Hukum Transportasi

I. PENDAHULUAN

Dalam dunia jual beli soal angkutan memegang peranan yang sangat vital: tidak hanya sebagai alat fisik, alat yang mesti menjinjing barang-barang yang diperdagangkan dari produsen ke konsumen, tetapi juga alat penentu harga dari barang-barang tersebut.
Tiap-tiap pedagang senantiasa akan berusaha mendapat frekuensi transportasi yang kontinue dan tinggi dengan biaya angkut yang rendah. Untuk semua ini diperlukan peraturan-peraturan kemudian-lintas baik di darat, di maritim maupun di udara. Peraturan-peraturan yang menertibkan ketertiban dan keselamatan, juga mengatur korelasi keperdataan antara pedagang dan pelanggan, pedagang satu sama lain dan pedagang dengan para pengangkut barang-barang dagang tersebut. Dalam makalah ini penulis akan membahas beberapa hal mengenai hukum transportasi.
II. POKOK PEMBAHASAN
Seperti yang sudah disampaikan pada pendahuluan, ada beberapa hal yang akan penulis diskusikan dalam makalah ini:
A. Pengertian 
B. Beberapa Ketentuan Umum Mengenai Pengangkutan
C. Kedudukan Hukum Pihak Pengangkut
D. Jenis-Jenis Pengangkutan
E. Tanggung Jawab Pihak Pengangkut

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian 
Masalah aturan pengangkutan adalah bab dari duduk perkara hukum lalu-lintas yang lebih mempunyai segi pemerintahan, sehingga tidak aneh bahwa di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa(dwinged recht). Juga dalam korelasi inilah kita mesti meninjau adanya sebuah aspek yang penting dalam angkutan yaitu ketentuan-ketentuan yang bersifat monopolistis yang dikontrol secara undang-undang. Dengan cara ini pembentuk undang-undang ingin menjaga agar dilema yang menyangkut seluruh kemakmuran rakyat tidak terdapat penyalahgunaan kewenangan yang mampu merugikan rakyat disamping argumentasi-argumentasi kenegaraan lain mirip penjamin keselamatan dan pertahanan dan lain sebagainya.
Bagi perusahaan-perusahaan pengangkutan yang diselenggarakan oleh negara sendiri dalam bentuk perusahaan negara maka ketentuan-ketentuan yuridis, yang bersifat paksaan, hal ini semata-mata tergantung pada tinjauan hemat kemasyarakatan yang menjadi tujuan pembentukan perusahaan tersebut. Apabila perusahaan itu merupakan suatu publik utility sepenuhnya dengan tujuan sumbangan jasa semata-mata yang umumnya terdapat dalam departement agency maka keleluasaan untuk menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku sedikit sekali. Sebaliknya kebebasan ini lebih banyak ditemui dalam perusahaan yang ialah suatu publik corporation, bahkan dalam perusahaan-perusahaan negara yang berstatus suatu publik company keleluasaan dalam penentuan hukumnya mendekati kebebasan dari sebuah perseroan terbatas yang berstatus swasta sama sekali.
B. Beberapa Ketentuan Umum Mengenai Pengangkutan
Ketentuan-ketentuan umum perihal pengangkutan dalam KUH Dagang dapat dijumpai dalam: 
a) Bagian III titel 5 buku I pasal 91 sampai dengan 98 tentang petugas pengangkut serta juragan kapan yang berlayar di sungai-sungai dan perairan kedalam.
b) Bagian II titel 5 buku I pasal 86 hingga dengan 90 tentang kedudukan para “ekspeditur” selaku pengusaha perantara.
Mengingat bahwa hukum di Indonesia adalah konkordan dengan hukum yang berlaku di negara Belanda, dimana masalah pelayaran di sungai dan perairan pedalaman perlu dikelola secara khusus, maka tak aneh bahwa ketentuan-ketentuan tersebut juga mampu ditemukan di Indonesia. Dimana problem sebenarnya sungguh berlainan sekali, tetapi demikian dalam pasal-pasal tersebut terdapat pemahaman-pengertian dasar yang memiliki kegunaan bagi pembahasan hukum pengangkutan, sedangkan kedudukan ekspeditur sebagai pengusaha perantara mengingat kedudukannya yang dekat hubungannya dengan transportasi , dibahas pula dalam Bab ini. Seperti dikenali maka dalam pengangkutan terdapat sebutan-istilah bagi petugas pengangkutan yang antara lain disebut:
a. Petugas pengangkut (voerlui) ialah pihak pengangkutan yang bertugas dan berkewajiban mengangkut dan bertanggung jawab terhadap semua kerugian yang diderita dalam pengangkutan barang-barang, (pasal 91 KUH Dagang).
