close

Imam Syafi’i Mencampakkan Hadits Dloif? (Bantahan)

Ada suatu artikel yang ditulis oleh seorang ustadz sekaligus mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah Saudi Arabia, yaitu Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc., MA. dan dimuat di muslim.or.id yang berjudul “Sikap Imam Asy Syafi’i Terhadap Hadits Lemah”, berikut aku kutipkan gesekan pena lengkapnya: 

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata :

وَجِمَاعُ هَذَا أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ إِلَّا حَدِيثٌ ثَابِتٌ كَمَا لَا يُقْبَلُ مِنَ الشُّهُودِ إِلَّا مَنْ عُرِفَ عَدْلُهُ، فَإِذَا كَانَ الْحَدِيثُ مَجْهُولًا أَوْ مَرْغُوبًا عَمَّنْ حَمَلَهُ كَانَ كَمَا لَمْ يَأْتِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ

“Kesimpulan dari semua ini, bahwa tidaklah (sebuah hadits) diterima kecuali hadits yang valid, sebagaimana tidaklah para saksi diterima (pesaksiannya) kecuali orang yg dikenal adilnya. Sehingga jika hadits itu tidak diketahui atau dibenci perawinya, maka seakan hadits itu tidak ada, alasannya adalah ketidak-validannya”

(kitab Ma’rifat Sunan Wal Atsar, karya Imam Al Baihaqi, 1/180).

Karena perilaku mirip inilah Imam Syafi’i dijuluki sebagai “Naashirussunnah” (Pembela Sunnah Nabi). Beliau tidaklah berdalil dengan hadits, kecuali jika hadits tersebut mampu dipertanggung-jawabkan kevalidannya.

Namun sayang banyak dari orang-orang yang mengaku selaku pengikutnya, bermudah-mudahan dalam berdalil dengan hadits lemah.

Parahnya lagi, bila kita memberikan terhadap mereka bahwa haditsnya lemah, maka pribadi saja kita dicap sebagai Wahabi! Wallahul musta’an, tidakkah mereka merenungi perkataan Imam Asy Syafi’i -rahimahullah- di atas?!

Allahu yahdiina wa iyyaahum.

–akhir kutipan–

Penulis postingan tersebut ingin menggiring pembacanya pada pemahaman bahu-membahu Imam Syafi’i seakan akan MEMBUANG dan tidak menggunakan semua hadits Dloif tanpa pandang bulu, apakah memang demikian pengertiannya?. Mari kita diskusikan satu persatu.

1. Pertentangan 2 hadits shohih dan dloif.
Dalam konteks qaul Imam syafi’i diatas adalah membahas perihal Naskh wal mansukh dan pertentangan hadits, terbukti Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat Sunan Wal Atsar itu memberi judul Bab “Bayanu An-Naskh wal Mansukh” dgn sub judul “Ikhtilaful ahadits” (kontradiksi hadits-hadits) sehingga penolakan Imam Syafi’i kepada hadits dhoif itu, bila berlawanan dg hadits shohih, maka yang diseleksi ialah yang lebih shohih dan tidak mempergunakan hadits dloif tsb.

2. Disunnat 
Teks diatas dlam kitab Ma’rifat Sunan Wal Atsar, karya Imam Al Baihaqi telah disunnat atau dipotong (klo gak mau dikatakan disembunyikan), sehingga kesimpulan dan pemahamannya salah. aku kutipkan lengkapnya : 

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ : كُلَّمَا احْتُمِلَ حَدِيثَانِ أَنْ يُسْتَعْمَلا مَعًا استعملا معا وَلَمْ يُعَطِّلْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا لِلآخَرِ ، فَإِذَا لَمْ يُحْتَمَلِ الْحَدِيثَانِ إِلا الاخْتِلافُ فَلِلاخْتِلافِ فِيهِمَا وَجْهَانِ : أحدهما : أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا نَاسِخًا وَالآخَرُ مَنْسُوخًا فَيُعْمَلُ بِالنَّاسِخِ وَيُتْرَكُ الْمَنْسُوخُ ، وَالآخَرُ : أَنْ يَخْتَلِفَا وَلا دِلالَةً على أَيُّهُمَا نَاسِخٌ وَلا أَيُّهُمَا مَنْسُوخٌ ، فَلا نَذْهَبُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا دُونَ غَيْرِه ، إِلا بِسَبَبٍ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الَّذِي ذَهَبْنَا إِلَيْهِ أَقْوَى مِنَ الَّذِي تَرَكْنَا ، وَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْحَدِيثَيْنِ أَثْبَتُ مِنَ الآخَرِ فَنَذْهَبُ إِلَى الأَثْبَتِ ، أَوْ يَكُونُ أَشْبَهُ بِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، أَوْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فِيمَا سِوَى مَا اخْتَلَفَا فِيهِ الْحَدِيثَانِ مِنْ سُنَّتِهِ أَوْ أَوْلَى بِمَا يَعْرِفُ أَهْلُ الْعِلْمِ أَوْ أَصَحُّ فِي الْقِيَاسِ أَوِ الَّذِي عَلَيْهِ الأَكْثَرُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، 
وَبِإِسْنَادِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ : وَجِمَاعُ هذَا أَنَّهُ لا يُقْبَلُ إِلا حَدِيثٌ ثَابِتٌ كَمَا لا يُقْبَلُ مِنَ الشُّهُودِ إِلا مَنْ عُرِفَ عَدْلُهُ ، فَإِذَا كَانَ الْحَدِيثُ مَجْهُولا أَوْ مَرْغُوبًا عَمَّنْ حَمَلَهُ كَانَ كَالْمُرْتَابِ لأَنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ 

