close

Interelasi Islam Dan Budaya Jawa Dalam Aspek Iktikad Dan Ritual

I. PENDAHULUAN

Suku-suku bangsa Indonesia dan utamanya suku Jawa sebelum kehadiran pengaruh Budha dan Hindutelah hidup teraur dengan religi animism-dinamisme selaku akar sepiritualnya,dan hokum budbahasa sebagai pranata kehidupan sosial mereka.Orang Jawa aktif menyadap dan mengolah Hinduisme,maka unsure –bagian Hindu itu dipadukan dipahamidari sudut Jawa atau Jawanisasi untuk mningkatkan dan memeperhalus budaya Jawa menjadi hindu-Kejawen.
Ketika Islam tiba ke Jawa berhadapan denga dua jenis lingkungan budaya kejawen,yakni lingkungan budaya istana yang sudah menjadi mutakhir dengan mengolah unsure-bagian Hinduismedan budaya pedesaan yang tetap hidup dalam kegelapan animism- dinamisme dan lapisan kulitnya yang tersentuh Hinduisme.Dalam keadaan demikian para penyebar Islam dalam hal ini Walisongo melaksanakan dua pendekatan dalam memberikan anutan Islam yaitu dengan Islamisasi Kultur jawa dan jawanisasi islam. Pendekatan yangpertama budaya Jawa diusahakan agar tampak bercorak Islam,baik secara formal maupun substansial sedangkan yang kedua penginternalisasian nilai-nili Islam lewat cara penyusupan kedalam budaya Jawa. Sehingga dalam hal keprcayaan dan ritual terjadi akulturasi antara Islam dan budaya Jawa. Ini pertanda Islam bukan cuma untuk bangsa tertentu tetapi untuk semua bangsa yang mana dalam aliran Islam likuli zamanin wa makanin . 
II. PEMBAHASAN
1. Agama dan Budaya 
Dalam kajian kehidupan keberagamaan,banyak mahir menggunakan konsepsi Geertz ihwal agama yang melihatnya selaku contoh tindakan (pattern for behavior).Dalam hal ini,agama ialah pemikiran yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi langkah-langkah,yaitusesuatu yang hidup dalm diri manusiayang tampak dalam kehidupan kesehariannya.Disini agam dianggap bab dari sistem kebudayaan.
Menanggapi agam selaku system kebudayan,Suparlan menyatakan bahwa pada hakekatnya agam ialah sma dengan kebudayaan,ialah suatu tata cara symbol atau sistem pengetahuan yang membuat,menggolong-golongkan,meramu atau merangkaikan dan memakai simbol untuk berkomunikasi dan untuk menghadapi lingkungan.
Para hebat menyaksikan agamasebagai metode kebudayaan,tampak adanya tipologi kajian islam dalam konteks lokal,yang dikategorikan selaku kajianyang memadang korelasi antara tradisi islam dan lokal bercorak sinkretik dan bercorakakulturatif [1]
2. Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam 
Proses penyebaran Islam di Jawa terdapat dua pendekatan yang ditempuh biar nilai-nilai Islam mampu diserap menjadi bab dari budaya Jawa. Pendekatan pertama disebut Islamisasi kultur Jawa. Melalui pendekatan ini budaya Jawa diupayakan supaya terlihat bercorak Islam, baik secara formal maupun substansial. Upaya ini ditandai dengan penggunaan perumpamaan-istilah Islam, penerapan hukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam lewat cara penyusupan ke dalam budaya Jawa. Pada cara yang pertama Islamisasi dimulai dari faktor formal terlebih dahulu sehingga simbol-simbol keislaman terlihat secara faktual dalam budaya Jawa, sedangkan pada cara yang kedua walaupun perumpamaan dan nama-nama Jawa tetap digunakan namun nilai yang dikandungnya ialah nilai-nilai Islam sehingga Islam menjawa banyak sekali kenyataan menawarkan bahwa produk produk budaya orang jawa yang baragam islam condong mengarah pada polarisasi islam kejawaan atau jawa yang keislaman sehinnga muncul iastilah sehingga muncul istilah islam jawa atau islam kejawen. Tampaknya tradisi antara islam dan budaya jawa ini telah berlangsung semenjak awal kemajuan islam di Jawa. Dalam kehidupan keberagamaan,kecenderungan untuk mengakomodasikan islam dengan budaya Jawa lokal telah melahirkan iktikad serta upacara-upacara.[2]
3. Interelasi antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek iktikad 
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Interelasi memiliki arti “hubungan satu sama lain”. Kaprikornus yang dimaksud interelasi di sini adalah kekerabatan antara nilai-nilai pedoman atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari aspek dogma. Agama dalam memainkan perannya di penduduk mempunyai dimensi-dimensi akidah, praktek, pengalaman, wawasan dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan, mencakup sikap pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilaksanakan orang untuk menawarkan komitmen kepada agamanya. Terdiri dari dua kelas penting, ialah ritual dan ketaatan. Dan biasanya sesuatu yang sakral, suci dan gaib itu dinamakan kepercayaan. 