Apabila mereka secara lazim menawarkan jasanya terhadap masyarakat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, maka undang-undang menyebutnya selaku pebisnis pengangkutan umum (ondernemers van openbare rijtuigen en vaartuigen) mirip istilah yang dipergunakan dalam pasal 96 KUH Dagang. 
b. Pengusaha mediator dengan sebutan ekspeditur yang tugasnya yaitu memberi jasa sebagai perantara dalam mengadakan kesepakatan pengangkutan barang-barang baik dari darat maupun di laut dengan menerima duit jasa dan tidak mengadakan pengangkutannya sendiri (pasal 86 sub 1 KUH Dagang).
c. Dalam praktek terdapat pula apa yang disebut selaku pebisnis transportasi (vervoer – atau transportondernemer) atau juga disebut transporteur ialah pebisnis yang menerima pengangkutan namun menyerahkan pengangkutannya terhadap pihak lain.
Kebutuhan akan pebisnis-pengusaha mediator dalam soal angkutan ialah hal yang gampang dikenali karena untuk ini dibutuhkan syarat-syarat pengetahuan mengenai macam-macam alat transportasi /komunikasi di sampingnya pengetahuan adsministratif tentang pergudangan, clearance dan lain sebagainya mengingat peran tersebut merupakan tugas keutamaan. Disamping pengusaha-usahawan perantara tersebut diatas, dalam praktek terdapat pula: 
a) Perusahaan-perusahaan veem (veem-bedrijven) adalah perusahaan yang berkecimpung dalam bidang “pemuatan dan pembongkaran” (in-en uitklaren) barang-barang, penyimpanan dalam gudang dan pengantaran barang-barang yang harus dimuat dengan kapal.
b) Kargadur (cargadoor) yakni makelar kapal, tengkulak muatan dan pembongkaran kapal.
Mengenai korelasi aturan antara pihak pengirim dan pihak penerima terdapat banyak sekali jawaban hukum, antara lain balasan untuk memberikan kedudukan terhadap pihak pengantarselaku pihak yang mendapatkan perintah (lasthebber) atau kuasa aturan (zaakwaarnemer) dari pihak peserta, ada pula tanggapan untuk mempersamakan hak dari pihak penerima sebagai semacam hak dalam cessie yang dianggap berlaku secara membisu-membisu yang diterimanya dari pihak-pihak pengirim kepada pihak peserta. Sedangkan jawaban lazim yakni: Bahwa pihak akseptor adalah pihak ke 3 untuk kepentingan diadakan perjanjian atara pihak peniriman dan pihak pengngkut, sehingga dengan demikian pasal1317 KUH perdata tentang kontrakbagi kepentingan pihak ke 3 dapat dilaksanakan, sekalipun secara rill realisasinya hal ini agak “terpaksa”.
Surat transportasi ini menampung syarat-syarat pengangkutannya mirip waktu pengangkutan, perubahan dalam hal kelambatan dan lain sebagainya, ditekankan lagi disini, bahwa surat transportasi ini tidak ialah syarat mutlak bagi adanya persetujuan pengangkutan. Surat ini ditanda tangani oleh pihak pengirim (ekspeditur) dan disampaikan bersama-sama dengan barangnya dengan pihak pertama, dalam hal ini maka surat tersebut merupakan alat bukti kepada pihak pengangkut. Dalam surat tersebut diangkut mulai nama barang-barang yang diangkut, beratnya, ukurannya dan keterangan-keterangan lain yang diharapkan. Catatan-catatan yang dapat dilihat mampu dicek oleh pihak pengangkut, sedangkan tentang hal-hal yang tidak mampu dilihat, pihak pengangkut tdak mampu dipertanggung jawabkan.
