Ingat, Agama Itu Pesan Tersirat !

Berbagai rentetan musibah yang terjadi di Bumi Pertiwi ini memang sebaiknya dipandang selaku suatu hikmah, tidak semata-mata murni bagian fenomena alam. 
Tak ada satu mahlukpun yang mampu menahan peristiwa yang terjadi, bahkan tak ada satupun yang mengenali pasti kapan dan dimana peristiwa itu akan datang. 
Namun demikian, mengklaim bahwa tragedi yaitu terkait dengan pagelaran tradisi atau budpekerti yang dianggap maksiat, tampaknya cuma perspektif kebenaran pribadi yang mungkin bisa benar atau salah.
Hal inilah yang kemudian belakangan menjadi berita hangat soal pagelaran budaya warisan tradisi kurun kemudian yang ditolak sebagian orang sebab dianggap sebagai pemicu terjadinya tragedi.

Setelah tradisi Sedekah Laut di Bantul digagalkan karena dalih kemaksiatan, kini timbul penolakan serupa atas pagelaran Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi, Jawa Timur. Tradisi yang diramaikan oleh para penari adat di pinggir pantai ini, konon mewarisi tradisi Kerajaan Blambangan semenjak kala 16. 

Tari Gandrung ini seperti yang dijelaskan dalam situs Kemendikbud ialah tarian khas Banyuwangi yang merupakan perwujudan rasa syukur penduduk sesudah panen. Dulu, para penari Gandrung ini kebanyakan laki-laki, tetapi setelah ajaran Islam masuk ke Banyuwangi perlahan digantikan oleh para penari perempuan, alasannya adalah Islam tidak memperbolehkan laki-laki berpakaian seperti wanita.

Lalu, sejauh mana sesungguhnya agama memandang sebuah adat atau tradisi selaku bentuk kemaksiatan? Saya kira, semua agama sepakat apa yang dimaksud dengan “maksiat” itu sendiri. Perbuatan maksiat terperinci tindakan menghancurkan yang memiliki pengaruh terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.

 Hal ini terang dikala istilah “ma’siyyah” yang memang berasal dari bahasa Arab diartikan sebagai “segala sesuatu yang bertentangan atau menyimpang” (mukhalifah) dan “hilangnya ketaatan” (‘adamut tha’ah). 
Kemaksiatan pasti akan berlawanan dengan nalar sehat karena dianggap tindakan buruk yang merugikan, tergolong melanggar aturan Tuhan alasannya adalah ketidaktaatan yang memiliki dampak  tercerabutnya “ketundukan” dan “kepatuhan” kepada Tuhan.

Agama dalam hal ini tentu saja membimbing insan biar mau dinasehati oleh logika sehatnya dan hukum-aturan Ketuhanan yang diyakininya.

 Prinsip “nasihat” dalam pedoman agama tentu saja sangat mendasar, alasannya adalah hampir seluruh fatwa agama mengatakan dan mengajak kepada seluruh kebaikan dan kemanfaatan dan menolak segala keburukan dan prilaku yang merusak. Itulah sebabnya, 
Nabi Muhammad menatap prinsip rekomendasi sebagai inti dari ajaran agama, dengan menyatakan, “agama itu pesan yang tersirat” (addiinun nasihah).
 Nasihat pastinya identik dengan bagaimana caranya kita memperlihatkan perlakuan secara baik, hormat-menghormati, toleransi, atau menonjolkan lebih berpengaruh segi moralitas seraya menjauhi aspek klaim kebenaran sendiri, menciptakan cemas, atau melakukan pemaksaan dengan menghancurkan, mencederai, atau memersekusi.

