Beliau berjulukan Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 & As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dlm penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian menyampaikan, bahwa penyandaran nama dia pada tempat Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dlm Al Mishbah Al Munir. Penisbatan usulan ini pada salah seorang keturunan Al Ghazali, yakni Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yg menyampaikan, bahwa sudah salah orang yg menyandarkan nama kakek kami tersebut dgn ditasydid (Al Ghazali).
Sebagian lagi menyampaikan penyandaran nama ia pada pencaharian & kemampuan keluarganya, yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dlm Al Ghazzali yakni yg benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yg pertama & berkata, “Saya telah bertanya pada masyarakatThusi ihwal tempat Al Ghazalah, & mereka mengingkari keberadaannya”. Ada yg berpendapat Al Ghazali yaitu penyandaran nama pada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pertimbangan Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para mahir nasab mutaakhirin adalah usulan Ibnul Atsir dgn tasydid, yakni penyandaran nama pada pekerjaan & kemampuan bapak & kakeknya. Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H & memiliki seorang saudara yg bernama Ahmad.
Kehidupan & Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah dia adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dr kulit domba) & menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat ia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya pada temannya dr kelompok orang yg baik. ia berpesan, “Sungguh saya menyesal tak mencar ilmu khat (tulis menulis Arab) & saya ingin memperbaiki apa yg telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon kamu-sekalian mengajarinya, & harta yg saya lewati boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Imam Al Ghazali memulai berguru di kala masih kecil. Mempelajari fikih dr Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dr Imam Abu Nashr Al Isma’ili & menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi. Beliau mendatangi kota Naisabur & berguru pada Imam Haramain Al Juwaini dgn sarat keseriusan. Sehingga sukses menguasai dgn sangat baik fikih mazhab Syafi’i & fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, pesan yang tersirat & filsafat. Beliau pun mengerti perkataan para jago ilmu tersebut & membantah orang yg menyelisihinya. Menyusun goresan pena yg menciptakan takjub guru ia, yaitu Al Juwaini.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dlm diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yg berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yg membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi ia menyepakati mereka dlm beberapa hal yg disangkanya benar. Hanya saja kehebatan dia ini tak didasari dgn ilmu atsar & keahlian dlm hadits-hadits Nabi yg dapat menghancurkan filsafat. Beliau pula gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa & kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dlm perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dr karya-karya Ibnu Sina dlm kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa & karya Abu Hayan At Tauhidi”.
Hal ini terang terlihat dlm kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan namun di dalamnya terdapat isi yg menghancurkan, berbentukfilsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah & hadits-hadits imitasi”.
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan & ketinggian jabatan dia ini tak menjadikannya congkak & cinta dunia. Bahkan dlm jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yg menjadikannya senang menggeluti ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi & kembali pada ibadah, lapang dada & perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H ia berhaji & mengangkat saudaranya yg bernama Ahmad selaku penggantinya.
Pada tahun 489 H ia masuk kota Damaskus & tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa usang, & kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana & menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas & kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa & mengenakan busana para mahir ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan ia dihabiskan dgn kembali mempelajari hadits & berkumpul dgn ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada selesai kehidupannya, ia tekun menuntut ilmu hadits & berkumpul dgn ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari & Muslim). Seandainya dia berumur panjang, pasti mampu menguasai seluruhnya dlm waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits & tak mempunyai keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi memberikan kisah meninggalnya beliau dlm kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil kisah Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu & shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu ia mengambil & menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, & berkata, “Saya patuh & taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya & menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari) di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H & dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran.
Karya-Karyanya
Beliau seorang yg produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat aneka macam. Di antara karyanya yg terkenal ialah: Pertama, dlm dilema ushuluddin & aqidah, yakni: Arba’in Fi Ushuliddin; Qawa’idul Aqa’id; Al Iqtishad Fil I’tiqad; Tahafut Al Falasifah; Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dlm ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq & tasawuf, dia mempunyai karya yg sungguh banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yg terkenal, di antaranya: (1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul; (2) Mahakun Nadzar; (3) Mi’yarul Ilmi; (4) Ma’ariful Aqliyah; (5) Misykatul Anwar; (6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna; (7) Mizanul Amal; (8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi; (9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah; (10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi; (11) Qanun At Ta’wil; (12) Fadhaih Al Bathiniyah & Al Qisthas Al Mustaqim; (13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam; (14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin; (15) Ar Risalah Alladuniyah; (16) Ihya’ Ulumuddin; (17) Al Munqidz Minad Dhalalah; (18) Al Wasith; (19) Al Basith; (20) Al Wajiz; (21) Al Khulashah.
Aqidah & Madzhab Beliau
Dalam dilema fikih, beliau seorang yg bermazhab Syafi’i. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih dia dgn pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dlm sisi dogma, ia sudah populer & masyhur selaku seorang yg bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dlm membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yg menyelisihi mazhabnya. Bahkan tergolong salah satu pilar dlm mazhab tersebut. Oleh karena itu ia menamakan kitab aqidahnya yg populer dgn judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya dia dlm aqidah & cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dr karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum ia (pendahulunya). Tidak memperlihatkan sesuatu yg baru dlm mazhab Asy’ariyah. Beliau cuma memaparkan dlm bentuk gres & cara yg cukup gampang.
Akan namun tasawuf apakah yg diyakini dia? Pertama, pendapat dia, bahwa setiap orang mempunyai tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam & yg difanatikinya. Kedua, beredar dlm ta’lim & ceramah. Ketiga, sesuatu yg dii’tiqadi seseorang dlm dirinya. Tidak ada yg mengenali kecuali teman yg setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus & rahasia dlm aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan usulan & uraian singkat beliau yg selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dgn pendapat para filosof dikala ia belum cenderung pada filsafat Isyraqi & tasawuf, mirip Ibnu Sina & yg yang lain. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada final hayatnya, dia kembali pada fatwa Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat & ilmu kalam, dgn menggeluti Shahih Bukhari & Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) alasannya banyak meneliti perkataan para filosof & merujuk pada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dgn perkataan mereka. Pun ia menolak banyak hal yg bersesuaian dgn mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tak memberikan ilmu & kepercayaan. Demikian pula halnya perkataan mahir kalam. Pada alhasil dia menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari & Muslim hingga wafatnya dlm keadaan demikian. Wallahu a’lam.”