C. Kedudukan Hukum Pihak Pengangkut
Sebagaimana telah dijelaskan, pertanggung jawaban pihak pengangkut dikelola dalam bab III titel 5 buku 1 pasal 91 s/d 98 KUH Dagang yang berlaku bagi tiap-tiap pengangkutan di darat namun cuma tentang pengangkutan barang serta hanya barang-barang yang sudah dipercayakan angkutannya kepada pihak pengangkut. Dalam arti pihak pengangkut dimaksudkan pihak eksplitan dari alat pengangkutan itu dan bukan mereka yang mengemudikan alat-alat pengangkutanya. Disamping itu pihak eksploitan juga bertanggung jawab terhadap bawahannya serta alat-alat materil yang dipergunakan. Untuk ini ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 1367, 1391 dan 1613 KUH perdata berlaku.
Pertanggung jawaban ini ditiadakan bila hal ini semua diakibatkan sebab kondisi barang-barang itu sendiri, misalnya yang dimuat itu ikan lembap dan dalam pengangkutannya menjadi amis atau juga disebabkan alasannya kesalahan dari pihak pengirim sendiri misalnya dalam pembungkusannya/pengepakannya yang kurang baik (pasal 91 KUH Dagang).
Adapun tentang jumlah penggantian yang harus dibayarkan oleh pihak pengangkut, ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 1246 s/d 1248 KUH Perdata dapat diperlakukan dan penggantian ini cuma mencakup kerugian-kerugian yang sungguh-sungguh diderita dengan kemungkinan disertakan laba-keuntungan yang mampu diperlukan semula. Disamping somasi penggantian yang ditimbulkan karena adanya kesepakatan pengangkutan, mampu dijalankan pula gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum menurut ketentuan dalam pasal 1365 KUH Perdata, akan tetapi gugatan atas dasar ini lebih berat alasannya adanya beban pembuktian yang harus dipenuhi oleh pihak penggugat, berlainan dengan gugatan atas dasar adanya wanprestatie di mana pihak peserta atau pihak pengirim cukup menyatakan, bahwa pihak pengangkut tidak memenuhi kewajibannya dan untuk ini beban pembuktian tidak ada pada mereka alasannya adalah hal ini menjadi beban dari pihak pengangkut.
Apabila sebabnya yakni alasannya adanya kelambatan, maka hak somasi tetap dimiliki oleh pihak penerima. Gugatan ini cuma tentang cacat atau kekurangan-kelemahan yang mampu dilihat dari luar (uiterlijk zichtbaar). Dalam hal ciri-ciri tersebut itu tidak kelihatan, tidak ada argumentasi untuk menolak dan mengeluarkan uang bagi pihak penerimanya.
D. Jenis-Jenis Pengangkutan
Dalam hal ini ada berbagai macam pengangkutan antara lain:
1. Pengangkutan melalui darat
Pengangkutan melalui darat berlaku ketentuan-ketentuan umum yang tercantum dalam KUH Dagang Bagian II Buku I titel V, sehingga ketentuan-ketentuan mengenai:
– Surat transportasi (vrachtbrief) (pasal 90 KUH Dagang)
– Kewajiban-kewajiban pihak pengangkut (pasal 91 dan 92 KUH Dagang)
– Ganti rugi (pasal 93 KUH Dagang)
– Penlakan penerimaan barang-barang (pasal 94 KUH Dagang)
– Kadaluarsa somasi (pasal 95 KUH Dagang)
– Kedudukan pengusaha kendaraan lazim (pasal 96 KUH Dagang)
Berlaku sepenuhnya bagi pengangkutan lewat darat.
Undang-undang dalam hal ini mengenal dua macam perundang-seruan adalah perundang-permintaan yang berhubungan dengan: Pertama, Lalu-lintas jalan (wegverkeer). Kedua, Lalu-lintas kereta api (spoorwegverkeer).
a. Perundang-seruan lalu-lintas jalan
Ketentuan-ketentuan organik mengenai mengenai lalu-lintas jalan tercantum dalam undang-undang lalu lintas jalan (wegverkeer ordonnantie) (S. 1933 – 86) dengan komplemen dan perubahan-perubahannya pada zaman belanda terakhir dengan S. 1940 – 72, pada zaman RI LN 1951 – 42 dengan peraturan pelaksanaanya (wegverkeers-verordening) (S. 1936 — 451) dengan embel-embel dan pergantian-perubahannya terakhir dalam PP No. 28/LN 1951 – 47.
