A. Pendahuluan
Sebagai produk aliran insan, tentang-wacana yang dihasilkan oleh pedoman kalam, seperti halnya anutan ajaran keislaman yang lain memiliki titik kelemahan dan perlu mendapat kritikan yang mencukupi dan konstruktif. Diskursus ketuhanan yang tidak menjamah duduk perkara-masalah riil manusia yang kurang mendapat perhatian dari ilmu kalam ialah titik kekurangan yang banyak disorot.
Berbincang kelemahan ilmu kalam paling tidak terdapat tiga hal yang pelu di koreksi, diantaranya kritik epistemologi yang berkisar pada cara yang dipakai oleh para pemuka aliran kalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama dikala mereka menafsirkan Al Qur’an.
Selain aspek epistemologi, kritikan juga jatuh pada faktor Ontologi ilmu kalam yang hanya berkisar pada masalah-dilema ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang berkesan “mengawang-awang” dan jauh dari dilema kehidupan insan. Sedangkan kritik faktor Askiologi menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menelisik hakikat kebenaran yang tidak menjamah pada ranah empiris.
Dibawah ini akan di paparkan tentang anjuran kalam terbaru berseta tokoh-tokohnya.
B. Muhammad Abduh
1. Riwayat Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau lahir di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah (Mesir) pada tahun 1849 M. Beliau bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan aristokrat. Namun demikian, ayah dia di kenal sebagai orang terhormat yang suka member sumbangan.[1] Kekerasan yang di terapkan oleh penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam memungut pajak menjadikan masyarakatberpindah-pindah tempat untuk menyingkir dari nya, Abduh lahir pada keadaan yang sarat deanga kecemasan ini.[2]
Mula-mula Abduh diantarayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tantabelakangan kawasan ini menjadi sentra kebudayaan selain Al-Azhar. Namun sistem pengajaran disana sungguh menjengkelkannya sehingga setelah 2 tahun disana, beliau memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani mirip saudara-saudara serta kerabatnya. Ketika kembali ke desa, beliau dikawinkan. Pada saat itu ia berumur 16 tahun, semula beliau bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi dia kembali berguru atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mensugesti kehidupan Abduh sebelum berjumpa dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya itu, Abduh berkata “ … Ia telah membebaskan ku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbing ku menuju ilmu pengetahuan …”)[3]
Setelah menuntaskan studinya di bawah panduan pamannya, Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Februari 1866. Tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar menyambut kedatangannya. Beliau senantiasa menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan dia pun menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang social dan politik. Artikel-postingan pembaharuanya banyak dimuat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.[4]
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Al-Afghani di usir dari Mesir pada tahun 1879 alasannya di tuduh menyelenggarakan gerakan perlawanan kepada Khedewi Taufiq, Abduh juga di tuduh ikut campur didalamnya. Ia di buang ke luar dari kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali ke ibukota, lalu diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir Al-Waqa’I Al-Mishriyyah.
Pada waktu itu kesadaran nasional Mesir mulai terlihat dan di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu menampung artikel-artikel perihal urgenitas nasional Mesir, di samping gosip-informasi resmi.[5]
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, saat itu masih memimpin surat kabar Al-waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir menetapkan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh menentukan Suriah. Di Negeri ini, dia menetap selama setahun. Kemudian dia menyusul gurunya Al-Afghani yang saat itu berada di Paris. Di sana mereka mempublikasikan majalah al-Urwah al-Wusqa [6] pada tahun 1884.
Karya-karyanya yang di buat di surat kabar banyak mengharapkan kebebasan berfikir dan modern. Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fukaha yang masih memperselihkan persoalan furuiyyah.[7] Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan Barat, terutama Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya hingga dia menginggal dunia pada tahun 1905.
2. Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh
a. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua duduk perkara pokok yang menjadi konsentrasi utama anutan Abduh, sebagai mana diakuinya sendiri, yaitu:[8]
· Membebaskan logika anggapan dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat kemajuan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum periode ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; adalah mengerti langsung dari sumber pokoknya, Al-Alquran.
· Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam goresan pena-goresan pena di media massa.
Dua duduk perkara pokok itu muncul ketika beliau menyesali perkembangan umat Islam pada masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid Qutub, keadaan umat Islam dikala itu dapat di gambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng-istinbat-kan aturan-hukum, sebab mereka sudah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan nalar (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua konsentrasi fikirannya itu, Muhammad Abduh menunjukkan peranan yang sungguh besar kepada logika. Menurut Abduh, logika dapat mengetahui hal-hal berikut :[9]
· Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
· Keberadaan hidup di alam baka;
· Kebahagiaan jiwa di darul baka bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada perilaku tidak memedulikan Tuhan dan melaksanakan perbuatan jahat;
· Kewajiban insan mengenal Tuhan;
· Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi tindakan jahat untuk kebahagiaan di darul baka;
· Hukum-aturan tentang kewajiban-kewajiban itu.
Abduh beropini bahwa antara logika dan wahyu tidak ada kontradiksi, keduanya dapat diubahsuaikan. Kalau antara wahyu dan nalar bertentang maka ada dua kemungkinan :[10]
· Wahyu telah diubah sehingga telah tidak sesuai dengan nalar;
· Kesalahan dalam menggunakan penalaran.
Pemikiran seperti ini sangat diharapkan untuk menerangkan bahwa islam adalah agama yang umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga menerima ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa barat ketika itu, dimana dengan ilmu wawasan mereka menjadi inovatif, dinamis dalam hidupnya.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh perihal peranan akal diatas, dan dapat di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu yakni penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menerangkan fungsi wahyu bagi akal insan. Wahyu, katanya menolong logika untuk mengenali sifat dan keadaan kehidupan alam alam baka, mengontrol kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan wawasan nalar ihwal Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih terhadap Tuhan. Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi selaku konfirmasi, ialah untuk menguatkan dan menyempurnakan wawasan akal dan gosip.
b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya piker, insan juga memiliki keleluasaan menentukan, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri insan. Kalau sifat dasar ini di hilangkan dari dirinya , dia bukan manusia lagi, namun makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu menimbang-nimbang akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan berikutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[11]
c. Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, beliau menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai problem apakah sifat itu tergolong esensi Tuhan atau yang lain? Ia menerangkan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa Abduh condong kepada usulan bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.[12]
d. Kehendak Mutlah Tuhan
Karena percaya akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan sudah menghalangi keinginanmutlah-Nya dengan member kebebasan dan kemampuan kepada insan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya.
Kehendak mutlah Tuhan pun dibatasi oleh sunnahtullah secara lazim. Ia mustahil menyimpang dari sunnahtullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa dewa dengan kemauan-Nya sendiri telah telah menghalangi kehendak-Nya dengan sunnahtullah yang diciptakan-Nya untuk menertibkan alam ini.[13]
e. Keadilan Tuhan
Karena menawarkan daya besar terhadap akal dan keleluasaan insan, Abduh mempunyai kecenderungan untuk mengerti dan meninjau ala mini bukan hanya dari sisi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi persepsi dan kepentingan insan. Ia beropini bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan insan dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak menenteng mamfaat bagi insan.[14]
f. Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak mampu menerima faham bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada logika, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk badan atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata tampang, tangan, duduk dan sebagainya harus difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.[15]
g. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menerangkan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia cuma menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih (akidah bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) setuju menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun diterangkan dengan kata-kata. Kesanggupan menyaksikan Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di darul baka.[16]
h. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam menyampaikan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.[17]
C. Muhammad Iqbal
1. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya berjulukan Nur Muhammad yang populer saleh. Guru pertama dia yaitu ayahnya sendiri lalu ia dimasukkan ke suatu maktab untuk mempelajari Al-Qur’an.[18]
Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, dia diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ dia berjumpa dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[19]