Dalam budaya jawa pra Islam yang bersumberkan pada ajaran hindu terdapat dogma adanya para dewata, kepada kitab-kitab suci, orang-orang (para resi), roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), aturan hukuman alam dan hidup senang infinit (moksa). Dalam agama Budha terdapat iktikad mengenai empat kebenaran yaitu baka (kesunyatan), dukha (penderitaan), samudaya (karena penderitaan), nirodha (pemadam harapan), dan morga (jalan kelepasan).
Adapun pada agama primitif selaku orang jawa sebelum kedatangan Hindu ataupun Budha terdapat iman animisme dan dinamisme.dasar pedoman dalam religi animism dan dinamisme bahwa di duni ini juga di diami oleh roh-roh halus termasuk roh nenek moyang dan juga kekuata-kekuatan mistik. Dan dalam religi animism-dinamisme orang yakin dapat mengadakan korelasi langsunguntuk meminta pemberian atau untuk menguasai roh-roh dan daya-daya bagi kepentingan duniawa dan rohani mereka.kekerabatan rohdan daya-daya mistik dilaksanakan dengan upacara upacara-upacara ritual dengan sesaji,pembacaan mantra-mantra dan melalui mediator dukun atau orang –orang bau tanah yang terlatih [3]
Kepercayan-doktrin dari agam Hindu,Budha,maupun iman animism-dinamisme yang dalam proses kemajuan Islam berinterelasi dengan akidah-kepercayaandalam Islam.
Prinsip fatwa tauhid Islam sudah berkelindan dengan banyak sekali unsure Keyakina Hindu- Budha maupun iktikad primitif.sebutan Allah sudah berubah menjadi gusti Allah,Ingkang maha Kuwaos(al Qadir ),Gusti kang Murbeng Dunadi(al Khaliq),dan lain lain. Nama-nama itu bercampur dengan nama-nam lain sehingga muncul istilah Hyang Maha Agung(Allahhu Akbar), Hyang Widi,Hyang Jagat Nata (Allah rabb al-amin),atau Sang Maha Luhur (Allah Ta’ala).Kata Hyang berarati yang kuasa,sehingga ka-Hyang –an diartikan sebagai kawasan para dewa.
Konsep mereka kepada Tuhan yaitu dekat terhadap Sang Pencipta. Mengapa demikian sesederhananya rancangan penganut agam Jawi ini? Jawabannya yang fundamental tidak lain yakni dewa Sang pencipta ialah susatu zat penyebab dari segala kehidupan,penyeba adanya dunia,dan seluruh alam semesta yang oleh merska disebut ngarso ngalem donya ,dan hnya satu zat,yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Ingkang Maha Wikan).oleh kaerena itu,amlan keseharian untuk memebuktikan kedalaman akreditasi dan kepercayaannya kepada Tuhan dalam semua refleksi kehidupan,khususnya kalau hendak mengawali pekerjaan atau kegiatan pasti menyebut asma Tuhan dengan mengucap bismlliah baik secara keras,secara perlahan-lahan,maupun bisikan[4].Pemahaman ihwal prinsip tauhid itu akan berlainan tatkala ihwal pemahaman Tuhan itu masuk dalam dimensi gaib bercorak phantheistik terdapatlah istilah hidup (urip),sukma ,sehingga sehingga Tuhan Allah disebut selaku Hyang Maha Hidup,Sukma Kawekas yang mengandaikan bahwa Tuhan selaku Dzat Yang Maha Hidup,yang menghidupi segala alam.Di dalam islam disebut al hayyu (yang Maha Hidup).Esensi dari segala yang ada itu adlah hidup itu yaitu hidup sendiri.penghayatan gaib semacam itu tidak saja terdapat dalam ajaran agama Hindu,namun juga ada pada tasawuf yang bercorak heterodoks sehingga dalam gaib jawa keduanya bertemu.