Soal agama selaku pesan tersirat, tertulis terang dalam suatu hadis riwayat Imam Muslim:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ 🙁 الدِّينُ النَّصِيحَةُ ) قُلْنَا لِمَنْ ؟ ، قال : ( لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
 
Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Agama itu pesan tersirat”. Lalu ditanyakan, “Untuk siapa?”. Nabi menjawab, “untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, dan seluruh pemimpin dan rakyatnya”.
Nasihat secara bahasa adalah “keikhlasan” dan “kemurnian” (khalasha), sehingga orang yang menyukai pesan yang tersirat bermakna ciri dari seseorang yang nrimo dalam beragama. Segala sesuatu yang “murni” atau “asal” itu disebut dalam istilah kebahasaan sebagai “hikmah”. 
Orang yang menasihati dirinya dan orang lain, tak ubahnya seperti madu yang disarikan dari tubuh lebah dan diambil seluruh kemanfatannya.
 Segala kalimat yang mengajak terhadap kebaikan identik dengan pesan tersirat. Selaras dengan apa yang diterangkan Abu Sulaiman al-Khattabi bahwa pesan yang tersirat ialah sekumpulan kalimat yang memiliki arti kebajikan (hiyazatul hadz). 
Jika seandainya ada orang yang salah berpakaian, kemudian dinasihati, sungguh itu adalah wujud dari kebaikan dalam rangka saling menasihati.

  Menyayangi Seseorang

Lalu, bagaimana dengan maksud hikmah terhadap Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin dan juga rakyat? 

Imam Nawawi dalam “Syarh Muslim” menjelaskan bahwa nasihat terhadap Allah bermakna wujud keterikatan iman kepada-Nya dengan meninggalkan segala bentuk kemusyrikan, melindungi diri dari kekufuran lewat pemantapan akan sifat-sifat-Nya yang Maha Baik, mengerjakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya alasannya taat, berkasih sayang dengan sesama sebagai teladan sifat-sifat-Nya, berdoa dan tulus dalam segala hal.

Nasihat terhadap kitab-Nya mempunyai arti, mengimaninya dengan cara membaca, mengamati, dan mentadabburi al-Alquran, mengambil pelajaran darinya, dan pastinya menjaga segala had-nya dengan cara melaksanakan seluruh perintah dan meninggalkan semua larangan yang termaktub dalam kitab suci al-Quran. 

Nasihat bagi rasul-Nya bermakna percaya dengan segala apa yang berasal dari Rasulullah dengan cara membangkitkan sunnah-sunnahnya, berakhlah sesuai dengan adat Nabi, beradab selaras dengan budbahasa Nabi, mencintai keluarga dan juga teman-sahabatnya.

Nasihat kepada para pemimpin memiliki arti saling tolong-menolong dalam hal kebajikan, taat terhadap perintah mereka, saling memperingati kelemahan dengan cara paling lembut dan rasa sayang, mengingatkan setiap penyimpangan dengan tidak mengumbar kejelekan mereka alasannya adalah itu sama membuka malu diri sendiri. 

Sedangkan pesan yang tersirat bagi rakyat dan sesama muslim dengan cara saling mengasihi antarasatu dan lainnya, menghalangi hal-hal buruk sesamanya, menghormati yang lebih tua dan mengasihi yang lebih muda, sama-sama mencicipi kesedihan jikalau ditimpa kesusahan atau tragedi dan sama-sama merasa gembira kalau memang diberikan kenikmatan.

Disinilah pentingnya agama sebagai pesan yang tersirat, bukan sebatas akidah yang kaku dan hitam-putih bila dihadapkan dengan realitas sosial kemasyarakatan. 

