Integrasi Pendekatan Agama Dan Pekerjaan Sosial
Modernitas dan pertumbuhan zaman sudah menciptakan ilmu wawasan dan teknologi mutakhir dengan banyak sekali dampak aktual sekaligus negatif. Nilai positif dapat tampakapa yang dianggap mistik dan tidak mungkin di kurun silam menjadi nyata dan fakta dimasa kini. Rasa ingin tahu insan mendorongnya tidak segera puas pada satu inovasi saja. Pertumbuhan bangkit ilmu wawasan dan ideology pun terus menjamur, selanjutnya tumbang dan berganti lagi dengan berdiri keilmuan dan idelogi yang baru. Lingkaran ketidak pastian ini berlanjut atas dasar paradigma rasionalis-empris disatu pihak dan alienasi terhadap agama pada pihak lain. Akibatnya adalah insan ditawan dan dibingungkan oleh hasil penemuan dan perilakunya sendiri dengan lahirnya persoalan baru yang lebih kompleks.
Ditengah kegamangan ilmu pengetahuan dan lahirnya kemanusiaan yang berpenyakit tersebut, peran agama kembali menerima perhatian setelah teralienasi semenjak pasca ranaisance.
Demikian halnya dalam ilmu pengetahuan seperti ilmu psikologi terapi yang menekankan pada teori klinis/mekanis dan mengesampingkan tugas keagamaan/spiritualitas dan lalu terbukti mengalami ketimpangan.
Asumsi dari Modernistas Science mirip; Naturalism, Atheism, Determinism, Universalism, Reductionism/Atomism, Materialism, Ethical relativism, Ethical hedonism, Positivism, Classical/Naive realism, Empiricism dan Sigmund Freud mahir psikoanalisa dimana kesemuanya menatap sebelah mata tugas penting agama telah mendapatkan kegagalan argumentasi, usulan dan teori-teorinya. Demikian pernyataan Andayani dalam materi kuliah peksos berbasis agama.
Kebangkitan Spiritual dalam ilmu pengetahuan adalah sekitar tahun 80-an, theistic world views (persepsi dunia keagamaan). Hal tersebut, diakui selaku faktor penting yang mempengaruhi kemajuan dan pemenuhan diri manusia seperti: (Theistic World Views) percaya bahwa keberadaan dari A Supreme Being dan Human Beings sebagai biro yang bertanggung jawab, bukan mesin.
Dalam menghadapi nestapa manusia kurun terbaru tingkat lanjut mirip sekarang ini, pengertian keagamaan perlu ditransformasikan sehingga dapat memenuhi cita-cita esensial dari fatwa agama itu sendiri dalam menyumbangkan sesuatu yang menyejukkan, menentramkan dan bukan menjadi sumber keruwetan. Ummat beragama juga perlu mengetahui bahwa fenomena-fenomena agama selain melibatkan wahyu, juga lengket dengan fenomena cultural, tradisi, adat istiadat, habit of mind, dan begitu seterusnya.
Sejalan dengan uraian diatas, praktek pekerjaan sosial menyangkut kedua pendekatan (Agama-Modern) pun ialah dua segi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Pertanyaan lalu yakni Bagaimana antara praktek peksos modern dan pendekatan keagamaan tersebut mampu diintegrasikan? Hal inilah yang mau menjadi fokus bahasan lebih lanjut.
Agama dan Pekerjaan Sosial
Bahasan ini seharusnya diawali dengan pemaparan secara singkat menyangkut pemahaman-pengertian Agama dan Pekerjaan sosial sehingga lalu dapat dengan gampang menyelisik lebih dalam pada faktor-aspek dimana urgensi integrasi antara pendekatan keagamaan dan pendekatan modern dalam praktek pekerjaan sosial. Agama dalam konteks ini akan didefinisihkan secara operasional sehingga dapat dipahami lebih membumi sedangkan pendekatan terbaru pekerjaan sosial akan di artikulasikan kedalam wacana keilmuan terbaru pekerjaan sosial.
Pemahaman Agama
Suatu definisi yang mampu mewakili secara keseluruhan perihal agama yang begitu banyak ragam dan jenisnya bukanlah gampang bahkan mungkin tidak mampu dilaksanakan. Namun mendefinisikannya haruslah tetap dijalankan untuk dapat membatasi arah sesuai tujuan pendefinisian dimaksud. Dalam kaitan itu, ada beberapa pendapat yang mau dikemukakan dalam goresan pena ini.
