyelisihi aliran Islam dgn berteriak-teriak & meratap & hal lain-lain yg tidak boleh dlm Islam. Tiada yg dia lakukan selain berusaha bersabar & memohon sumbangan dgn tabah & shalat terhadap penderitaan yg dia alami. Asma` senantiasa memendam kesedihannya hingga payudaranya mengeluarkan darah.
Belum lagi tahun berubah hingga bertambah parah sakit dia & menjadi lemah jasmaninya dgn cepat kemudian beliau meninggal dunia. Yang tinggal hanyalah lambang kehormatan yg tercatat dlm sejarah sehabis ia mengukir sebaik-baik teladan dlm hal kecerdikan, ketekunan & kekuatan. [Paramuda/Wargamasyarakat]