Islam, Modal Sosial Dan Pengentasan Kemiskinan

Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan 
Islam dan Pembangunan 
United Nations Development Programme (UNDP) baru saja meluncurkan laporan perihal Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk tahun 2007/2008. Laporan tersebut memberikan adanya perkembangan dalam pembangunan insan (human development) di Indonesia dari tahun ke tahun. IPM tahun 1975 sebesar 0,471, tahun 1985 (0,585), tahun 1995 (0,670), dan tahun 2005 (0,728). 
Namun, peningkatan itu masih kalah daripada negara lain, setidaknya dengan sesama negara ASEAN. Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain kian jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga telah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109. Tanpa perbaikan taktik pembangunan ekonomi dan sosial, peringkat IPM Indonesia tidak menutup kemungkinan secepatnya disusul oleh Laos (130), Kamboja (131) dan Myanmar (132) di tahun-tahun mendatang (Suharto, 2007a; UNDP, 2007).
Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kemakmuran. Indikator pokok IPM menggambarkan tingkat mutu hidup sekaligus kemampuan (capabilitas) manusia Indonesia. Indikator angka cita-cita hidup menawarkan dimensi umur panjang dan sehat; indikator angka melek karakter dan rata-rata usang sekolah memberikan keluaran dari dimensi wawasan; dan indikator kesanggupan daya beli mempresentasikan dimensi hidup patut. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM Indonesia memberikan bahwa tingkat kemakmuran manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah. 
Bahkan, karena indikator IPM pada hakekatnya merujuk pada rancangan basic human capabilities, dapat dibilang bahwa kesanggupan masyarakat Indonesia untuk menyanggupi kebutuhan yang sungguh fundamental saja ternyata masih ketar-ketir. Dengan kata lain, alih-alih hidup berkecukupan, masyarakat Indonesia masih belum bisa terbebas dari lilitan kemiskinan. 
Hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan (Suharto, 2007b). Pada tahun 2007, jumlah masyarakatmiskin yaitu 37,17 juta orang atau 16,58% dari total masyarakatIndonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara diktatorial angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah masyarakatSelandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta). Angka kemiskinan ini memakai poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari.
Jika memakai poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk. 
Meski terkadang tumpang tindih, potret kemiskinan ini akan lebih buram lagi kalau dimasukkan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang oleh Departemen Sosial diberi label Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Di dalam golongan ini berbaris jutaan gelandangan; pengemis; Wanita Tuna Susila; Orang Dengan Kecacatan; Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA); Komunitas Adat Terpencil (KAT); Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus atau Children in Need of Special Protection (CNSP) (anak jalanan, buruh anak, anak yang dilacurkan, anak yang berkonflik dengan aturan, anak yang terlibat pertentangan bersenjata); jompo telantar dan seterusnya. Mereka kadang-kadang bukan saja mengalami kesusahan secara ekonomi, melainkan pula mengalami social exlusion pengucilan sosial akibat diskriminasi, stigma, dan eksploitasi. 
Selain itu, daya saing sumber daya insan (SDM) Indonesia juga secara umum masih berada di peringkat bawah. Sebelum krisis multidimensi (1997) World Competitiveness Yearbook menempatkan Indonesia di urutan ke-39. Pada permulaan kala ke-21 ini, posisi Indonesia merosot pada urutan ke-46 dari 47 negara yang disurvei (lihat Moejiono, 2007; Kompas, 2007). Maknanya, sesudah nyaris 10 tahun reformasi berjalan, daya saing SDM Indonesia di tingkat dunia belum mengalami perkembangan yang mempunyai arti. 
Apakah potret buram pembangunan insan di Indonesia secara serta merta menggambarkan kondisi umat Islam di dalamnya? Indonesia adalah negara dengan lebih banyak didominasi penduduk Muslim paling besar di dunia. Fakta bahwa penduduk Indonesia banyak yang miskin, ditambah dengan masih banyaknya negara Muslim yang juga miskin, tidak jarang mendorong para ilmuwan menciptakan generalisasi perihal adanya hubungan antara Islam dan kemiskinan. 
