Ngapati atau Ngupati adalah upacara syukuran dikala kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan mitoni atau tingkepan (melet kandung) yaitu upacara selamatan dikala kandungan berusia 7 bulan. Upacara selamatan tersebut dijalankan dengan tujuan supaya janin yang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam kondisi sehat, wal afiyat serta menjadi anak yang saleh. Penentuan bulan keempat tersebut, mengingat pada ketika itu ialah waktu ditiupnya ruh oleh Malaikat kepada si janin di dalam kandungan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih. Sedangkan penetapan bulan ketujuh sebagai selamatan kedua, karena pada periode tersebut si janin telah memasuki periode-abad siap untuk dilahirkan. Dalam al-Qur’an al-Karim difirmakan:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah Yang membuat kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, supaya dia merasa senang kepadanya. Maka sesudah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah ia merasa ringan (sementara waktu). Kemudian tatkala ia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon terhadap Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jikalau Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami tergolong orang-orang yang bersyukur”. (QS al-A’raf : 189).
Dalam ayat di atas, diisyaratkan ihwal pentingnya berdoa dikala janin telah memasuki kurun-abad memberatkan terhadap seorang ibu.
Al-Qur’an al-Karim merekomendasikan kita semoga selalu mendoakan anak cucu kita, kendatipun mereka belum lahir. Dalam al-Qur’an dikisahkan perihal Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang mendoakan anak cucunya yang masih belum lahir:
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ. (البقرة: ١٢٨)
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh terhadap Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS. al-Baqarah : 128).
Al-Qur’an juga merekomendasikan kita supaya senantiasa berdoa:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا. (الفرقان: ٧٤)
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami selaku penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqan : 74).
Di segi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mendoakan janin sebagian teman ia. Sebagaimana diriwayatkan dalam suatu hadits shahih berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ ابْنٌ لِأَبِي طَلْحَةَ يَشْتَكِي فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ فَقُبِضَ الصَّبِيُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ مَا فَعَلَ ابْنِي قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ هُوَ أَسْكَنُ مَا كَانَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ فَتَعَشَّى ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ وَارُوا الصَّبِيَّ فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ أَعْرَسْتُمْ اللَّيْلَةَ قَالَ نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا فَوَلَدَتْ غُلَامًا. (رواه البخاري ومسلم)
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Abu Tholhah mempunyai seorang anak pria yang sedang sakit. Kemudian beliau pergi meninggalkan keluarganya. Kemudian anak kecil itu meninggal dunia. Setelah Abu Tholhah pulang, dia mengajukan pertanyaan kepada isterinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana kondisi anak kita?” Ummu Sulaim menjawab, “Dia kini dalam kondisi hening sekali.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan masakan malam, sehingga Abu Tholhah pun makan malam. Selesai makan malam, keduanya melakukan kekerabatan layaknya suami isteri. Setelah tamat, Ummu Sulaim memerintahkan orang-orang biar mengubur anak laki-lakinya itu. Pagi harinya, Abu Tholhah mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan insiden malam harinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajukan pertanyaan, “Tadi malam kalian tidur bareng ?” Abu Tholhah menjawab, “Ya.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, berkahilah keduanya.” Lalu Ummu Sulaim melahirkan anak laki-laki.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Di sisi lain, saat seseorang di antara kita memiliki bayi dalam kandungan, tentu kita mendambakan biar buah hati kita lahir ke dunia dalam keadaan tepat, selamat, sehat wal afiyat dan menjadi anak yang saleh sesuai dengan cita-cita keluarga dan agama. Para ulama merekomendasikan biar kita selalu beramal saat mempunyai hajat yang kita inginkan tercapai. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi –seorang ulama andal hadits dan fiqih madzhab al-Syafi’i-, berkata:
يُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِشَيْءٍ أَمَامَ الْحَاجَاتِ مُطْلَقًا. (المجموع شرح المهذب ٤/٢٦٩). وَقَالَ أَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّ اْلإِكْثَارُ مِنَ الصَّدَقَةِ عِنْدَ اْلأُمُوْرِ الْمُهِمَّةِ. (المجموع شرح المهذب ٦/٢٣٣).