Dalam agama jawi ada ajaran Wirid Hidayat Jati, yang member rekomendasi untuk berpegang tiga aksara A I U, ialah huruf mistik yang suci karakter pertama dari “aku iki urip “,saya ini hidup,dalam realitasku yang sesungguhnya aku ini hidup Ilahi yang tidak mati. Alam lahir dalam badan manusia merpakan kesatuan manusia dan Allah sebagi kang paring gesang (Yang Pemberi Hidup) sehingga insan menjadi hidup[5].
Kepercayaan mengesakan Tuhan menjadi tidak murni akibat sisa-sisa akidah animisme dan dinamisme,oleh balasannya tercampur dengan pemenuhan benda benda yang dianggap keramat,baik benda mati maupun benda hidup.Dalam tradisi Jawa terdapat banyak sekali jenis barang yang di kermatka. Ada yang disebut azimat,pusaka,dalam bentuk tombak,keris,ikat kepala,cincin,kerikil,akik, dan lain-lain. Barang_barang peninggalan para raja jawa yng disebut benda pusaka dan diberi sebutan “kyai”, pada umumnya dipandang sebagi benda-benda keramat.Manusia,hewan,dan tumbuha-tumbuhan tertentu dipandang suci,bertuah,dan kermat.benda-benda dataupun oarng-orang dipandang selaku penghubung(wasilah).Ayat-ayat suci al-Quran atau karakter-karakter arab sudah menjelma rajahan yang diyakini mempunyai nilai yang sungguh bermakna,bukan dari makna melainkan dari daya gaibnya..
Kepercayaan terhadap pada makhlukjahat tidak hanya terdapat pada agam Islam,namun juga terdapat pada agama Hindu maupun iktikad prinitif. Dlam agama Isalammakhluk jahat itu disebut syaithan, arangjawa menyebutnya setan dan pemimpin setan disebut iblis.Selai setan sebagiangolongan jin masuk dalam kalangan makhluk jahat. Sedangkan pada agama Hindu jenis makhluk jahat atau roh-roh jahat mencakup roh jahat selaku lawan yang kuasa,antara lain Wrta nusuh ilahi Indra.Rohjahat yang lebih rendah derajatnya dari musuh dewa disebut raksa ,yang bias berubah menjadi menjadi binatang maupun insan,roh jahat pen\makan daging atau jenazah yang disebut picasa.
Terdapat sejumlah nama makhluk halus seoerti setan dharat,setan bisu,setan mbelis,dhemit,memedhi,dan lain sebagainya. Setan-setan tersebut berjenis kelamin pri dan bermuka buruk. Adapun setan berjenis perempuan yakni wewe,kuntil anak atau sundel bolong .Jenis setan lain yang menyerupaianak kecil otau orang kerdil ialah tuyul.Kemudiyan setan yang menakutkan seperti raksasa yang memuntahkan api yaitu banasa pati atau setan usus yang berlubang perutnya sehingga keluar isi perutnya.
Menurutkeyakina orang Islam,orang yang telah meninggal dunia ruh nya ruhnya tetap hidup Dan tinggal sementara dialam kubur atau alam barzah. Menurut orang Jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia tetap hidup dan berkeliaran disekitar tempat tinggalnya atau sebagai arwah leluhur menetap di makam (pesareyan). Mereka masih memiliki kontak relasi dengan keluarga yang masih hidup sehingga sebuah ketika arwah itu nyambangi datang kekediaman anak keturunan. Roh-roh yang bagus yang bukan roh nenek moyang atau saudara disebut dhanyang, bahureksa atau sing ngemong. Dhanyang ini dipandang selaku roh yang mempertahankan agar memantau seluruh masyarakat desa.Dalamkepercayaan islam bahwa orang yang meninggal perlu dikirimi donga (doa),tahlilan,tujuh hari,empat puluh hari seratus hari,satu tahun(mendhak). Doa ialah usulan dalam islam,sedangkan penentuan hari-hari sebagai ketika pelaksanaan upacara kirim doa lebih diwarnai oleh warisa budaya jawa pra Islam.
