Tak usang lagi, bulan Sya’ban akan rampung, & bulan ramadhan Ramadhan secepatnya menjelang. Banyak amal ibadah yg dilaksanakan sebagian orang untuk menyambut Ramadan tersebut. Di antaranya yaitu berpuasa.
Para ulama berbeda usulan dlm mengerti hadits yg diriwayatkan dr Abu Hurairah, yg mana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
لاَ تَقَدَّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dgn puasa pada satu atau dua hari sebelumnya.” (Muttafaq Alaih)
Di antara mereka ada yg membolehkan berpuasa dgn mutlak, ada yg melarang, ada pula yg merincinya. Setidaknya, ada tiga cara berpuasa di final bulan Sya’ban.
Pertama, berpuasa dgn niat Ramadhan untuk kehati-hatian.
Hal ini tidak boleh. Sebagian shahabat, ada yg melakukan ini & sepertinya mereka tak mendengar larangan tersebut.
Sedangkan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma membedakan antara hari tatkala hilal (bulan sabit) bisa terlihat & hari yg tak mampu terlihat hilal karena awan mendung pada tanggal 30 Sya’ban. Pendapat ini disetujui oleh Imam Ahmad.
Kedua, berencana puasa nadzar atau mengqadha Ramadhan, atau kafarah (denda) & sejenisnya.
Hal demikian diperbolehkan oleh mayoritas ulama. Sementara sebagian ulama salafus-shalih, yg berpendapat bahwa mesti ada pemisah antara Sya’ban & Ramadhan, menyampaikan bahwa tindakan mirip itu tidak boleh.
Sementara itu, ada ulama yg menilainya selaku perbuatan yg makruh, ini diriwayatkan dr Abu Hanifah & Syafi’i, tetapi pendapat ini perlu dikaji ulang.
Ketiga, berpuasa dgn niat puasa sunnah mutlak.
Ulama yg beropini bahwa harus ada pemisah antara Sya’ban & Ramadhan, menganggap hal ini makruh sekalipun bertepatan dgn agenda kebiasaan seseorang dlm berpuasa.
Di antara yg mengemukakan usulan ini adalah Hasan Al-Bashri. Akan tetapi, Imam Malik membolehkan hal ini bagi orang yg bertepatan dgn kebiasaan puasa sunnahnya.
Imam Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, Ahmad, & lainnya membedakan antara kesesuaian dgn kebiasaan seseorang berpuasa pada hari itu & yg tak bertepatan dgn kebiasaannya.
Mereka pula membedakan antara orang yg sudah berpuasa sebelumnya lebih dr dua hari kemudian menyambungnya dgn Ramadhan. Oleh alasannya adalah itu, pada suasana seperti ini tak dinilai makruh.
Namun demikian, orang yg beropini bahwa mengawali puasa sunnah setelah melalui pertengahan Sya’ban makruh, maka puasa tersebut pula makruh.
Menurut mereka, hal tersebut tidak boleh, kecuali bila seseorang sudah mengawali puasa sunnah sebelum pertengahan Sya’ban kemudian menggabungkannya dgn Ramadhan.
Kesimpulan
Hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yg diamalkan dlm dilema ini menurut secara umum dikuasai ulama, yg menunjukan perihal makruhnya mendahului Ramadhan dgn berpuasa satu atau dua hari sebelumnya adalah bagi orang-orang dlm kondisi berikut:
1. Orang yg tak sudah biasa berpuasa sunnah sebelumnya tetapi berpuasa pada hari tanggal 30 Sya’ban tersebut.
2. Orang yg tak berpuasa sunnah sebelum pertengahan Sya’ban, kemudian berpuasa sampai tamat bulan.
Demikian disarikan dr Latha`if Al-Ma’akil Fima Li Mawasim Al-‘Am Min Al-Wazha`if karya Ibnu Rajab Al-Hanbali.
[Abu Syafiq/Wargamasyarakat]