Ketika agama diyakini menjadi pesan tersirat, maka ditentukan ia akan mampu membentuk kebaikan kepada diri pribadinya terlebih dulu, sebelum lalu menasihati pihak lain biar sesuai dengan prilaku baiknya yang telah dibuat oleh hikmah agama. lagi pula, segi mendasar agama selaku hikmah semestinya menjadi basis utama paling dalam yang telah mesti tertanam terlebih dahulu secara mantap dalam hati setiap orang. 
Nasihat yakni ahlak dan moralitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan sekaligus kemanusiaan, sehingga setiap apa yang dikatakan atau diperbuatnya cermin dari agama yang sudah diperkuat oleh faktor moralitas yang selalu ternasihati.
Wallahu a’lam…
TANYA JAWAB:
1⃣assalamualikum ustadz mau nanya ketika kita saling menasehati dengan tujuan saling mengingatkan namun orang yang kita nasehti itu malah marah dan mudah tersinggung .mesti bersikap mirip gimana kah ustad dalam menghadapi orang seprti itu?syukron ustadz.
JAWABAN : Wa alaikum salam, perlu dimengerti bahwa pesan yang tersirat pastinya sesuatu yang baik, apapun bentuknya baik ucapan, sikap, maupun tindakan. Sebuah hikmah yaitu murni keluar sebagai bentuk keikhlasan yang pasti tak akan ditolak oleh siapapun, alasannya adalah jikalau itu bukan hikmah (sesuatu yang tidak murni, sebab adanya kepentingan lain yang dibawanya) pasti tak siapa saja menerima dan mungkin saja pada umumnya menolak. 
Nasihat dengan mengingatkan utu dua hal berlawanan. Nasihat tidak senantiasa dengan ucapan, sedangkan mengingatkan niscaya dengan ucapan. Jika saling mengingatkan ada yang tersinggung, mungkin saja caranya salah, alasannya adalah mengingatkan tak boleh didepan lazim atau tak cantik kalau pribadi menuding bahwa ia salah. Sikap kita mungkin saja kurang bijak saat mengingatkan seseorang, maka perlu cara lain supaya hikmah kita selaku pengingat bisa hingga terhadap orang yang kita ingatkan atau nasihati…

  Kiat Atau Cara Jitu Meminimalkan Resiko Bahaya Begadang

2⃣ Assalamualaikum ustadz aku mau bertanya
Di tempat saya masih ada yang menjaga tradisi leluhur nya ustadz seperti yang senin kemarin ialah acara etika sehabis panen
Membawa kuliner di gunung sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang mereka peroleh
Bagaimana cara supaya acara itu mampu di tinggalkan ustadz?

JAWABAN : Wa alaikum salam, menjaga budbahasa atau tradisi itu bukan kemaksiatan, alasannya bukan perbuatan yang dianggap jelek oleh logika dan tidak menjadikan manusia rusak sampai lalu melampaui batas melawan kehendak Allah. Ada kalanya kita mengetahui, bahwa budpekerti atau tradisi perlu juga dijaga dan dilestarikan, selama tidak secara nyata menawarkan kemusyrikan. Ada sebuah hadis Qudsi: “Ana ‘inda dzanni ‘abdi bii” (Aku sebagaimana praduga hamba-hamba-Ku), artinya orang mampu mempersepsikan Tuhan secara berlainan dan akhlak atau tradisi mungkin saja mempersepsikan secara berlawanan dengan kita. Bahkan, dalam kaidah Ushul Fiqh ada kaidah yang menyebut “al-‘Aadatu muhkamatun” (budbahasa istiadat itu bisa menjadi sumber hukum). Karena aturan itu tak hanya bersumber dari al-Alquran dan Sunnah, ada Ijma’, Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan, Istishab, dan “urf (etika) salah satunya. Saya kira tak menjadi soal adat itu ada, bahkan mereka meyakini itu salah satu perbuatan baik terhadap alam, mereka memelihara, tidak menghancurkan, tidak mengeruk kekayaan alam secara sembrono, tetapi mereka melestarikannya dengan menyatu dan berbuat baik dengan alam…Wallahu a’lam bisshawab

3⃣ustadz mau nanya lagi secara bahasa kan saran ialah ke ikhalasan nah bagaimana cara nya kita mengecek level dalam penerimaan dan keikhlasan dari sisi dikala d timpa petaka?

JAWABAN : Gampang, sebagaimana diceritakan dalam cerita Imam Sufyan Tsauri dan Rabiah al-Adawiyah. Ketika Sufyan berdoa kepada Allah dia menyampaikan, “Ya Allah, Ridoilah kami berdua”. Hal ini ditegur oleh Rabiah, “Wahai Sufyan, sudahkan engkau juga ridha kepada Allah?”. Lalu, Sufyan terhenyak dan mengajukan pertanyaan, apa yang dimaksud bahwa aku ridha kepada Allah?”. Lalu Rabiah menjelaskan, “ketika keridoanmu kepada petaka sama atau selevel dengan keridoanmu kepada kenikmatan yang Allah berikan”. Kita acap kali berharap ridha Allah, padahal kita sendiri sering belum ridha kepada-Nya. Kita hanya ridha terhadap Allah saat kita menerima kebahagiaan atau kenikmatan, tetepi jikalau ditimpa bencana alam, nyaris sulit kita mendapatkannya bahkan mungkin tak pernah tulus. Maka ukurannya, jika menerima kenikmatan dan memperoleh petaka sudah sama ridhanya, itulah ukuran tulus….

