Ilmu Kalam Kekinian (Ismail Raji Al-Faruqi Dan Hasan Hanafi)

Hasan Hanafi
Oleh: Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan
Ajaran Islam, yang sumber ajarannya berasal dari Al-qur’an dan sunnah Nabi, diyakini oleh umat Islam mampu mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh perputaran zaman. Pada dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataannya bahwa penampilan Islam itu bermacam-macam, alasannya lokasi penampilannya memiliki budaya yang bermacam-macam, pergeseran jaman sudah membawa budaya dan teknologi yang berlainan-beda. Misalnya, ada komunitas yang senang memperlihatkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, ada pula yang bahagia pemerintahan republik. Bahkan, ada yang ingin kembali ke pemerintah bentuk khilafah Ada yang terikat dengan teks Al-Qur’an dan Hadis dalam mengetahui fatwa Islam.
Tidak bisa dihindari lagi, semua merasa pemikirannyalah yang paling benar antara sesama Muslim yang terjadi dimana-mana dalam rangka menampilkan Islam. Tampaknya, pemahaman itu utuh, pesan ketuhanan dapat ditangkap, fanatik buta dapat diredam, sejarah performa anutan Islam dari waktu ke waktu perlu dicermati. Dengan cara ini proses terselengaranya syariat Islam di abad Nabi dan generasai-generasi berikutnya mampu dimengerti. Alasan kebijakan para tokoh Islam untuk maksud ini pun mampu dimengerti. Dalam periode kekinian ini lalu teraktualisasi perdebatan kalam dikalangan tokoh modernis.
Di antara tokoh yang ada di periode kontemporer ini yaitu Ismail Al-Faruqi dan  Hasan Hanafi. Dalam makalah ini kami akan membicarakan tentang ilmu kalam era sekarang tentang pemikiran tokoh yang sudah disebutkan di atas.

B.       Ismail Al-Faruqi
1.      Riwayat Singkat Ismail al Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di Colleges des Freres, dengan bahasa pengirim Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail kemudian bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih selaku Gubernur Galilea. Tapi, sehabis Israel mencaplok Palestina, dia pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.[1]
Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. Pada tahun 1968, ia menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dikerjakan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, dia berkata bahwa Islam ialah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama Tuhan, yang ditentang Islam yakni politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga sebab kritiknya yang keras kepada kaum Zionis Yahudi. Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia alasannya adalah dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.[2]

2.      Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini dia ini mengungkapkan bahwa:

a.    Tauhid selaku inti pengalaman agama
Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, langkah-langkah, dan anutan setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan betul-betul ialah obsesi yang agung.[3] Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain yaitu realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.[4]

b.    Tauhid sebagai pandangan dunia
Tauhid ialah pandangan biasa ihwal realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.

c.    Tauhid sebagai intisari Islam
Esensi peradaban Islam yakni Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut disangsikan, bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.[5]

d.    Tauhid selaku prinsip sejarah
Tauhid menempatkan insan pada suatu budpekerti berbuat atau bertindak, yakni budpekerti saat keberhargaan manusia selaku pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnnya pada kurun kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Nasrani. Is dipandang selaku sebuah titik puncak tabiat bagi kehidupan di atas bumi[6]

  Filosof Muslim Dan Filsafatnya

e.    Tauhid selaku prinsip pengetahuan
Berbeda denga “keyakinan” Kristen, iman Islam yakni kebenaran yang diberikan terhadap fikiran, bukan terhadap perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau proposisi akidah bukanlah misteri, hal yang dimengerti dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya sudah dihadapkan pada cobaan keraguan dan lulus dalan ditetapkan selaku kebenaran[7]

f.      Tauhid selaku prinsip metafisika
Dalam Islam, alam yakni ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, tepat, dan terstruktur. Sebagai anugerah, beliau merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk insan. Tujuannya supaya manusia melakukan kebaikan dan meraih kebahagiaan. Tiga evaluasi ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan meringkas persepsi umat Islam tentang alam.[8]

g.    Tauhid selaku prinsip budpekerti
Tauhid memastikan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada insan, sebuah amanat yang tidak bisa dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau dogma Ilahi tersebut berupa pemenuhan komponen etika dari hasratIlahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan insan yaitu satu-satunya makhluk yang bisa melaksanakannya. Dalam Islam, budpekerti tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.[9]