Kini S. 1933 ­­– 86 (wegverkeerrdonnantie) tersebut diatas dengan komplemen dan pergeseran-perubahannya terakhir dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1951 (LN 1951 — 42) sudah dicabut dan sebagai gantinya berlaku Undang-Undang No. 3 tahun 1965 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya, yang berlaku semenjak tanggal 1 April 1965.
b. Perundang-ajakan kemudian-lintas kereta api
Perundang-undangan perihal kemudian-lintas kereta api bersumber pada S. 1926 – 334 jo S. 1927 – 295 (Algemene Regelen betrefende den aaleg en de ekspolitatie van spoor en tramwegan bestemd voor algemene verkeer in Ned. Indie) yang berbentuk sebuah Kninklijk Besluit (KB).
Berdasarkan perundang-undangan tersebut diatas maka peraturan-peraturan pelaksanaannya tercantum dalam:
a. S. 1928 – 200 (Vrschriften ter uitvoering van het bepaalde bij de artikelen 10 lid (1), 19 dan 30 BABS. Atau disingkat spoorwegverordening SV).
b. S. 1928 – 201 (Vrschriften ter uitvoering van het bepaalde bij de artikelen 13 lid (1), 17 en 24 der BST atau disingkat standstram wegverordening STV).
c. S. 1928 – 202 (Vrschriften ter uitvoering van het bepaalde bij de artikelen 13 en 19 der BLT atau disingkat landelijke tram wegverordening LTV).
d. S. 1928 – 203 (concessie-aanvraagverordening atau disingkat CAV).
Ordonansi peraturan pengangkutan lewat kereta api yang berisikan 176 pasal disusun dalam 3 jilid ialah:
a. Jilid I yang mengendalikan jalan kereta api klas I 
b. Jilid II yang mengatur jalan kereta api klas II
c. Jilid III yang mengatur ketentuan-ketentuan eksekusi.
Jalan-jalan kereta api klas I yakni jalan kereta api yang diperuntukan untuk dapat dilalui dengan kecepatan paling tinggi 60 km/jam, sedangkan jalan kereta api klas II hanya diperuntukan dengan kecepatan tertinggi yang secara khusus ditetapkan oleh pemerintah yang kecepatannya lebih dari 20 km/jam tetapi kurang dari 60 km/jam.
Ketentuan-ketentuan eksekusi hanya akan dilaksanakan kalau keharusan memuat , tarif dan syarat-syarat pengangkutan tidak terpenuhi.
2. Pengangkutan Melalui Udara
a. Umum
Dengan kemajuan komunikasi antar negara maka soal hubungan lewat udara menjadi sungguh meningkat yang menumbuhkan relasi aturan kemudian-lintas nasional yang berciri internasional. Berhubung dengan sumber aturan yang utama dari ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan udara ialah yang tercantum dalam kontrakyang diadakan di Warsawa pada tanggal 12 ktober 1929, yang penerapannya di Indonesia dikelola dalam Ordonnantie pengangkutan udara ( luchtvervoersordonnantie S. 1939 — 100), yang di Indonesia mulai berlaku semenjak tanggal 1 Mei 1939 (S. 1939 – 101).
b. Undang-Undang Penerbangan
Bagi perusahaan-perusahaan penerbangan rdonansi tersebut menampung banyak ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa seperti syarat-syarat pengangkutan, tarif serta ketentuan-ketentuan yang lain yang merupakan bagian dari kesepakatanpengangkutan. Pasal 2 rdonansi menyebut secara limitatif, pasal 3 dan 4 memuat ketentuan-ketentuan interpretatif tentang apa yang termasuk “pengangkutan udara”.
Adapun gejala/ bukti-bukti angkutan udara meliputi 3 macam bukti antara lain:
· Karcis bepergian (reisbiljet) untuk pengangkutan orang
· Karcis bagasi (bagagebiljet) untuk pengangkutan bagasi 
· Surat angkutan udara ( luchtvrachtbrief). 
3. Pengangkutan Melalui Laut
Perlu diperhatikan, bahwa hukum pengangkutan di bahari adalah bab atau lingkungan keperdataan dari aturan laut.disamping itu yang menjadi objek pembahasan yakni hal-hal perdata yang berafiliasi dengan pengangkutan barang atau orang melalui maritim.
Seperti persalan dagang kebanyakan maka masalah pengangkutan termasuk pengangkutan melalui laut dalam ketentuannya tidak membedakan berlakunya kepada kalangan orang Indnesia-asli di satu pihak dan kalangan rang Tionghoa, Arab dan Timur Asing di lain pihak.pasal-pasal dalam KUH Dagang tentang pengangkutan barang dan nakhoda kapal dalam S. 1933 – 49 jo. S. 1934 – 214 jo S. 1938 – 2 dinyatakan sebagian besar berlaku pula bagi golongan Indnesia-asli.