  Bagaimana Kegiatan Seorang Muslimah Di Bulan Puasa??

4⃣Assalamualaikum ustdz. Bagaimana cara mengingatkan sahabat yang teguh pada pendiriannya sehingga mengabaikan beberapa hal yang lebih penting. bahwa dalam hal pimpinan wanita jga harus sama tingkatannya dgn laki2. Apakah itu telah benar dalam persepsi islam.

JAWABAN : Wa alaikum salam, setiap orang niscaya punya pendirian atau pertimbangan berbeda-beda, tak mungkin dipaksakan harus sama. Maka setiap perbedaan ialah rahmat, bukti aktual kasih sayang Allah kepada kita, semoga kita mampu saling memahami, menghormati, dan mempertahankan perasaan dan cara pandang yang berbeda dari setiap orang. Jangankan soal pendirian dan pertimbangan , dalam hal agama sekalipun tak boleh ada paksaan. “Laa ikrraha fiddiin” (Tak ada paksaan dalam beragama) begitu kata al-Alquran. Soal wanita dengan laki-laki tingkatannya sama, mereka sama-sama menerima pahala atau siksa atas perbuatannya dan Allah tak membedakan antara wanita dan laki-laki, karena keduanya saling menguatkan dan memerlukan. Soal kepemimpinan, ada pembahasan tersendiri dan itu sungguh luas, bagaimana Islam menatap kepemimpinan wanita…

5⃣Assalamualaikum ustadz saya mau brtanya, bagaimana cara kita saat mau mnyampaikan pesan yang tersirat kpada org lain dgn cara baik dan benar sesuai dgn pemikiran islam. Syukron ustadz

JAWABAN : Wa alaikum salam, al-Quran menerangkan, “Tawasau bil haq dan tawasau bisshabr” (saling menasihati dalam hal kebaikan dan ketabahan). Jika menasihati orang lain, nasihatilah dengan perilaku dan pola yang baik, alasannya kata “tawasau” itu tak hanya ucapan, namun termasuk perilaku dan perbuatan. Nasihatilah dirimu sendiri apalagi dahulu, sudahkan menjadi makin baik, kian lapang dada, makin manfaat untuk orang lain? bila belum, tak perlu menasihati orang, kecuali saling mengingatkan itu bagus. Dan ingat, saling menasihati itu ihwal hal-hal yang pantas dan benar dan diiringi dengan keteguhan, alasannya adalah sabar akan membuka jalan lebih akrab kepada kebenaran. Karena ketidaksabaran pada balasannya kita tunduk pada hawa nafsu kita sendiri, sehingga nasihat yang terjadi sevatas klaim kebenaran langsung bahkan paksaan sebab kita emosi….

6⃣ustadz namun kenapa iya kadang pesan yang tersirat itu gampang di ucapkan dan di dengar tapi terasa berat untuk di aplikasikan melalui langkah-langkah dan perilaku?kenapa  bisa mirip itu
 

JAWABAN: Banyak kemungkinan, mungkin hikmah itu tidak tulus atau tulus adanya, atau karena diri kita sendiri yang sengaja menutupi dari nasihat, padahal setiap yang “tertutup” itu niscaya sukar “dibuka”, atau bila tertutup niscaya sesuatu dari luar akan sulit masuk. Maka, lapangkanlah dada…ikhlaskan, tawakkal, maka nasihat dar siapapun insya Allah akan masuk
Setiap hikmah yang murni dan lapang dada dan diterima dengan nrimo dan lapang, maka akan gampang diaplikasikan atau diaktualisasikan dalam keseharian


Sumber :
Group Online WA Tholabul’ilmi
Oleh : Ustadz Syahirul Alim
Hari/Tgl: Selasa, 30 Oktober 2018