h.    Tauhid selaku prinsip tata sosial
Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang yang lain. Masyarakat Islam  yakni masyarakat terbuka dan setiap insan boleh bergabung dengannya, baik selaku anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam mesti membuatkan dirinya untuk meliputi seluruh umat insan. Jika tidak, beliau akan kehilangan klaim keislamannya.[10]

i.      Tauhid sebagai prinsip ummah
Dalam menyinari wacana tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme adalah tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat insan tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yaitu Islam mencakup seluruh ummat insan yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yaitu Islam berhubungan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut kegiatan mnusia dan tujuan di abad mereka saja namun menyangkut kegiatan manusia disetiap abad dan tempat.[11]

j.      Tauhid selaku prinsip keluarga
Al-Faruqi menatap bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi penduduk yang selamat dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh kekerabatan dekat dengan tauhid.[12]

k.    Tauhid selaku tata politik
Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan selaku janji tiga dimensi, ialah: komitmen wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang dimaksud al-Faruqi ialah wawasan akan nilai-nilai yang membentuk keinginaniIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah wawasan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah peelaksanaan keharusan yang muncul dari akad[13]

l.      Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
Al-Faruqi menyaksikan implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada seorang atau kelompok pun yang mampu memeras lainnya. Kedua, tak satu kalangan pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia yang lain dengan tujuan untuk mebatasi keadaan ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.[14]

m.  Tauhid selaku prinsip estetika
Dalam hal kesenian, ia tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak cuma ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.[15]

C.      Hasan Hanafi
1.                Riwayat Singkat Hasan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan Hanafi yakni pengikut Ikhwanul Muslimin ketika ia aktif kuliah di Universitas Kairo. Hanafi kepincut juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb perihal keadilan sosial dalam Islam. Ia berfokus untuk mendalami fatwa agama, revolusi, dan perubahan sosial.[16]
Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya sejak revolusi 1952. Kiri Islam, walaupun gres menampung tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini sudah memformulasikan satu kecenderungan aliran yang ideal ihwal bagaimana seharusnya santunan agama bagi kemakmuran umat manusia.

  Desain Al-Kasb Al-Asy’Ariyyah Dan Modernisasi Dalam Islam

2.                Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a.        Kritik kepada teologi Tradisional
Dalam gagasannya ihwal rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi memastikan perlunya mengganti orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan pergeseran konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada realita bahwa teologi tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berlawanan dengan realita kini bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga pergantian kerangka konseptal usang pada kala-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan terbaru harus dilakukan.[17]
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan pertentangan sosial politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk ajaran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu wacana Tuhan, alasannya adalah Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu.[18]
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu wacana Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berbentukwahyu. Ilmu Kalam yaitu tafsir ialah ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari sisi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu selaku manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia memiliki muatan-muatan kemanusiaan.[19]
Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada kawasan yang sebetulnya, ialah bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang dihentikan dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for Granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diaadakan verifikasi dan falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.[20]
Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi suatu pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi langkah-langkah dalam kehidupan kongkret umat insan hal ini disebabkan oleh perilaku para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menyebabkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya di golongan umat.
Secara historis, teologi yang sudah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan dia sarat dengan konflik social-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: Pertama, pada tingkat teoritis, kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal sebab cuma membuat apatisme dan negativisme.[21]