E. Tanggung Jawab Pihak Pengangkut
Mengenai tanggung jawab pihak pengangkut akan dirinci menjadi tiga bab yakni:
a. Tanggung jawab pengangkut lewat darat
Dalam pengangkutan lewat darat diperlukan dokumen ialah surat transportasi barang, selaku bukti sudah terjadi perjanjian pengangkutan antara pengangkut dengan pengirim atau pemilik barang. Bentuk tanggung jawab yang diberikan oleh pengangkut atas kerusakan atau musnahnya barang-barang yang diangkutnya yaitu berupa ganti rugi dan yang diberikan adalah berupa duit sebesar sepuluh kali ongkos kirim. Tanggung jawab pebisnis angkutan kepada barang-barang yang diangkutnya, dimulai semenjak diterimanya barang oleh pengangkut sampai barang diterima oleh pemilik di tempat tujuan. Resiko yang sering timbul dalam pelaksanaan pengangkutan barang ialah keterlambatan barang sampai di tempat tujuan tidak sesuai dengan waktu yang sudah diputuskan dan menjadikan barang tersebut menjadi rusak atau bacin.
b. Tanggung jawab pengangkut melalui laut
Yang berlaku di Indonesia ialah prinsip tanggung jawab mutlak. Perjanjian pengangkutan itu sendiri ialah komitmen antara pengangkut dan penumpang; pengangkut berkewajiban untuk memuat penumpang datang di tempat tujuan dengan selamat, sedangkan penumpang berkewajiban menunjukkan upah pengangkutan kepada pengangkut. Konsekuensi adanya kesepakatanpengangkutan ini menjadikan kewajiban bagi pengangkut untuk meraih suatu hasil, bukan hanya sekedar menyelenggarakan pengangkutan. Jika kewajiban tersebut tidak terealisasi dengan baik, pengangkut dinyatakan melakukan wanprestasi (Pasal 1243 KUHPer). Bukti adanya perjanjian pengangkutan yakni karcis penumpang (Pasal 85 Ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran). Merupakan kewajiban pengangkut untuk mengasuransikan tanggung jawabnya itu, jikalau tidak mengasuransikannya, pengangkut akan dipidana dengan pidana kurungan paling usang tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 6.000.000,- (Pasal 86 Ayat (3) juncto Pasal 124 Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran). kitab undang-undang hukum pidana secara tegas melarang pengangkut untuk tidak bertanggung jawab sama sekali atau terbatas untuk segala kerugian yang disebabkan oleh alat pengangkutannya, laik bahari kapal, dan tidak cukupnya pengawasan dalam kapal. Penumpang yang akan menggunakan jasa pelayaran PT PELNI dibebani kewajiban untuk mengeluarkan uang iuran wajib dan premi asuransi suplemen, setiap kali membeli karcis kapal bahari. Kewajiban penumpang untuk membayar sendiri asuransinya tersebut dikelola dalam Pasal 3 Ayat (l) Undang-Undang No. 33 Tabun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan. Itu sebabnya PT PELNI tidak memperlihatkan ganti kerugian kepada penumpang yang mengalami musibah kapal, kecuali untuk musibah kapal yang dinyatakan sebagai petaka nasional (misalnya tenggelamnya Kapal Tampomas II). Ganti kerugian yang diberikan oleh pihak asuransi (PT Jasa Raharja, PT Jasaraharja Putera dan PT Arthanugraha) dalam hal terjadinya kecelakaan kapal maritim, yakni untuk akhir hayat, cacat tetap, ongkos rawatan, dan biaya penguburan.
c. Tanggung jawab pengangkut melalui udara
Apabila penerbang tidak melakukan hal-hal untuk menghindari kecelakaan, maka pengangkut tidak dapat dibebaskan dari pertanggung jawab atau kerugian-kerugian yang disebabkan kecelakaan tersebut.
Apabila tidak terbukti adanya kesengajaan atau pun kelalaian yang dinamakan kesalahan besar yang berangasan (grove schuld), maka pengangkut masih dapat dikenakan pembatasan tanggung jawab atas kerugian tersebut sebagaimana berdasarkan pasal 30 ordonansi pengangkutan udara.
