Interelasi Islam Dan Budaya Jawa Dalam Faktor Kepercayaan Dan Tradisi Upacara Ajal

I. PENDAHULUAN

Dalam proses penyebaran Islam di Jawa terdapat dua pendekatan ihwal bagaimana cara yang ditempuh supaya nilai-nilai Islam diserap menjadi budaya Jawa. Pendekatan yang pertama disebut Islamisasi Kultur Jawa. Melalui pendekatan ini, budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun secara substansial. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yang diartikan selaku upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam lewat cara penyusupan ke dalam budaya.
Melalui kedua pendekatan ini, produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam kejawen atau Jawa yang keislaman sehingga muncul istilah Islam Jawa atau Islam Kejawen. [1] Tradisi penyelarasan antara Islam dan budaya Jawa ini telah berjalan semenjak awal kemajuan Islam di Jawa.
Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk mengakomodasikan Islam dengan budaya Jawa lokal sudah melahirkan keyakinan-dogma serta upacara-upacara ritual. Diantara upacara-upacara ritual itu ialah upacara yang dikerjakan berhubungan dengan bulat hidup insan, kegiatan kehidupan sehari-hari dan lain sebagainya.
II. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan membahas beberapa problem perihal :
A. Kepercayaan dan tradisi Jawa berhubungan dengan kematian.
B. Proses interelasi Islam Jawa dalam dogma dan tradisi upacara kematian.
C. Pandangan filosofis terkait tradisi upacara syukuran peringatan akhir hayat.
III. PEMBAHASAN
A. Kepercayaan dan Tradisi Jawa Berkaitan dengan Kematian
Menurut orang Jawa, arwah orang-orang renta selaku nenek moyang yang telah meninggal dunia tetap hidup dan berkeliaran disekitar daerah tinggalnya atau selaku arwah leluhur menetap di makam (pesareyan). Mereka masih mempunyai kontak relasi dengan keluarga yang masih hidup sehingga sebuah saat arwah itu nyambangi datang kekediaman anak keturunan. Roh-roh yang bagus yang bukan roh nenek moyang atau saudara disebut dhanyang, bahureksa atau sing ngemong. Dhanyang ini dipandang sebagai roh yang menjaga semoga memantau seluruh penduduk desa. 
Dari sinilah lalu timbul upacara higienis desa, termasuk membersihkan makam-makam dibarengi dengan kenduren maupun sesaji dengan maksud semoga sang dhanyang akan selalu menawarkan bantuan. Pelaksanaan upacara itu sendiri dilaksanakan pada hari-hari tertentu sesuai dengan bentuk upacaranya. [2]
Dalam doktrin lama, upacara-upacara ini dikerjakan dengan menyelenggarakan sesaji atau semacam korban yang dihidangkan terhadap daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, makhluk-makhluk halus, tuhan-yang kuasa) tertentu. Ibadah ritual orang Jawa yang seluruhnya menurut doktrin terhadap roh baik dan jahat itu, semula dikerjakan dalam rangka untuk menemukan berkah atau minta pemberian dari tragedi atau juga untuk menghalangi efek buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak diinginkan yang mau membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Upacara-upacara pokok ini dalam agama Jawa tradisional disebut juga dengan ungkapan slametan (Selamatan, kenduri). Ini merupakan program agama yang paling lazim diantara kalangan orang Jawa dan melambangkan persatuan gaib dan sosial dari orang-orang yang berpartisipasi dalam selamatan itu.[3]
B. Proses Interelasi Islam Jawa dalam Kepercayaan dan Tradisi Upacara Kematian
Masuknya Islam ke Jawa memperlihatkan warna gres pada upacara-upacara dalam tradisi Jawa, termasuk upacara maut. Menurut iman Islam, orang-orang yang telah meninggal dunia ruhnya tetap hidup sebagaimana berdasarkan orang Jawa, cuma saja ruh itu tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, ialah alam sebelum memasuki alam akhirat.
Dari sini dapat dilihat bahwa baik dalam doktrin Islam maupun Jawa memiliki pandangan yang hampir sama,akan namun terkait dengan akidah orang jawa yang menatap bahwa roh-roh atau dhanyang-dhanyang itu menjaga dan memantau seluruh penduduk desa serta menawarkan bantuan sehingga perlu diadakan upacara pemujaan dan tunjangan sesaji Islam tidak sepakat, alasannya adalah menurut Islam,yang memperlihatkan pertolongan cuma Allah dan ritual-ritual yang diadakan untuk pemujaan kepada roh-roh halus sama saja dengan menyekutukan Tuhan (Allah), sehingga Islam melarang ritual-ritual sesaji.