Ketika belajar di kota India, Beliau menunjukkan beberapa konsep anutan mirip, perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul selaku bentuk ketidak sepakatnya terhadap kemajuan dunia Islam hampir enam era terakhir. Posisi umat Islam mengalami kemunduran. Pada kemajuan Islam pada kurun enam terakhir, umat islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu wawasan dan agama pada pertengahan kurun 13.[20]
Dua tahun lalu dia pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau menemukan gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[21]
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga selaku dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan ialah karyanya paling besar dalam bidang filsafat.[22]
Pada tahun 1930, dia memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, lalu pada tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk membahas pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.[23]
2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Islam dalam persepsi beliau menolak rancangan usang yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan desain dinamis dan mengakui adanya gerak pergeseran dalam kehidupan sosial manusia.[24]
Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya mesti menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan pergantian ini menjinjing pemahaman yang dinamis perihal Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut dia yakni menghidupkan kesadaran insan sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam kenyataan kehidupan dengan kemampuan akal insan dan dinamika insan yang selalu berganti. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh dia disebutnya selaku prinsip gerak dalam struktur Islam.[25]
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad mesti dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut ia, peralihan kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu terhadap forum legislative Islam yakni satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam metode hokum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan berbagi lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
Sebagaimana persepsi mayoritas ulama, ia membagi kualifikasi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yakni :[26]
· Otoritas sarat dalam memilih perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja;
· Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab;
· Otoritas khusus yang berafiliasi dengan penetapan hokum dalam perkara-masalah tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
a. Hakikat Teologi
Secara lazim dia melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”.[27] Pandangannya wacana ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.[28]
b. Pembuktian Tuhan
Dalam menerangkan keberadaan Tuhan, dia menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berupaya menunjukan keberadaan Tuhan yang mengendalikan ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, ia menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini, ia menolak persepsi yang statis wacana matter serta menerima persepsi Whitehead tentangnya selaku struktur peristiwa dalam pemikiran dinamis yang tidak berhenti. Karakter kasatmata desain tersebut ditemukan ia dalam “rentang waktu murni”-nya Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” rentang waktu murni”, ada pergeseran, namun tidak ada suksesi (penggantian).[29]
c. Jati diri manusia
Faham dinamisme beliau besar lengan berkuasa besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya ihwal dilema ini dapat dilihat dari konsepnya ihwal ego, wangsit sentral dalam fatwa filosofisnya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengenali kepribadiannya serta menguatkan dan membuatkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah.[30]
d. Dosa
Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an menampilkan pemikiran ihwal kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam korelasi ini, ia mengembangkan dongeng tentang kejatuhan Adam (alasannya adalah mengkonsumsi buah terlarang) selaku cerita yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu menanggulangi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya ego terbatas yang mempunyai kesanggupan untuk mempunyai”.[31]
e. Surga dan Neraka
Surga dan Neraka, kata dia yakni keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran wacana keduanya di dalam Al-Qur’an yaitu performa-tampilan kenyataan batin secara visual, yakni sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an ialah “ api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan tentang kegagalan insan. Surga yakni kegembiraan alasannya mendapatkan kemenangan dalam mengatasi banyak sekali gorongan yang menuju terhadap perpecahan.[32]
D. Sayyid Ahmad Khan
1. Riwayat Singkat Sayyid Ahmad Khan