Agama bagi Giddens (2005) yakni media pengorganisasian bagi keyakinan yang tidak sekedar satu arah. Bukan hanya iktikad dan kekuatan religius yang menawarkan pinjaman yang secara takdir dapat dijadikan sandaran: Demikian juga para fungsionaris keagamaan. Yang terpenting adalah bahwa akidah religius lazimnya menginjeksikan reliabilitas ke dalam pengalaman pelbagai kejadian dan situasi dan dari sebuah kerangka
Agama juga disinonimkan dengan Religion berasal dari kata Latin “religio”, memiliki arti “tie-up” dalam bahasa Inggris, Religion dapat diartikan “having engaged ‘God’ atau ‘The Sacred Power’.
Secara lazim di Indonesia, Agama diketahui sebagai sistem keyakinan, tingkah laris, nilai, pengalaman dan yang terinstitusionalisasi, diorientasikan terhadap duduk perkara spiritual/ritual yang disalingtukarkan dalam suatu komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi.
Berangkat dari beberapa pengertian diatas, mampu ditarik beberapa point tentang pemahaman agama bahwa agama ialah kodifikasi keyakinan, praktik ibadat, hukum adat, keanggotaan denominasi, eksternal dan memasukkan spiritualitas di dalamnya.
Penegasan yang ingin ditekankan pada pengertian keagamaan disini yaitu bahwa konsekwensi pengertian keagaman yang kaku dan tidak bersifat scientific justru akan menimbulkan aneka macam stigmatisasi negative terhadap peran penting agama dalam kekerabatan kemanusiaan sesuai mandat pekerjaan sosial. Stigmatisasi tersebut berpandangan bahwa agama adalah dogmatism, rigidity dan gender bias, excessive self-blaming, Fatalistik dan status quo serta dianggap tidak menghiraukan dengan problem kekinian di dunia.
Apa itu Pekerjaan Sosial
Pekerjaan sosial yakni profesi kemanusiaan yang telah lahir cukup usang. Sejak kelahirannya sekitar 1800-an. Purifikasi peksos terus berlanjut sejalan dengan permintaan pergeseran dan aspirasi penduduk . Namun demikian, mirip halnya profesi lain (Guru, Dosen, Dokter), fondasi dan prinsip dasar pekerjaan sosial tidak mengalami pergeseran.
Pekerjaan sosial berlainan dengan profesi lain, semisal psikolog, dokter atau psikiater. Dalam praktek kerjanya ia selalu harus melibatkan faktor-faktor diluar klien dalam penyelesaian masalahnya. Artinya, bahwa mandat utama pekerja sosial yaitu memperlihatkan pelayanan sosial baik kepada individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat yang membutuhkannya sesuai dengan nilai-nilai, pengetahuan dan ketrampilan professional pekerjaan sosial.
Selain itu, pekerjaan sosial juga ialah acara professional untuk menolong individu, golongan dan masyarakat dalam mengembangkan atau memperbaiki kapasitas mereka biar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi penduduk yang aman untuk meraih tujuan dimaksud. Sebagai sebuah kegiatan professional, pekerjaan sosial dilandasi dengan vondamen utama berupa; kerangka pengetahuan, kerangka keahlian dan kerangka nilai.
Dalam pertemuan internasional di Montreal Kanada, juli 2000, IFSW mendefinisikan pekerjaan sosial selaku Profesi yang mendorong pemecahan duduk perkara dalam kaitannya dengan korelasi kemanusiaan. Perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan insan, serta perbaikan penduduk . Menggunakan teori-teori perilaku manusia dan metode-metode sosial. Pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik dimana orang berinteraksi dan keadilan sosial ialah sungguh penting bagi pekerjaan sosial.
Pendekatan Modern dalam Praktek Pekerjaan Sosial
Sebagai kegiatan kemanusiaan yang sejak kelahirannya sekian kurun yang kemudian, Pekerjaan Sosial telah mempunyai perhatian yang mendalam pada pemberdayaan penduduk miskin. Prinsip-prinsip pekerjaan sosial, seperti ‘menolong orang supaya mampu menolong dirinya sendiri’ (to help people to help themselves), ‘penentuan nasib sendiri’ (self determination), ‘melakukan pekerjaan dengan penduduk ’ (working with people dan bukan ‘melakukan pekerjaan untuk penduduk ’ atau working for people), menunjukkan betapa pekerjaan sosial memiliki komitmen yang besar lengan berkuasa kepada pemberdayaan penduduk dan bahwa pekerjaan sosial merupakan profesi yang populis dan tidak elitis.