Mengenai ketentuanbaik dan jelek dari Tuhan,dalam budaya Jawa kiranya terpengaruh oleh teologi Jabariyah sehingga terdapat kecenderungan orang lebih bersikap pasrah,sumarah,dan nerimo ing pandum terdapat ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah.Meskipun demikian manusia mempunyai kesanggupan untuk berikhtiar.Namun,terdapat upaya-uoaya ikhtiar diwarnai olehniali-nilaiyang bersumber dari iktikad primitive maupun dogma Hindu. Tempat-kawasan yang bagus,hari ,bulan,tahun yang menenteng terhadap nasib baik itu perlu dicari dan diputuskan dengan cara-cara magis.Hari yang jelek disebut hari na’as .Pada hari itu orang tidak melakukan kegiatan seperti ijab kabul,bepergian jauh,dan lain-lain. Jika hari na’as itu tidak dapat disingkirkan,maka perlu dusahakan upacara-upacara untuk menetralisir akhir negative yang ditimbulkan dari hari na’as tersebut. 
4. Interelasi antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual 
Bagi orang Jawa, hidup dipenuhi dengan upacara, baik upacara-upacara berkaitan dengan bulat hidup insan semenjak dalam perut, ibu, lahir, kanak-kanak, dewasa hingga dengan kematiannya. Upacara-upacara itu semula dijalankan dalam rangka untuk menghalangi efek jelek dari daya kekuatan ghaib yang membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam keyakinan usang, upacara dikerjakan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan terhadap kekuatan ghaib. Tentu upacara itu dilaksanakan supaya hidup selalu dalam kondisi selamat.
Islam dating dengan menjinjing warna gres pada upacara-upacara itu dengan sebutan slametan .Kata slametan dipinjam dari kata Arab ‘salamah’(jmk. Salamat)yang beraratidamai atau selamat.Padanannya bersinonim sarat yaitu hajatan,syukuran,atau tasyakuran,dan sedekah,yang masing-masing santunan dari kata Arab hajah (jmk.hajat) yang memiliki arti keperluan;syukr yang memiliki arti terima kasih,tasyakur memiliki arti pernyataan terima kasih.Terkadang juga disebut sedekah yang berasal dari kata Arab shadaqah yang bermakna memberi sedekah atau sesuatu baik harta ataupun benda terhadap orang lain. Menurut Marcel Mauss ada makna timbal balik dalam penyelenggaraan slametan ini yakni hadiah (berbentukdoa) dan hadiah yang didapat kembali berupa hidangan atau sebaliknya, masakan sebagai pemberian dan doa sebagai hadiah. Fungsi religius sedekah bagi meyakini adalah menolak, menghendaki atau menghalangi peristiwa dan kesusahan atau mengungkapkan rasa syukur. (As-Shadaqah Tadfu albala) dan (lain syakartum laazidannakum). [6]
Berkaitan dengan bulat hidup terdapat berbagau jenis upacara,antara lain:
1. selametan kehamilan diadakan ialah ketika usia kehamilan 4, 7 dan 9 bulan. Untuk merayakan upacara kehamilan pada usia empat bulan dan sekaligus mendoakan sang ibu yang dikandungnya, diadakan slametan yang disebut dengan ngupati.Berikutnya saat usia kandungan memasuki usia 7 bulan yang dinamakan ngrujaki, mitui, atau petitu atau tingkeban. Sebelum balasannya dilahirkan di bulan ke-9. Agar proses kehamilan berjalan tanpa gangguan, gampang, selamat dan tidak terlampau menyiksa maka dipanjatkan doa terhadap Allah SWT lewat slametan yang disebut nglolusi. Nglolusi mencakup bantuan bubur lolos untuk dibagikan terhadap para tetangga dan sanak famili.
2. Upacara kelahiran dijalankan ank pada saat ankak diberi nama dan pemotongan rambut ,pada waktu bayai berumur tujuh hari atatuu sepasar oleh sebab itu disebut slametan nyepasari . Dalam tradisi isalam upacara ini disebut aqiqah..