Beliau lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, beliau berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.[33] Melalui Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az Zahra.[34] Neneknya, Sayyid Hadi, ialah pembesar istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, Beliau mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Beliau belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Beliau bersungguh-sungguh membaca buku dalam berbagai bidang ilmu wawasan. Ketika berusia delapan belas tahun, dia bekerja pada Serikat India Timur.[35] Pengaruhnya beliau di Serikat India Timur utamanya di dunia Islam diakui cukup besar. Beliau pengliham utama kebangkitan orang Islam di kala abad 19, pribadi atau tidak pribadi beliau berperan dalam pengorganisasian beberapa gerakan periode dan gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di dalamnya tergolong gerakan modernis dan khalikah di india, gerakan nasionalis dan modernis di Mesir, gerakan persatuan dan perkembangan di Turki.[36] Kemudian bekerja pula selaku hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali ke Delhi dan mempergunakan potensi itu untuk belajar.[37]
Di kota Delhi inilah beliau dapat menyaksikan langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuda muslim, mirip Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin, Semasa di Delhi, dia mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid, pada tahun 1855 dia pindah ke Bijnore. Di tempat ini, beliau tetap mengarang buku-buku penting Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kesemrawutan politik di Delhi yang menjadikan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika menyaksikan keadaan rakyat Delhi, beliau sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, namun dia sadar bahwa beliau mesti memperjuangkan umat Islam India agar menjadi maju. Beliau berupaya menghalangi terjadinya kekerasan dan banyak membantu orang Inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, namun beliau menolaknya.[38]
Pada tahun 1861 beliau mendirikan sekolah Inggris di Maradabad[39] dan Ghaziur untuk para pelajar yang ingin berguru.[40] Pada tahun 1878 beliau mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan besar lengan berkuasa untuk mengembangkan umat Islam India.[41]
Membentuk All India Muhammadan Educational Conference yang bertujuan untuk mengembangkan pendidikan Islam di bidang kaum muslim. Sebagai pemikir Islam di bidang Pendidikan, banyak karya tulis yang di hasilkannya mirip tafsir Alqur’an 6 jilid, Tabyin al-Kalam 1862 wacana bible dan Asbab Baghawat i-Hind 1858 dan Essai and the life of Muhammad 1870 (biografi Nabi Muhammad).[42] Hingga tamat ayatnya ia senantiasa mementingkan pendidikan umat Islam India [43]dan meninggal dunia pada tahun 1989.[44]
2. Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Beliau memiliki kesamaan fatwa dengan Muhammad Abduh di Mesdir, sesudah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini mampu dilihat dari beberapa inspirasi yang dikemukakannya, terutama perihal akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, selaku penganut fatwa Islam yang taat dan pecaya akan kebenaran wahyu, beliau berpendapat bahwa logika bukanlah segalanya dan kekuatan nalar pun terbatas.[45]
Keyakinan kekuatan dan keleluasaan nalar menimbulkan dia yakin bahwa insan bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan tindakan. Ini mempunyai arti bahwa ia memiliki faham yang serupa dengan faham Qadariyah. Menurutnya, dia telah dianugerahi Tuhan aneka macam macam daya, diantaranya ialah daya berfikir berupa akal, dan daya fisik untuk mewujudkan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hokum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hokum alam, beliau dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan ketika dating ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani mendapatkan ganjalan itu. Sebagai jawaban atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang suatu buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).
Sejalan dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham aklid. Beliau berpendapat bahwa umat Islam India mundur sebab mereka tidak mengikuti kemajuan zaman. Selanjutnya dia mengemukakan bahwa Tuhan sudah menentukan etika atau nature (sunnatullah) bagi setipa makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berganti, Menurut beliau, Islam agama agama yang paling cocok dengan hokum alam, sebab aturan alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah pasti keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.[46]
Sejalan dengan doktrin tentang kekuatan logika dan hukum alam, ia tak maupemikirannya tergantung otoritis Hadist dan Fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritis rasional. Beliau pun menolak semua yang bertentangan dengan akal dan hokum alam. Beliau hanya mau mengambil Al-Qur’an selaku aliran bagi Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat menolong dan kurang begitu penting.Alasan penolakan dia terhadap Hadist ialah alasannya Hadist berisi moralitas sosial dari penduduk Islam pada era pertama atau kedua ketika hadist tersebut dikumpulkan. Sedangkan hokum Fiqh, berdasarkan ia ialah berisi moralitas penduduk berikutnya hingga dikala timbulnya mazhab-mazhab. Beliau menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk menguraikan keterkaitannya dengan penduduk gres pada zaman itu.[47]
Sebagai konsekuensi dari penolakannya kepada taklid, dia menatap perlu diadakannya ijtihad-ijtihat baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-pedoman Islam dengan situasi dan kondisi penduduk yang senantiasa mengalami pergantian.[48]
E. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, banyak pertimbangan mengenai ilmu kalam terbaru. Diantaranya pertimbangan Muhammad Abduh yakni mendasarkan ilmu kalam terbaru kepada akal seperti kaum mu’tazilah.Sehingga pemuka-pemuka kalam terbaru yang lain oke dan sependapat dengannya.Ia banyak mengemukakan tentang tuhan.