b.        Rekontruksi Teologi
Melihat sisi-segi kelemahan teologi tradisional, Hanafilalu mengajukan usulan rekontruksi teologi. Menurutnya, yaitu mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang berfaedah bagi periode sekarang, ialah dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta nenbangun kembali epistemologi usang yang rancu dan imitasi menuju epiatemologi gres yag sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar doktrin-keyakinan keagamaan yang kosong, melainkan bermetamorfosis selaku ilmu wacana pejuang social, yang mengakibatkan keimanan-keimanan tradisonal memiliki fungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi insan.[22]
Sistem akidah sebenarnya mengekpresikan bangunan sosial tertentu. Sistem kepercayaan menyebabkan gerakan social sebagai gerakan bagi kepentingan lebih banyak didominasi yang diam (al-aglabiyah as-sfimitah: the majority) sehingga system dogma mempunyai fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan akhir rekonstruksi teologi tradisionla adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama dimasa kini sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di abad lalu, ketika filsafat menjadi zaman saat itu.[23] 
Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional sudah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melaksanakan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:
1)        Kebutuhan akan adanya suatu ideologi yang terperinci di tengah pertandingan global anatar aneka macam  ideologi.
2)        Pentingnya teologi gres ini bukan semata pada segi teoritisnya, namun juga terletak pada kepentingan simpel untuk secara nyata merealisasikan ideologi gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-negara muslim.
3)        Keperingan teologi yang bersifat praktis  (amaliyah fi’liyah) yang secara faktual diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi mengharapkan adanya ‘teologi dunia’ yakni teologi gres yang mampu mempersatukan umat Islam di bawah satu orde[24]
Menurut Hanafi, rekontruksi teologi ialah salah satu cara yang mesti ditempuh kalau menghendaki biar teologi dapat menunjukkan bantuan yang kongkret dagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekontruksi itu pertama-tama untuk mentranformasikan teologgi menuju antropologi, menimbulkan teologi sebagai ihwal tenntang kemanusiaan, baik secara eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk mendapatkan kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam adalah:
1)      Analisis bahasa. Bahasa serta istilah-perumpamaan dalam teologi tradisonal yaitu warisan nenek moyang di bawah teologi, yang merupakan bahasa khas yang seperti menjadi ketentuan semenjak dahulu. Teologi tradisonal mempunyai ungkapan-ungkapan khas mirip Allah, iktikad, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini bergotong-royong menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional mirip iktikad, amal, dan imamah, dan ada yang historis mirip nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan darul baka.
2)      Analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di era lalu, mendiskripsikan dampak-efek nyata teologi bagi kehidupan masyarakat. Dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan kepada prilaku para pendukungnya. Analsis realitas ini berkhasiat untuk memilih stressing kea rah mana teologi kontemporer mesti diorientasikan.[25]

  Tasawuf Maqamat Dan Ahwal

D.      Penutup
Dari peembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pedoman Kalam Ismail Al-Faruqi terletak pada inti pengalaman agama adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, langkah-langkah, dan pedoman setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan lazim perihal realitas, kebenaran, dunia, ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir. Tauhid ummah berisikan tiga identitas yakni Etnosentrisme, Universalisme, Totalisme dan Kemerdekaan. Tauhid tidak menentang kreatifitas seni, kenikmatan, dan keindahan.Islam menilai bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
Sementara Hasan Hanafi mengkritik teologi tradisional tidak mampu menjadi suatu persepsi yang sungguh-sungguh hidup dan memberi motivasi langkah-langkah dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai tindakan manusia. Sehingga menyebabkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruqi, Lamya, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, Surabaya: Al-Fikr, 1991

Al-Faruqi, Ismail  Raji Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Jakarja: Pustaka, 1988

Kusnadiningrat, E. Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Jakarta:Logos, 1999

Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka Setia, 2006

Ridwan, A.H. Reformasi Intelektual Islam,Yohyakarta: Ittaqa Press, 1998

[1] Lamya Al-Faruqi, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Al-Fikr, 1991), hlm. Vii-x

[2] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 229

[3] Ismail  Raji Al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Jakarja: Pustaka, 1988), hal. 1

[4] Ibid, hal. 13

[5] Ibid, hal. 16,17,18

[6] Ibid, hal. 35, 37

[7] Ibid, hal. 42

[8] Ibid, hal. 51

[9] Ibid, hal. 61,64

[10] Ibid, hal. 102

[11] Ibid, hal. 109-112

[12] Ibid, hal. 137

[13] Ibid, hal. 149-153

[14] Ibid, hal. 176

[15] Ibid, hal. 207

[16] A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yohyakarta: Ittaqa Press, 1998), hal. 96

[17] E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, (Jakarta:Logos, 1999), hal. 63-64

[18] Ridwan, Reforamsi Intelektual Islam…hal. 45

[19] Ibid, hal. 46

[20] Ibid, hal. 47

[21] Ibid, hal. 48

[22] Ibid, hal. 49

[23] Ibid

[24] Ibid, hal. 50

[25] Ibid, hal. 50-51