Benar. Kita perlu hati-hati dengan fallacy of dramatic instance seperti ini. Selain secara teologis Islam tidak mengajarkan umatnya untuk miskin, banyak juga negara non-Muslim yang hidup dalam kemiskinan. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi mengapa sebuah negara miskin atau sejahtera. Namun, tidak keliru juga jikalau ada yang merekomendasikan bahwa umat Islam tidak perlu terlalu defensif menghadapi fenomena ini. Maksudnya pastinya agar kita tidak terjebak pada pembelaan diri yang berlebihan. Sambil terus memaknakan secara otentik pedoman-aliran Islam yang mendorong pertumbuhan, umat Islam dilarang letih untuk terus berupaya mengidentifikasi faktor-aspek pemacu pembangunan dan mencari jalan keluar dari kemiskinan yang menimpa Indonesia. 
Peran Modal Sosial Modal Sosial dalam Pembangunan dalam Pembangunan Pembangunan tidak hanya berkaitan dengan modal ekonomi (finansial). Telah banyak studi yang menawarkan bahwa pembangunan tidak saja didorong oleh aspek ketersediaan sumberdaya alam, besarnya modal finansial atau tingginya investasi ekonomi dan industrialisasi. Pembangunan bertautan dengan matra sosial, utamanya modal sosial. Dalam bukunya yang populer, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity (1995), Fukuyama berhasil meyakinkan bahwa modal sosial memiliki kekuatan untuk mensugesti prinsip-prinsip yang melandasi perkembangan ekonomi dan kemakmuran sosial suatu negara. Negara-negara yang dikategorikan selaku high trust societies, menurut Fukuyama, condong mempunyai keberhasilan ekonomi yang menakjubkan. Sebaliknya, low trust societies condong mempunyai pertumbuhan dan sikap ekonomi yang lebih lamban dan inferior. 
Fukuyama (1995; 1999) mendefinisikan modal sosial selaku seperangkat norma atau nilai informal yang dimiliki bersama oleh para anggota sebuah kalangan yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Kunci dari modal sosial ialah trust atau akidah. Dengan trust, lanjut Fukuyama, orang-orang mampu berhubungan dengan baik. Karena ada kesediaan diantara mereka untuk menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan langsung. Trust bagaikan energi yang mampu menciptakan kalangan penduduk atau organisasi mampu bertahan. Trust yang rendah menimbulkan banyak energi terbuang sebab dipergunakan untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan. 
Dalam radius trust, setiap penduduk mempunyai persediaan modal sosial yang berlawanan-beda: seberapa jauh jangkaun budpekerti koordinasi, mirip kejujuran, solidaritas, pemenuhan kewajiban dan rasa keadilan. Apakah modal sosial bersifat ekslusif (hanya berlaku untuk keluarga atau kelompoknya saja), atau bersifat inklusif (berlaku bagi golongan lain yang lebih luas) juga berlawanan antara satu masyarakat dengan penduduk lainnya. Kelompok Ku Klux Klan atau Mafia, misalnya, mempunyai tingkat kohesi yang tinggi menurut norma-norma yang disepakati bareng . Meski demikian, modal sosial mereka cenderung bersifat destruktif bagi masyarakat yang lebih luas. 
Sedikitnya ada dua donasi utama modal sosial kepada pembangunan, ialah fungsi ekonomi dan politik. Secara ekonomi, kata Fukuyama (1999: 4), “the economic function of social capital is to reduce the transaction costs associated with formal coordination mechanisms like contracts, hierarchies, bureaucratic rules, and the like.” Secara politik, modal sosial mendorong demokrasi yang diwujudkan dalam dinamika civil society yang beroperasi di dalam sikap saling yakin antar sesama warga, serta antara warga dan negara. 
Dalam konteks ini Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai kesanggupan warga untuk menanggulangi problem publik dalam iklim demokratis. Sikap saling yakin antara sesama warga dan antar warga dan perangkat negara sangat memilih perkembangan demokrasi. 
Islam dan Modal Sosial Das Sollen 
Islam mempunyai landasan besar lengan berkuasa untuk membangun penduduk yang committed kepada modal sosial. Menurut Mintarti (2003), Islam memiliki akad terhadap persetujuan sosial dan norma yang sudah disepakati bersama; dan bangunan masyarakat Muslim ciri dasarnya yaitu ta’awun (tolong membantu), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (mempunyai solidaritas). 
Postulat naqliyah fatwa Islam yang koheren dengan modal sosial terdokumentasikan dengan baik 15 masa silam (Mintarti, 2003). Kala itu, penduduk Madinah dididik membangun dan menjunjung penduduk ideal yang kerap disebut masyarakat madani atau civil society; masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban. Masyarakat yang mempunyai tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip budbahasa yang menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial. Implementasinya antara lain dengan terbentuknya good governance yang tunduk pada metode dan perundang-usul yang akuntabel dan transparan. 