Sama halnya dengan Muahammad Abduh,Sayyid Ahmad khan juga sependapat dengannya,tapi tidak dengan Muhammad Iqbal,ia berlawanan pertimbangan dengan keduanya sebab ia menolak pedoman tersebut. Iqbal mempunyai beberapa fatwa yang fundamental, adalah intuisi, diri, dunia, dan Tuhan. Baginya, Iqbal sungguh kuat di India, bahkan fatwa Muslim India akil balig cukup akal ini tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ilham-idenya secara mendalam.
Dari ketiga tokoh ulama ini kita mampu mengambil pelajaran di mana para ulama tersebut rela berkorban dalam menyebarluaskan ajaran-pemikirannya di dunia Islam yang mana umat Islam pada abad hidup para ulama ini hingga kini sudah gegabah dengan kenikmatan dunia. Oleh karena itu ketiga tokoh ulama ini mengajak umat Islam untuk kembali pada anutan Islam yang bahwasanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1993
Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Azzam, Abdul Wahab, Iqbal : siraTuh wa Falsafah wa syi’ruh, terj, Bandung: Pusataka,1985
Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali press,1995
Hasan, Abdillah F, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, Jawara: Surabaya, 2004
Iqbal, Muhammad, the Recontraction Of Religion Thought In Islam, New Delhi: barVan, 1981
Nasution, Harun, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, Jakarta: UI Press, 1987
——————-, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006
Shihab, Quraish, Study Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
[1] Quraish shihab, Study Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 12
[2] Ibid
[3] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 212
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Jawara: Surabaya, 2004), hal. 259
[8] Drs. Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam…, hal. 213
[9] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 214
[10] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 149
[11] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 215
[12]Harun Nasution, Muhammad abduh…, hal. 66
[13] Harun Nasution, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, ( Jakarta: UI Press, 1987), hal. 57
[14] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 216
[15] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 216
[16] Ibid, hal. 216-217
[17] Ibid, hal. 217.
[18] Abdul Wahab Azzam, Iqbal : siraTuh wa Falsafah wa syi’ruh, terj, (Bandung: Pusataka,1985), hal. 17
[19] Ibid
[20] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur…, hal. 267-268
[21] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 220
[22]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan.( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990). Hal. 190
[23] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 220-221
[24] Ibid
[25] Muhammad iqbal, the Recontraction Of Religion Thought In Islam, (New Delhi: barVan, 1981), hal. 92
[26] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 221
[27] Muhammad iqbal, the Recontraction…., hal. 154
[28]Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 222
[29] Ibid, hal. 223.
[30] Azzam, Iqbal…hal. 56
[31] H.A.R. gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali press,1995), hal. 131-132
[32] Ibid, hal. 133-134
[33] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 217
[34] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 257
[35] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 217
[36] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka,( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 323-325
[37] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan pAkistan, Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66
[38] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 217-218
[39] Ibid
[40] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., halm. 258
[41] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[42] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 258
[43] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[44] Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam.., hal. 257
[45] Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 218
[46] Ibid, hal. 218-219
[47] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 65-66
[48] Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, hlm 219