Terjemahan bebas :
Imam Syafii berkata : “kalau mampu menggunakan kedua hadits maka pergunakan keduanya jangan menolak salahsatunya, tetapi jikalau kedua hadits itu bertentangan, maka ada dua kemungkinan; yang pertama adalah salahsatu hadits tersebut nasikh (meniadakan) sedangkan yang hadits satunya mansukh (dihapus). Yang kedua; adalah jikalau kontradiksi itu tidak menawarkan nasik-mansukh maka kami tidak mempergunakan salahsatunya kecuali hadits itu lbh berpengaruh dibandingkan dengan yang kami lewati, demikian halnya jika ada salahsatu diantara kedua hadits itu yang lebih tsabit (valid) maka kami mempergunakan yang lebih tsabit tsb atau yang mencocoki Al-Quran dan sunnah rasulullah SAW, sama halnya kalo bertentangan dgn sunnah nabi, atau lebh memprioritaskan yang dikenali oleh ahlul ilmi (ulama) atau lebih sah dalam qiyas, atau yang lebh banyak diriwayatkan dari sobat nabi SAW.”
Imam Syafi’i melanjutkan: “Kesimpulan dari semua ini, bahwa tidaklah (suatu hadits) diterima kecuali hadits yang valid, sebagaimana tidaklah para saksi diterima (pesaksiannya) kecuali orang yg diketahui adilnya. Sehingga apabila hadits itu tidak diketahui atau dibenci perawinya, maka seakan hadits itu tidak ada, alasannya ketidak-validannya.”

Kitab Online : http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?bk_no=684&pid=336087&hid=63

nah terang, disana bahwa Imam Syafii ingin menjelaskan kepada kita kalo ada hadits dhoif berlawanan dgn hdits shohih, maka pilihlah yang lebih shohih, bukan ansih mencampakkan hadits dloif (mirip hadits maudlu’) kalau tidak berlawanan dengan yg lebih shohih atau alquran.

3. Imam Syafii dan Hadits Dloif. 
Imam Syafi’i sendiri memakai hadits mursal, bila dalam suatu persoalan ia tidak menemukan hadits lainnya.
Padahal beliau berpendapat, bahwa hadits mursal itu dhaif. 

Silahkan rujuk:
az-Zarkasyi Kitab an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibnis-Shalah (1/479)
An-Nawawi Kitab Al-Majmu’ fi syarhil muhadzdzab (1/61)
As-Sakhawi kitab Fathul Mughits (1/80,142 dan 268)

Imam Nawawi Asy-Syafi’i juga menyertakan 

وقد قدمنا اتفاق العلماء على العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال دون الحلال والحرام

“Telah kami jelaskan akad para ulama perihal bolehnya berinfak dengan hadits dha’if dalam Fadha’il A’mal (keistimewaan amal), bukan duduk perkara halal dan haram.” (Al-Majmu’ (3/226)

قال الحافظ في تبيين العجب بما ورد في فضل رجب (23) :” اشتهر أن أهل العلم يتسامحون في إيراد الأحاديث في الفضائل وإن كان فيها ضعف، ما لم تكن موضوعة.

Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-Syafi’i memberikan dalam kitab Tabyiinul ‘Ajab bima Warada fi Fadhli Rajab (hlm 23) “Telah masyhur bahwa Ahli Ilmu (ulama) saling toleransi dlm hadits2 wacana fadhoil amal meskipun di dalamnya ada kelemahan selama tidak sampai maudhu’.” 

Saya kira sudah jelas ihwal pembahasan ini, bahwa Imam Syafi’i tidak serta merta menolak dan mencampakkan hadits dloif bahkan menggunakannya, demikian juga ulama lainnya memperbolehkan mengamalkan hadits dloif dalam fadloilul amal. 

Wallahu A’lam bisshowab..
Mari kita tidur besok kerja lagi..