Dalam Islam diketahui kepercayaan fitrah yang sejalan dengan makna trust. Setiap bayi yang terlahir yakni laksana kertas putih bersih. Islam tidak memedulikan dosa turunan. Manusia intinya yaitu baik. Maka, dalam konteks korelasi sosial, Islam menganjuran untuk berprasangka baik (husn al-dzan) dan melarang ghibah dan fitnah. Ajaran filosofis tersebut dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad SAW, terutama dalam berdagang sehingga beliau dikenal dengan sebutan al-Amin (orang yang terpercaya). 
Bila dicermati, aneka macam ayat Al-Alquran yang membicarakan ibadah mahdhah seperti shalat berjamaah, zakat, qurban, puasa, haji, maupun muamallah mirip silaturahim, anjuran mengucapkan salam, menengok orang sakit dan seterusnya yang pada hakikatnya menjunjung tinggi dan sekaligus ialah instrumen modal sosial. 
Tidak sedikit hadits nabi yang menekankan pentingnya modal sosial, baik diantara sesama Muslim maupun sesama insan (lihat Mintarti, 2003). Anas ra. menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda, ”Tiada sempurna akidah salah seorang dari kamu sehingga dia menyayangi sesama Muslim, sebagaimana beliau telah menyayangi dirinya sendiri.” An-Nu’man Basyir ra. berkata: bersabda Rasulullah SAW, ”Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam cinta mengasihi, kasih mencintai dan rahmat merahmati yaitu bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota badannya menderita sakit, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh tubuh, hingga terasa panas dan tidak dapat tidur.” Sikap baik seperti ini berlaku juga bagi sesama insan. Jarir bin Abdillah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa tidak kasih kepada sesama insan, maka tidak dikasihi Allah.” 
Secara sosiologis, organisasi-organisasi sosial keagamaan besar mirip NU dan Muhammadiyah juga mampu dilihat selaku sebuah media praktik dan pengembangan modal sosial. Meski bukan lembaga pluralis karena tidak mencakup anggota non-Muslim, organisasi-organisasi ini tidak mempunyai AD-ART yang tidak senang non-Muslim dan sama sekali melarang anggotanya untuk memusuhi orang Katolik, Hindu, Budha dan penganut agama yang lain. 

Islam Dan Modal Sosial Das Sein
Pertanyaannya, kalau secara das sollen Islam ialah agama yang memiliki pedoman dan perangkat modal sosial, apakah secara das sein umat Islam ketika ini menunjukkan perilaku yang kental dengan trust? Pertanyaan ini cukup penting mengingat pembangunan manusia melibatkan proses menggali dan menimbulkan modal sosial yang bersifat das sollen (keharusan) menjadi das sein (kenyataan), yang diwujudkan oleh sikap konkret umatnya dalam sebuah komunitas. 
Belakangan ini, banyak kelompok akademis yang terpengaruh bahkan terprovokasi oleh tesis yang menyatakan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi dan civil society yang ialah indikator penting modal sosial. Sebagai contoh, Huntington, Kedourie dan Lewis berargumen bahwa Islam memiliki korelasi negatif dengan demokrasi dan civil society, sebab (lihat Mujani, 2007): 
1. Islam yakni persepsi hidup yang menyeluruh yang tidak membedakan antara agama dan politik dan persepsi ini dianut sebagian besar umat Islam; 
2. Masyarakat Muslim condong antipati kepada pandangan baru-pandangan baru pembebasan (liberalisme) dari Barat, alasannya cenderung meragukan apa pun yang berasal dari Barat; 
3. Doktrin ummah secara diametral bertentangan dengan konsep nation-state, salah satu prasyarat utama tumbuhnya demokrasi. Juan Linz dan Alfred Stepan menegaskan bahwa demokrasi tidak dapat diwujudkan tanpa negara-bangsa. Menurut Huntington, Kedourie dan Lewis, dengan adanya rancangan ummah, penduduk Muslim menjadi gila terhadap rancangan negara-bangsa. 
4. Dunia Islam dipandang tidak akomodatif terhadap pemikiran civil society yang juga ialah pilar demokrasi. Di kalangan Islam, mungkin saja ada asosiasi kewargaan. Tetapi, sebab tidak bersifat sekuler, tidak semua kalangan sosial berdiri secara independen dari otoritas agama. 