3. upacara sunatan dilaksanakan pada ketika anak pria dikhitankan,pada aneka macam masyarakat pelaksanaanya berlawanan -beda . Ada yang melakukan nya antara usia empat sampai delapan tahun,dan pada penduduk lainnya dilaksanakan pada saat anak pada usia antara dua belas hingga delapan tahun. Sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengesahan selaku seorang Islam. Karena itu seringkali sunatan kadang kala disebut selam,sehingga menghitankan dikatakan nyelamaken,yang mengandung makna mengislamkan (ngislamaken)
4. Upacara perkawinan,pelakasanaan secara Islam yakni aqad nikah (ijab qabul) yang dikerjakan oleh pihak wali mempelai perempuan dengan mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi .Ada beberapa tahap dalam slametan ini adalah pada tahap sebelum akad nikah,pada tahap nikah,dan sesudah nikah (ngunduh mante resepsi ).
5. iupacara akhir hayat , Upacara yang dilaksanakan ketika mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, menshalati, dan pada jadinya menguburkan jenasah ke pesarean (pemakaman). Selama seminggu sesudah penguburan diadakan tahlilan tiap malam hari yang dinamakan slametan mitung dino, yakni kirim do’a kepada si jenasah yang didahului dengan bacaan tasybih, tahmid, takbir, tahlil dan shalawat pada Nabi Muhammad saw. Sebagaimana budaya Jawa, slametan ini dilakukan hingga mendaknya orang yang meninggal.
Bentuk upacara laian,yang tidak berkaitan dengan bulat hidup,terdapat pula upacara yang berkenaan denga kekeramatan bulan-bulan Hijriyah seperiti upacara Bakda besar, Suran, Mbubar Suran, Saparan, Dina Wekasan Muludan, Jumadil Awalan, Jumadil Akhiran, Rejeban, ngruwah Mangenan), Maleman, Riyayan, Sawalan, sela, dan sedekahan Haji..
Terdapat pula berbagai macam upacara tahunan,ialah upacara yang dilaksanakan seiap tahun .Termasuk dalam jenis upacara ini ialah upacara peringtan hari lahir Nabi Muhamad,tanggal 12 bulan Maulud,disebut muludan .Selain itu juga terdapat upacara Rejeban atau imi’radan dalm rangka memperingati insiden Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad 27Rajab.Kemudian juga upacara nisfu sya’ban pasda tanggal 29 Ruwah.Pada bulan syawal tanggal satu orang islam tanpa terkecuali menyelenggarakan selamtan Idul Fitri,demikian juga pada hari yang ketujuh selaku Hari Raya Ketupat yang disebut juga Syawalan. Dalam Hari Raya Idul Adha juga terdapat upacara Grebeg Besar.[7]
III. KESIMPULAN 
Penjelasan diatas ialah relasi antara budaya Jawa dengan Islam baik sejcara tersurat maupun secara tersirat secara eksklusif maupun tidak eksklusif ,bahwa memang telah terjadi dalam keberagaman orang Jawa suatu upaya untuk mengakomodasikan nilai-nilai islam dengan budaya pra-Islam .Upaya it uterus masih terus berproses hingga cukup umur ini.Sebagian nilai-nilai Islam itu teleh menjadi bab dari budaya Jawa,kendati disana-sini nilai-nilai budaya pra Islam masih tampak meski dalam wadah yang tampaknya Islami. 
VI. PENUTUP 
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan anjuran yang bersifat membangun sungguh kami harapkan guna pengerjaan makalah yang lebih baik selanjutnya. Semoga makalah ini berfaedah bagi penulis khususnya dan bagi pembaca kebanyakan. 
DAFTAR PUSTAKA

  • Amin,Darorri,dkk,Islam dan budaya jawa,,Yogyakarta:Gama Media,2002.
  • AG,,Muhaimin,Islam dalam bingkai Budaya Lokal,Potert dari Cirebon,Jakarta:Logos,2002.
  • Syam,Nur,Islam Pesisir,Yogyakarta,;Lkis,2005.
  • Musyarof,Ibtihadj,Islam Jawa,Yogyakarta:Tugu Publisher.
  • Rofwan,didin,dkk,Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa,Yogyakarta:Gama Media. 