Sebagai suatu kegiatan professional, pekerjaan sosial dilandasi dengan vondamen utama berupa; kerangka pengetahuan, kerangka kemampuan dan kerangka nilai. Dalam praktek pekejaan sosial ini, ditujukan untuk terapi sosial dalam upaya mewujudkan keberfungsian sosial.
Penyembuhan sosial sendiri oleh Suharto, dikategorikan kedalam dimensi pendekatan macro dan micro. Pendekatan mikro merujuk pada aneka macam keahlian dan ketrampilan pekerja sosial dalam mengatasi persoalan yang dihadapi oleh individu berupa masalah psikologi (Stess dan stress, hambatan kekerabatan, adaptasi diri, kurang yakin diri, alienasi atau kesepian dan keterasingan, apatisme dan gangguan mental. Sedangkan tata cara utama yang dipakai pekerja sosial dalam setting mikro tersebut adalah terapi perseorangan (casework) dan terapi kelompok (gruopwork) yang didalamnya melibatkan terapi berpusat pada klien, terapi perilaku, terapi keluarga dan terapi kalangan. Pendekatan makro ialah penerapan sistem dan teknik pekerjaan sosial dalam menanggulangi dilema yang dihadapi penduduk dan lingkungannya (system sosial), seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidak adilan sosial, dan eksploitasi sosial. Tiga tata cara khususnya berbentukterapi penduduk (Community development) popular dengan nama Pengembangan penduduk , Manajemen pelayanan kemanusiaan (human service management) atau terapi kelembagaan dan analisis kebijakan sosial (social policy analysis).
Perbedaan utama antara community work, human service management dan social policy analysis adalah kalau dua tata cara yang pertama ialah pendekatan pekerjaan sosial dalam praktek langsung dengan kliennya, maka analisis kebijakan sosial ialah sistem pekerjaan sosial dalam praktik tidak langsung.
Dalam konteks pemberdayaan misalnya, sebagaimana dikemukakan Ife, pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yaitu kekuasaan dan kalangan lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan cuma menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien, Pilihan-opsi personal dan peluang-peluang hidup: Pendefinisian keperluan: Ide atau pemikiran : kesanggupan mengekspresikan dan menyumbangkan pemikiran dalam suatu lembaga atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
Pemberdayaan dan Praktek Pekerjaan Sosial
Pendekatan Modern dalam praktek pekerjaan sosial dalam pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melaui penerapan pendekatan pemberdayaan yang meliputi: (1) Pendekatan Mikro, (2) Pendekatan Mezzo, dan Pendekatan Makro
Pendekatan Mikro menekankan bahwa pemberdayaan dilaksanakan terhadap klien secara individu lewat panduan, konseling, frustasi management, crisis intervention. Tujuan terutama yaitu membimbing atau melatih klien dalam melakukan tugas-peran kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach).
Pendekatan Mezzo memfokuskan pemberdayaan dilakukan kepada sekelompok klien. Pemberdayaan dikerjakan dengan menggunakan kalangan selaku media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan selaku seni manajemen dalam mengembangkan kesadaran, wawasan, keterampilan dan perilaku-sikap klien agar mempunyai kesanggupan memecahkan problem yang dihadapinya.
Pendekatan Makro disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, agresi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, administrasi konflik, yakni beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang yang mempunyai kompetensi untuk mengerti situasi-suasana mereka sendiri, dan untuk menentukan serta memilih taktik yang sempurna untuk bertindak.
Prinsip Pekerjaan Sosial
Prisip pekerjaan sosial dalam dimensi pemberdayaan tersebut dapat doformulasikan sebagai berikut: (1) Pemberdayaan yaitu proses kolaboratif dengan mana masyarakat / Klien dan pekerja sosial berafiliasi selaku partner, (2) Proses pemberdayaan menempatkan penduduk miskin sebagai kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan kesempatan-peluang.(3) Masyarakat/Klien mesti menyaksikan diri mereka sendiri selaku agen penting yang mampu mensugesti pergeseran. (4) Kompetensi diperoleh atau dipertajam lewat pengalaman hidup, terutama pengalaman yang memberikan perasaan bisa pada penduduk miskin. (5) Solusi-penyelesaian, yang berasal dari situasi khusus, mesti bermacam-macam dan menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-aspek yang berada pada situasi masalah tersebut. (6) Jaringan-jaringan sosial informal ialah sumber perlindungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan mengembangkan kompetensi serta kemampuan pengendalian seseorang. (7) Masyarakat miskin harus ikut serta dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri. (8) Tingkat kesadaran ialah kunci dalam pemberdayaan, karena wawasan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan. (9) Pemberdayaan melibatkan akses kepada sumber-sumber dan kesanggupan untuk memakai sumber-sumber tersebut secara efektif. Dan (10) Proses pemberdayaan besifat dinamis, sinergis, berganti terus, evolutif; problem selalu memiliki beragam solusi.