Tanggung jawab pengangkut udara dikontrol dalam beberapa pasal di Ordonansi Pesawat Udara (Stbl. 1939 No. 100) ialah pada Pasal 24 ayat 1, Pasal 25 ayat 1 serta Pasal 28 Ordonansi Pesawat Udara. Selain dalam Ordonansi Pesawat Udara, pengaturan wacana tanggung jawab pengangkut dikontrol pula dalam Pasal 43 Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 wacana Penerbangan sebagai pengganti Undang-Undang No. 83 Tahun 1958 wacana Penerbangan. Dalam Pasal 74 butir a Undang-Undang Penerbangan ini disebutkan bahwa Ordonansi Pengangkutan Udara dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 ini atau belum diganti dengan Undang-Undang yang gres. Ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara juga dikontrol lebih lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 perihal Angkutan Udara. Salah satu maskapai penerbangan yang tetap bertahan semenjak permulaan munculnya usaha penerbangan di Indonesia hingga sekarang adalah Garuda Indonesia.
Konsep tanggung jawab transportasi udara ada beberapa bagian antara lain:
a. Based on Fault Liability (Tanggungjawab hukum atas dasar kesalahan), kalau penumpang ingin tuntun, maka harus buktikan bahwa pengangkut bersalah dengan mencari bukti 
dalam pasal 1365 KUHper diketahui selaku tindakan melawan aturan 
b. Presumption of Liability (Tanggungjawab hukum atas dasar dugaan bersalah), dianggap bersalah pengangkutnya semenjak permulaan, tetapi jikalau bisa membuktikan dirinya tidak bersalah maka beliau bebas.
c. Absolute/Strict Liability (Tanggungjawab aturan tanpa bersalah), harus tanggung jawab segala kerugian tanpa pembuktian.
IV. KESIMPULAN
Sebagaimana telah diterangkan diatas bahwasannya didalam aturan transportasi itu memiliki hukum-aturan tertentu yang dibebankan pada pelaku aturan semoga semoga didalam berjalannya aturan itu terjadi kertiban, utamanya dalam persoalan hukum pengangkutan baik lewat darat, bahari maupun udara.
Dalam pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan beberapa bab antara lain mengenai:
1. Pengertian Hukum Transportasi
Masalah aturan pengangkutan yaitu bagian dari persoalan hukum lalu-lintas yang lebih mempunyai sisi pemerintahan, sehingga tidak mengherankan bahwa di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa(dwinged recht).
2. Beberapa ketentuan umum perihal pengangkutan
Ketentuan-ketentuan lazim tentang pengangkutan dalam KUH Dagang dapat ditemui dalam: 
a. Bagian III titel 5 buku I pasal 91 hingga dengan 98 tentang petugas pengangkut serta juragan kapan yang berlayar di sungai-sungai dan perairan kedalam.
b. Bagian II titel 5 buku I pasal 86 hingga dengan 90 perihal kedudukan para “ekspeditur” selaku usahawan perantara.
3. Kedudukan Hukum Pihak Pengangkut
Sebagaimana sudah dijelaskan, pertanggung jawaban pihak pengangkut dikelola dalam bab III titel 5 buku 1 pasal 91 s/d 98 KUH Dagang yang berlaku bagi tiap-tiap pengangkutan di darat namun hanya perihal pengangkutan barang serta hanya barang-barang yang sudah dipercayakan angkutannya terhadap pihak pengangkut.
4. Jenis-jenis pengangkutan
Jenis-jenis pengangkutan ini terbagi menjadi tiga bagian adalah: pengangkutan lewat darat, bahari dan udara
5. Tanggung jawab pihak pengangkut
Bentuk tanggung jawab yang diberikan oleh pengangkut atas kerusakan atau musnahnya barang-barang yang diangkutnya ialah berupa ganti rugi dan yang diberikan yakni berupa duit sebesar sepuluh kali biaya kirim. Tanggung jawab pebisnis angkutan kepada barang-barang yang diangkutnya, dimulai sejak diterimanya barang oleh pengangkut sampai barang diterima oleh pemilik di kawasan tujuan.
V. PENUTUP
Demikian makalah wacana aturan transportasi, masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini baik dalam isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, usulan dan kritik yang bersifat membangun sangat diperlukan demi penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini berguna khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ichsan, Achmad, Hukum Dagang, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993
Ali, Chidir, Yurisprudensi Hukum Dagang, Bandung: Penerbit Alumni, 1982