  Sejarah Pesantren Di Jawa
[1] Nur syan,islam pesisir ,Yogyakarta:Lkis,2005 hlm 1-16
[2] Darori Amin,dkk,Islam dan kebudayaan Jawa,Yogyakart:Grama Media,2002,hlm.119. 
[3] Ibtihadj musyarof,islam jawa,yogyakarta:Tugu Publisher,2006 hlm 38-39 
[4] Ddin Sofwan,Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa,Yogyaakarta:Gama Media,2004,hlm56.
[5] Ibid,hal,58.
[6] Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hlm. 200. 
[7] Darori Amin,opcit, hlm 134-136
In the last few years we have gained awareness of the various needs that individuals with mental health issues need in order to achieve overall well-being. Many times, we talk about the importance of medication, individual counseling, family counseling, and, socialization. Those are all of extreme importance when it comes to mental health but the one service that seems to be forgotten is care management. A lot of people attribute care management services to individuals who are aging or who have chronic medical conditions. Although, care management can be very helpful for those issues, we also see a huge need for intense care management for individuals who have a chronic mental illness and cannot get access to any services. It is not a secret that severe and persistent mental illness like schizophrenia, bi-polar disorder, and major depression can require intense care management and advocacy. Just as a refresher, the duties of a mental health care manager include: Acting as a connector between the individual and the community resources Advocating on behalf of the perorangan so that he or she gain access to needed quality services Overseeing the care of an perorangan including medication management, doctors’ appointments, therapy, psychiatric services, and anything else related to their care Connecting the client’s family to support services such as perorangan, family, or group counseling Being an advocate if there is need for hospitalization to ensure the safety of the client and their family members Facilitating access to needed benefits Assisting the individual with navigating all the different services so that it does not become overwhelming for them Crisis intervention Alleviating family members of some tertekan regarding the care and wellbeing of their loved one Coordinating for advanced planning for the perorangan Connect perorangan with social services and programs Any service that the person may need the care manager will make that connection. As professionals in the field of mental health, we see that families with loved ones living with a mental health condition often want an immediate and instant “fix” for their family member. It is important for them to keep in mind, that a mental illness is a lot like a physical illness that needs constant care. This is not to say that you cannot live a “normal” life with a mental illness however ekstracare is needed. In addition, as family members it is important to remember that you also have a vital role in the recovery of your loved one. The more involved you are, the more likely your loved is to recover. There is a lot of value in having a care manager involved in the care of your loved one with a mental illness. A care manager will initially do a full initial assessment of your loved one’s needs and wishes and will explore what services can add value to the life their life. They will explore the physical, psychological, social, and emotional well-being of your family member and will assess for possible gaps that need to be filled. For example, your family member may be living with schizophrenia and has been in and out of the hospital while being non -compliant with medication. Once this happens we know that your loved ones has probably had many psychotic episodes resulting in severe impaired functioning. Therefore. he or she may need home care services to assist with activities of daily living such. However, every case is different some more severe than others. Another common case for care management is one that your adult child has recently been diagnosed with a mental illness and you as parents/family members do not even know where to start. In cases like this, the care manager steps in and coordinates for all initial care. When this occurs we often see a sense of relief in our family members as they often will say “I do not even know how I would have started this process without you”. A care manager is also a huge support system for the perorangan as they now know that they have an advocate overseeing their needs and wishes. It is important to remember that living with a mental illness or having a family member with a mental illness is nothing to be ashamed of. In addition, the diagnosis of a mental illness does not mean that the person’s life is over as many people mistakenly think. We have worked with many individuals and their families as they cope with diagnoses like schizophrenia, bipolar disorder, major depression, generalized anxiety disorder, agoraphobia, and many others. The beginning of the process is usually made up of what we like to call growing pains full of discomfort. It is important to note that many of our clients with these diagnoses live normal lives but are able to do so because they gained access to the resources in the community. One very important step is accepting the presence of this new diagnosis and what it may mean. Another important step is realizing that you may need the help of psychiatric and/or home care services. It is important to act as early as you can, as early intervention can lead to the best results. If you are overwhelmed by your mental health issue consider the help of a professional, it can make all the difference! For more information about our care management services visit http://www.rkcaregroup.com Article Source: http://EzineArticles.com/9955597