Teknik dalam Pekerjaan Sosial
Dubois dan Miley memberi beberapa cara atau teknik yang lebih spesifik yang mampu dijalankan dalam pemberdayaan penduduk :
1. Membangun hubungan derma yang: (a) merefleksikan respon empati; (b) menghargai opsi dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self-determination); (c) menghargai keberbedaan dan keunikan individu; (d) menekankan koordinasi klien (client partnerships).
2. Membangun komunikasi yang: (a) menghormati martabat dan harga diri klien; (b) mempertimbangkan keragaman individu; (c) berfokus pada klien; (d) mempertahankan kerahasiaan klien.
3. Terlibat dalam pemecahan persoalan yang: (a) memperkuat partisipasi klien dalam semua faktor proses pemecahan persoalan; (b) menghargai hak-hak klien; (c) merangkai tantangan-tantangan sebagai potensi berguru; (d) melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi.
4. Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial lewat: (a) ketaatan terhadap kode etik profesi; (b) keterlibatan dalam pengembangan profesional, riset, dan perumusan kebijakan; (c) penterjemahan kesusahan-kesusahan pribadi ke dalam informasi-informasi publik; (d) abolisi segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan potensi .
Contoh pembahasan dalam dimensi pemberdayaan di atas memberikan bagaimana pendekatan terbaru dalam praktek pekerjaan sosial dijalankan. Praktek pekerjaan tersebut tampaksebagai suatu pendekatan yang dilandasi oleh kerangka keilmuan, kerangka keterampilan dan kerangka nilai dalam aktivitas professionalnya.
Pendekatan Agama dalam Praktek Pekerjaan Sosial
Berbeda dengan modernisme yang bertumpu pada rasionalitas dengan tata cara berfikir bi-logical, agama memiliki nilai spiritualitas yang berfungsi secara transenden; Hanya spiritualitas yang bisa memaafkan kejadian yang menyakitkan dan traumatis. Dalam konteks inilah seorang pekerja sosial lewat pendekatan agama akan bisa sensitive dan responsive terhadap keperluan spiritualitas klien selaku mahluk yang Unik.
Dalam hal intervensi kesehatan mental contohnya, peran spiritualitas sebagai bagian integral dari agama sangat memegang peranan penting untuk keberhasilan intervensi pada klien mengenang dalam spiritulitas sebetulnya terkandung daya dimana klien mampu menyesuaikan diri dalam menuntaskan duduk perkara.
Dalam konteks tradisional sendiri, aneka macam program kemanusian dimana tugas pekerja sosial inklut didalamnya sudah banyak dilakukan oleh aneka macam agama selaku pembawa misi kemanusiaan. Namun landasan tersebut lebih bersifat karikatif dan belas kasih belaka sehingga yang terjadi lalu ialah seringkali menjadikan ketergantungan klien terhadap pekerja sosial. Dengan kata lain tidak menjamah aspek substansial keberfungsian sosial sebagaimana yang di maksudkan oleh pendekatan modern.
Keberfungsian sosial menitik beratkan pada kemandirian klien dan menjauhkannya pada sifat-sifat ketergantungan. Maka itu, karikatif dan rasa belas kasih semata sangat tidak sejalan dengan ruh pekerjaan sosial sebab pada gilirannya cuma akan mengakibatkan sifat ketergantungan dan bukan kemandirian. Hal ini mampu terlihat pada penyaluran zakat contohnya yang lalu cuma disalurkan secara tradisional-konsumtif sehingga peserta tetap pada posisi selaku akseptor dan tidak berfikir bagaimana pada potensi selanjutnya mampu menjadi pemberi.