Index of Political Right and Civil Liberty yang dikeluarkan Freedom House melihat bahwa dalam tiga dekade terakhir, negara-negara Muslim pada umumnya tidak berhasil membangun politik demokrasi (Mujani, 2007). Sepanjang kurun tersebut, hanya ada satu negara Islam, adalah Mali di Afrika, yang bisa membangun demokrasi secara penuh selama lebih dari lima tahun. ”Dua belas negara Muslim yang lain tergolong ke dalam golongan semi-demokratis. Sisanya, ialah 35 negara, bersifat otoritarian. Lebih dari itu, delapan dari 13 negara dengan pemerintahan paling represif di dunia pada dekade yang kemudian ialah negara-negara Muslim” (Mujani, 2007: 1). 
Huntington (1991) bahkan menawarkan bahwa dikala gelombang demokratisasi yang ia sebut sebagai The Third Wave, berkembangdi hampir semua belahan bumi pasca Perang Dingin, dunia Islam seakan tidak terpengaruh oleh kecenderungan global ini. Hampir semua negara bekas Uni Soviet menentukan demokrasi selaku pengganti metode adikara imperium ini. Namun, enam negara Muslim, yakni Azerbaijan, Kyrgistan, Kajakhstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan, tidak melakukannya. Penelitian Sarif Mardin di Timur Tengah juga memberikan rendahnya trust di negara-negara Islam yang menimbulkan kekuatan civil society menjadi lemah dan kemudian menimbulkan terjadinya defisit demokrasi di banyak negara Islam (Jaringan Islam Liberal, 2003). 
Syamsul Arifin (2003) seakan sepandangan dengan tesis Huntington dkk. Menurutnya, masyarakat Islam tampaknya kurang memberi perhatian terhadap modal sosial, meskipun human capital yang dimiliki melimpah. Dalam kehidupan keagamaan, umat Islam tidak mudah disatukan dalam banyak hal yang bantu-membantu mampu dilaksanakan, mirip yang senantiasa terjadi dalam menentukan Idul Fitri dan Idul Adha. 
Dalam sejarah pertumbuhan partai politik juga nyaris sama. ”Sejarah parpol Islam ialah sejarah ihwal kekalahan,” kata Arifin. Selain parpol Islam sulit mendapatkan dukungan yang significant, sehingga untuk mendapatkan electoral threshod saja sulit, parpol-parpol Islam juga sungguh sulit disatukan (merger). Ini merefleksikan bahwa parpol Islam dapat dikategorikan selaku low trust society. 
Saiful Mujani (2007) dalam bukunya, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru memberi ”serangan balik” kepada pendapat di atas. Dengan menggunakan pendekatan civic culture dalam konteks Indonesia, Mujani menelisik demokrasi melalui beberapa unsur budaya demokrasi itu sendiri, yang mencakup: keterlibatan kewargaan yang bersifat sekular (secular civic engagement), sikap saling yakin sesama warga (interpersonal trust), toleransi, keterlibatan politis (political engagement), pemberian kepada metode demokrasi, dan partisipasi politik (political participation). 
Dalam garis besar, observasi Mujani menolak tesis yang menyatakan bahwa Islam tidak sejalan dengan demokrasi dan civil society. Merujuk pada banyak pakar politik (mirip Anderson, Halliday, Entelis, Gerges, Tessler, Al-Braizat, Rose, Esposito dan Voll, Mousalli dll), serta studi lapangan, Mujani memperoleh bahwa: 
1. Masyarakat Islam mempunyai modal sosial yang cukup bagi tumbuhnya demokrasi. Sebagai budaya politik, Islam mempunyai nilai-nilai yang mendukung demokrasi. Defisit demokrasi di negara-negara Islam tidak berkaitan dengan Islam itu sendiri. Melainkan dengan faktor-aspek non-keagamaan, adalah aspek sosial, ekonomi, geopolitik, dan internasional. 
2. Tingkat civic engagement di kelompok Muslim Indonesia cukup tinggi. Sekitar 26% terlibat dalam kelompok arisan; 15,5% terlibat di organisasi tingkat desa; 8,7% di organisasi pekerja; 5% di koperasi; dan 2% terlibat di klub olah raga. Secara biasa , tingkat civic engagement umat Muslim Indonesia mencapai 38,9%. 
3. Tingkat toleransi masyarakat Muslim Indonesia pada tataran sikap kepada golongan tertentu, mirip komunis, Katolik, Islamis Muslim, Cina, Hindu, Budha dan seterusnya, terlihat rendah. Akan namun, hal ini tidak melemahkan demokrasi, karena kepuasan kepada kinerja demokrasi tinggi, yang pada gilirannya mendukung nilai-nilai demokrasi. 
