Mempelajari karakteristik dari hasil genetika (Jawa – Batak) yang hidup di rantau, dengan drama kehidupan politik di masyarakat, memancing sejumlah kalangan, dan interaksi selama 2011-2021. Bangga dengan status sosial, dan kelas sosial mereka hasil dari kejahatan seksualitas, pendidikan, pertentangan sosial.
Jelas bagaimana proses kekerabatan agama Islam dan Protestan dari hasil asimilasi budaya, menurut hukum agama. Tidak percaya dengan hasil profesi kedua orang bau tanah mereka, maka raih kelas sosial sebagai dokter, guru dan dosen (Sihombing, Silaban) namun menyimpang dengan hukum Indonesia, dan budpekerti budaya serta agama.
Yaitu kebijakan yang dihasilkan oleh hasil genetika Marga Silaban, dan Marpaung di Kalimantan Barat, (tidak menyelesaikan pendidikan 9 tahun), maka diimbaskan pada penduduk Tionghoa, untuk buka usaha temuan pada 2002 berlanjut sampai universitas.
Memang anda siapa (Prilaku Kucing dipakai oleh Silaban, Sihombing dokter dan dosen) temuan itu pada pembangunan manusia yang diciptakan, guna berkompetisi dengan menghalalkan berbagai cara, pada konsep suatu Negara Tetangga yang ada di Malaysia (orang, pekerja).
Hal ini berada kebijakan para kepentingan elit politik kembali di hasilkan, lewat agama Islam dan Protestan, mungkinkah Kristen terlibat (Siregar), utamanya tokoh agama, dan suster atau menurut suku?.
Berubah menurut kepentingan ekonomi, dan melonjaknya dan meraup kekayaan dari penduduk Tionghoa, yaitu warisan, hasil kejahatan suku Batak Silaban, di Pontianak Kalimantan Barat, dan ingin perusak kehidupan dan agama pelakunya Marpaung (Jawa), tidak sadar diri mereka siapa.
Dugaan itu timbul adanya bolak balik antar Negara, dan wilayah di Indonesia, untuk mempersiapkan kejahatan di lingkungan rumah, penduduk , dan ditempat konsumsi. Berbagai kepentingan muncul adanya kepentingan ekonomi politik, status sosial, kelas, sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat Jawa dan Batak.
Atribut yang mereka gunakan, berupa organisasi, adab, dan Negara, serta partai politik., Untuk itu, tidak hentinya ini menjadi jalan bagi setiap insan yang paham akan eksistensi manusia Indonesia, dalam menyaksikan ketiadaan mereka selaku manusia, tidak mampu berinovasi, dan berpengetahuan sehingga banyak korban jiwa yang dihasilkan, pada ilmu kesehatan (IDI).
Bagaimana mereka meraih banyak sekali tingkat status sosial mereka, kelas sosial, pendidikan, serta kerakusan mereka (bila tidak makan orang, maka makan uangnya). Penghasilan sebagai seksualitas Jawa Marpaung ternyata besar juga ongkosnya, apalagi selaku agama Islam pindah ke Protestan, bahwa uangnya habis untuk berjudi, berkonflik, berdasarkan kitab agama, dan politik.
Catatan para suku sangat terang bagaimana mereka hidup dengan ingin bersaing, dan masuk ke kelas sosial yang bukan keberadaan mereka, sampai menyimpang menurut hukum agama. Yang jelas bagaimana mereka bernegosiasi dengan penduduk Tionghoa – Melayu (Dosen BSI) yang sama biadabnya.
Itu menjadi cikal bakal pembangunan insan di Kalimantan dikala ini, sesudah kemerdekaan RI pertama adalah Mesjid DKI Jakarta, berlanjut pada pembangunan manusia biadab ketika ini. Berlindung dibalik tembok agama, dan suku, ketika ini pendidikan Silaban (Katolik MRPD Pancasila) perusak tatanan sosial.