Urgensi Integrasi Pendekatan Agama dan Modern dalam Pekerjaan Sosial
Dalam menunjukkan pengantarnya kepada buku Caputo “ Agama Cinta Agama Masa Depan”, Sugiharto berargumen bahwa Untuk menjadi betul-betul mempunyai arti kembali, maka agama perlu melakukan kritik-diri secara structural, mengenali dilema-masalah mendasar dunia modern, dan mampu menunjukkan visi peradaban dan kemanusiaan yang gres. Tanpa itu, beliau cuma akan berakhir sebagai kekuatan disintegrasi peradaban paling mengerikan, atau semangat nostalgis naif yang berbahaya.
Secara substansial pernyataan tersebut mengandung makna bahwa bergotong-royong peran agama dalam praktek pekerjaan sosial sungguh urgen mengingat adanya tanggung jawab etis peksos kepada klien dan terhadap penduduk yang juga terinternalisasi dalam nilai-nilai universal keagamaan. Namun, hal yang sangat ironis yaitu tingginya signifikansi agama dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, tidak dibarengi dengan pertumbuhan yang memadai dalam hal integrasi pendekatan agama dalam ilmu-ilmu sosial dan pendampingan masyarakat. Agama nampaknya hanya bersifat experential, yang kita dapatkan dan pelajari dari pengalaman, namun tidak bersifat scientific.
Pendekatan agama dalam terapi klinikal ataupun pemberdayaan masyarakat secara luas, contohnya, masih bersifat tradisional sebab belum dikembangkan secara ilmiah. Pendekatan agama, dengan demikian, tidak ”pantas” sebagai bab dari pendekatan modern dan selanjutnya, tidak mampu menjadi versi intervensi dan pendampingan di masyakarat.
Dengan demikian, integrasi kepada kedua jenis pendekatan (modern dan Agama) ialah sebuah keharusan dengan mengemukakan beberapa alasan : (1) Secara historis dan filosofis, Peksos mempunyai pertalian akrab dengan agama. Sejarah sudah menandakan bahwa pekerjaan sosial sendiri berkembang dan berkembang dari kalangan agamais (Nasrani katolik di Inggris). Sedangkan secara filosofis baik peksos dan agama, sama-sama meletakkan perhatian pada faktor mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan tanpa pilih buluh. (2) Peksos dan spiritualitasdan agama saling mencar ilmu dan memberi donasi satu sama lain.(3) Pengetahuan ihwal spiritualitas dan agama membantu peksos membangun kosmologi dan antropologi spiritual. (4) Tidak ada alasan peksos dan pemimpin agama untuk tidak berkerjasama. Hal ini dilandasi oleh kepercayaan bahwa bekerjsama islam baik dan berhubungan di setiap kala dan kawasan
Dalam agama islam sendiri, keterpautan antara Ilmu wawasan dan ajarannya sangatlah bersahabat (Al–Islam Shalih Li Kulli Zaman Wa Makan). Bahkan para ilmuan seperti Ernest Gellner misalnya, berpendapat bahwa bergotong-royong Islam ialah agama yang transformatif dan bahkan menurutnya, Islamlah yang paling mempunyai kedekatan dengan ilmu pengetahuan. Pengakuan ini dijelaskannya dalam beberapa aspek selaku berikut: Pertama, universalisme aliran Islam, yaitu prinsip-prinsip fatwa Islam mampu diterapkan dimana saja dan kapan saja bahkan Islam mapu menyerap tradisai dan budaya lokal. Kedua, Skripulisme Islam, bahwa Islam mengajarkan bahwa kitab suci mampu dibaca dan dipelajari oleh semua orang, bukan monopoli kalangan tertentu dalam hirarki keagamaan. Ketiga, Egalitarianisme spiritual, dalam arti tidak terdapat tata cara kependetaan atau kerahiban dalam Islam, setiap orang memiliki potensi yang serupa untuk meraih prestasi spiritualnya. Keempat, Sistematis rasional dalam kehidupan sosial. Kelima, Semangat keilmuan yang tinggi, sehingga setiap pemeluk Islam meyakini betapa tingginya penghargaan Islam kepada ilmu.
Dengan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pengintegrasian antara pendekatan agama dan pendekatan moderen dalam pekerjaan sosial ialah sebuah keniscayaan. Baik ilmu wawasan dan agama yang saling tidak bertegur sapa, sudah terbukti secara nyata mengalami kegagalan dalam melaksanakan misi kemanusiaannya. Melalui pembahasan yang komparatif ini, tampakbahwa integrasi antara keduanya yakni sebuah keharusan.