4. Dukungan penduduk Islam Indonesia terhadap institusi politik relatif rendah. Tetapi, tingkat partisipasi politik, baik konvensional maupun non-konvensional sungguh tinggi. 
Modal Sosial dan Kebijakan Publik 
Saya tergolong yang kurang sependapat dengan argumen yang menyatakan bahwa modal sosial yaitu masalah rakyat atau forum-lembaga sosial semata. Seakan-akan tidak ada ruang sama sekali bagi kebijakan publik untuk membangun dan membuatkan modal sosial (Suharto, 2007a; 2007b). Fukuyama (1999: 11) menyatakan bahwa negara dapat mendorong penciptaan modal sosial lewat penyediaan public goods yang penting. Menurutnya, ”The area where governments probably have the greatest direct ability to generate social capital is education.” 
Menurut hemat saya, dimensi modal sosial bisa juga diteropong dari adanya keterlibatan negara dalam melindungi dan melayani warganya yang tercermin dari seberapa besar pengeluaran publik, bukan saja untuk pendidikan, melainkan pula kesehatan. Kesehatan dan pendidikan tergolong public goods. Sebagian besar anggaran untuk sektor ini lazimnya berasal dari pajak. 
Pelayanan kesehatan dan pendidikan tidak hanya ialah instrumen yang mampu meng-generate social capital sebagaimana dinyatakan Fukuyama. Melainkan pula, merefleksikan adanya good governance dan trust diantara negara dan warga negara. Negara menawarkan jaminan sosial kepada warganya selaku timbal balik atas kepercayaan warga terhadap negaranya dalam membayar pajak. Kebijakan publik di bidang kesehatan dan pendidikan bisa dipandang selaku instrumen dan sekaligus parameter modal sosial.
Data pada Tabel memberikan bahwa tampaknya modal sosial di negara-negara Islam dilihat dari kebijakan publik di bidang kesehatan dan pendidikan masih belum sesuai impian. Pengeluaran kesehatan dan pendidikan Brunei Darussalam dan Bahrain dengan GDP sekitar US$17.000 jauh di bawah Portugal yang memiliki GDP nyaris sama. 
Hongaria, Argentina, Costa Rica, Bulgaria dan Panama mempunyai pengeluaran publik untuk kesehatan dan pendidikan yang jauh lebih tinggi dari pada Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, Brunei Darussalam dan Saudi Arabia, meskipun enam negara Islam yang disebut terakhir mempunyai GDP yang jauh lebih besar daripada lima negara non-Islam yang disebut pertama. Di daerah Asia, Thailand, Filipina, Sri Lanka dan Vietnam memiliki GDP lebih rendah dari pada Indonesia. Namun, negaranegara non-Islam tersebut mempunyai rangking IPM yang lebih baik, serta perhatian yang lebih besar terhadap kesehatan dan pendidikan, dibandingkan dengan Indonesia. 
Teras Belakang: Islam, Modal Sosial dan Pengentasanan Kemiskinan Kemiskinan Rendahnya IPM dan problema kemiskinan masih merupakan tantangan serius yang dihadapi umat Islam, khususnya di Indonesia. Selain masih rendah, IPM Indonesia juga kian tertinggal oleh negara-negara tetangga di ASEAN dan telah terkejar oleh Vietnam. Kebijakan dan program pembangunan yang lebih pro-poor tampaknya mesti lebih menerima prioritas di tahun-tahun mendatang, utamanya bagi golongan-kelompok miskin dan rentan dalam masyarakat, mirip orang miskin dengan abnormalitas (OMDK), orang miskin dengan HIV/AIDS (OMDHA), dan belum dewasa yang memerlukan bantuan khusus. 
Modal sosial mempunyai kontribusi penting dalam menopang pembangunan. Pendekatan dalam memajukan IPM dan memerangi kemiskinan di Indonesia tidak harus hanya dikerjakan melalui pemberdayaan ekonomi saja, melainkan pula lewat penguatan modal sosial. Skema-bagan perlindungan sosial, seperti asuransi sosial, perlindungan sosial (social assistance), conditional cash transfer (CCT), social safety nets bisa dijadikan pendekatan dalam mengentaskan kemiskinan. 