Akan tetapi disisi lain, Islam percaya bahwa orang yang meninggal dunia perlu dikirimi do’a. Maka, atas dasar inilah kemudian pemikiran Islam dapat masuk ke dalam kepercayaan orang Jawa dengan mengganti persepsi mereka bahwa orang yang meninggal dunia tidak butuhdipuja dan diberi sesajian, tetapi perlu dikirimi do’a agar menjadi pelengkap bekalnya di alam kubur. Sedangkan bentuk derma sesaji dirubah dengan bentuk pemberian shadaqah atau yang biasa disebut orang Jawa dengan istilah berkat. Dari sinilah Islam dapat berinterelasi dengan gampang ke dalam keyakinan tradisi Jawa.
Secara luwes, Islam memberikan warna gres pada upacara-upacara itu dengan istilah kenduren atau selametan. Tradisi selamatan yang inti pokoknya ialah pembacaan do’a untuk yang meninggal dunia ini sendiri untuk penentuan hari pelaksanaannya disesuaikan dengan warisan budaya sebelum Islam, yaitu seperti hari-hari pemujaan yang biasa dikerjakan orang-orang Jawa sebelum datangnya Islam.
Tradisi slametan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan warisan sebelum Islam ini diadakan pada hari ketiga sehabis akhir hayat (nelung dina) dengan memanggil orang banyak dan disediakan makanan (berkat) yang tujuannya adalah untuk sedekah, bukan sesajian untuk jenazah. Slametan berbentukkirim do’a dengan membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan shalawat nabi yang secara keseluruhan rangkaian bacaan itu disebut tahlilan. Istilah tahlil itu sendiri berarti membaca zikir dengan bacaan لااله الاالله . Pembacaan do’a ini dipimpin oleh orang yang dipandang mempunyai wawasan ihwal Islam, apakah seorang kyai, modin atau kaum.
Upacara slametan yang sama diselenggarakan pada dikala maut itu meraih tujuh hari (mitung dina), 40 hari (matang puluh), 100 hari (nyatus), satu tahun (mendhak sepisan), dua tahun (mendhak pindho) dan tiga tahun (nyewu). Tahlilan kirim do’a kepada leluhur terkadang dilaksanakan juga oleh keluarga secara bersama-sama pada ketika ziarah kubur, utamanya pada waktu menjelang ramadhan.[4]
Tradisi itu semua berangkat dari impian untuk menghibur pada keluarga yang ditinggalkan sekaligus mengambil iktibar bahwa yang masih hidup juga akan secepatnya menyusul (mati) dikemudian hari.[5]
C. Pandangan Filosofis terkait Tradisi-tradisi Upacara Selamatan Peringatan Kematian
Menurut tradisi eskatologi yang bersumber pada aliran sufi (Syattariyah), praktek syukuran peringatan dihubungkan dengan proses pembusukan tubuh yang mati sebelum pada balasannya melebur seluruhnya dengan tanah. Dalam kondisi normal, proses ini berlangsung pada tujuh tahap.[6]
Tahap pertama adalah tiga hari sesudah pemakaman, ketika jasad diyakini membesar. Tahap kedua, yaitu hari ke tujuh, dikala pembengkakan mencapai puncaknya dan meletus. Setelah itu daging terurai dan mulai membusuk. Setelah 40 hari (Tahap ketiga), proses pembusukan ini diikuti dengan pergerakan tubuh secara perlahan tetapi niscaya. Kepala menjadi tegak, mirip halnya lutut, sementara pada hari ke 100 (Tahap keempat), tubuh yang membusuk berganti dari posisi tidur ke posisi berdiri.
Proses ini berjalan hingga kaki melenting ke belakang dan kepala ke depan. Setahun kemudian (Tahap kelima), kepala akan meraih lutut. Di tahun kedua (Tahap keenam), ketika semua daging telah tidak tersisa, kaki mayat akan tertekuk hingga ke bawah pantat, sedangkan kepala akan mencapai lutut. Akhirnya, dalam waktu tiga tahun atau 1000 hari (Tahap ketujuh), semua tulang akan terkumpul bersama sebelum alhasil melebur dengan tanah.
Gerakan tulang ini didalam proses pembusukan, terutama gerakan kepala, diyakini mengikuti, dengan arah terbalik, proses pertumbuhan bayi saat berada didalam kandungan (yang juga berjalan dalam tujuh tahap). Menurut fatwa sufi Syattariyah ini, proses pelarutan tersebut mempunyai arti mistis. Masing-masing tahap pantas dicermati dan inilah alasan mengapa slametan perlu diadakan.
IV. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat sebagaimana mestinya, kami sadar sebagai insan biasa, pastinya makalah ini tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan. Oleh kesannya, rekomendasi dan kritik dari pembaca sekalian sungguh kami inginkan demi kesempurnaan makalah ini. Dan supaya mampu berfaedah bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
  • AG. Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal : Potret dari Cirebon, Jakarta : Logos, 2002.
  • Fattah. Munawir. Abdul, Tradisi Orang-orang NU, Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2006.
  • Jamil. Abdul, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2002.
  • Muchtarom. Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta : Salemba Diniyyah, 2002.
  Hubungan Islam Dan Jawa Dalam Bidang Sastra