Dipadukan dengan rancangan Corporate Social Responsibility dengan Community Development nya, versi-versi jaminan sosial berbasis masyarakat yang bermatra Islam bisa menjadi opsi. Modal sosial yang sekarang sering dijadikan referensi oleh kaum akademisi maupun praktisi bukan hal yang baru bagi dunia Islam. Konsep perihal demokrasi dan civil society yang ialah pilar-pilar modal sosial sudah bersemi dan mendapat daerah yang bagus dalam khazanah anutan Islam. Namun, dalam praktiknya nilai-nilai ini tidak berjalan begitu saja dan mewujud dalam perilaku keseharian umat Islam. 
Pengalaman dan praktik demokrasi dan civil society di negara-negara Muslim sungguh berpelangi. Merujuk pada konteks masyarakat di Indonesia, sepertinya umat Islam memiliki modal sosial yang cukup tinggi. Meskipun ini tidak bermakna bahwa tidak ada hal yang perlu dikembangkan. Beberapa kasus, mirip intoleransi terhadap penganut agama ”selain” Islam (misalnya kekerasan kepada kelompok Lia Eden, Ahmadiyah) atau kekurang-kompakan di kalangan umat Islam (contohnya dalam partai politik dan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha), menawarkan bahwa trust di golongan Islam masih mesti terus diperkokoh. Pendidikan kewargaan, penguatan multikulturalisme, dan dialog lintas agama, misalnya, kiranya masih tetap relevan digelorakan. 
Modal sosial bisa dilihat dari keterlibatan negara dalam menawarkan pelayanan publik, khususnya kesehatan dan pendidikan. Secara biasa , data yang ada menunjukkan bahwa perhatian negara terhadap pendidikan dan kesehatan masih relatif rendah di kalangan negara Islam, termasuk Indonesia. Ini memberikan bahwa lembaga-lembaga civil society di Indonesia dapat berbagi strategi advokasi kepada negara biar memperkuat kebijakan sosial. 
Ini juga memberi pesan bahwa dalam pengentasan kemiskinan, tugas forum-forum sosial keagaamaan (misalnya LAZNAS, BAZIS, Dompet Dhuafa) bisa memfokuskan pada penguatan faktor pelayanan kesehatan dan pendidikan. Program-program mirip Rumah Sakit gratis, Rumah Bersalin gratis, dan sekolah untuk kaum dhuafa yang selama ini sudah dilaksanakan perlu terus dikembangkan dan diperluas baik flatforms maupun jumlah sasaran garapannya. 
Dalam kaitan ini, perlu dibentuk/ditunjuk lembaga khusus (baik tersendiri atau di bawah organisasi yang sudah ada, contohnya di bawah MUI) yang mampu mengembangkan database komprehensif yang mencakup pemberi dan akseptor zakat by name dan by address. Database ini mesti di-updated secara periodik dan gampang diakses oleh penduduk luas, tergolong oleh lembaga-lembaga pengurus Edi Suharto/2007 zakat atau BMT-BMT di seluruh pelosok negeri. Informasi dalam database ini diperlukan bukan hanya untuk memetakan dan memobilisasi sumber-sumber umat saja, melainkan pula untuk memonitor dan mengevaluasi pertumbuhan hidup orang miskin dan mencegah mitos-mitos yang kerap menerpa mereka yang pada gilirannya ”mengkambinghitamkan” acara-program pemberdayaan orang miskin. 
Berdasarkan observasi terhadap bagan AFDC (Aids for Families with Dependent Children) yang sekarang berganti nama menjadi TANF (Temporary Assistance for Needy Families) di AS, Suharto (2007: 262- 264) memberikan bahwa orang miskin bukan saja sering mendapatkan stigma sebagai orang malas, tergantung, penipu dan seterusnya. Melainkan pula, program-acara pelayanan sosial bagi mereka walaupun merupakan haknya, kerap dikritik menurut generalisasi yang tidak berdasar (mitos). Sedikitnya ada 12 mitos yang menerpa AFDC yang sesudah diteliti secara saksama ternyata tidak terbukti.
Para pengelola dana umat perlu mencar ilmu dari ”bad practices” ini. Selain itu, perlu pula dipikirkan kemungkinan perumusan standar kompetensi pengelola dana umat. Selama ini audit secara ekonomi telah banyak dilaksanakan terhadap lembaganya. Namun, standar kompetensi para pekerja sosial yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan nilai-nilai profesional tampaknya masih belum disertifikasi secara nasional. Hal ini cukup penting, mengenang akuntabilitas pengelolaan dana umat bukan saja diukur dari faktor efisiensi dan transparansinya saja. Melainkan pula, sejauh mana dana tersebut benar-benar menyentuh keperluan, hak dan keberdayaan umat.