“Disunnahkan berinfak sekedarnya ketika mempunyai hajat apapun. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 269). Para ulama kami berkata, “Disunnahkan memperbanyak sedekah saat menghadapi persoalan-problem yang penting.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal. 233).
Bersedekah pada abad-era kehamilan, juga dilaksanakan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab al-Hanbali, yang diikuti oleh Syaikh Ibn Taimiyah dan menjadi madzhab resmi kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali menyampaikan dalam kitabnya, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, riwayat berikut ini:
“Imam al-Khallal berkata, “Kami menerima kabar dari Muhammad bin Ali bin Bahar, berkata, “Aku mendengar Husnu, Ibu yang melahirkan bawah umur al-Imam Ahmad bin Hanbal, berkata, “Aku berkata terhadap tuanku (Ahmad bin Hanbal), “Tuanku, bagaimana jika gelang kaki satu-satunya milikku ini aku sedekahkan?” Ahmad menjawab, “Kamu rela melepasnya?” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad berkata, “Segala puji bagi Allah yang sudah memberimu tunjangan untuk melakukannya.” Husnu berkata, “Lalu gelang kaki itu aku serahkan kepada Abu al-Hasan bin Shalih dan dijualnya seharga 8 dinar setengah. Lalu uang itu ia bagi-bagikan terhadap orang-orang pada dikala kehamilanku. Setelah saya melahirkan Hasan, tuanku memberi hadiah uang 1 Dirham kepada Karramah, wanita bau tanah yang menjadi pelayan kami.” (al-Imam Ibn al-Jauzi, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 406-407).
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa upacara syukuran pada kurun-kurun kehamilan mirip ngapati dikala kandungan berusia 4 bulan atau tingkepan ketika kandungan berusia 7 bulan, tidak dilarang oleh agama, bahkan substansinya dianjurkan dan pernah dikerjakan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi kaum Wahhabi di Saudi Arabia.
Tanggapan Terhadap Wahabi
Sekitar satu minggu yang lalu, saat penulis mengisi acara di Harlah NU ke 90 di Kota Manado, Sulawesi Utara, ada seorang sobat, dari Jakarta, meminta penulis menunjukkan balasan kepada goresan pena seorang Wahabi yang melarang program syukuran 4 dan 7 bulanan kehamilan. Berikut balasan kami.
Wahabi: Tradisi 4 bulan, 7 bulan dan semisalnya saat seorang istri sdg hamil yg lazimdijalankan oleh sbgn kaum muslimin yakni bukan termasuk ajaran Islam. Maka kita wajib meninggalkannya alasannya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku imam dan panutan kita yg terbaik dan paling tepat tidak pernah melaksanakan tradisi mirip itu dikala istri beliau Khodijah radhiyallahu ‘anha hamil 4 bulan atau 7 bulan sebanyak 7 kali kehamilan.
Sunni: Pernyataan tersebut jelas keliru. Berikut balasan kami:
1) Tradisi yang tidak dihentikan di dalam agama diakui di dalam al-Qur’an selaku bagian dari anutan agama. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف: 199)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang ndeso.”. (QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas Allah menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam supaya menyuruh umatnya menjalankan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas ialah tradisi yang baik. Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani, seorang ulama Ahlussunnah terkemuka berkata:
والعرف ما يعرفه الناس ويتعارفونه فيما بينهم
Makna ‘uruf dalam ayat di atas yaitu sesuatu yang dikenal oleh insan dan mereka jadikan tradisi di antara mereka. (Qawathi’ al-Adillah, juz 1 hlm 29, Daral-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999).
Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:
وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْفُ
“Yang kongkret, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, adalah tradisi baik yang sudah diketahui penduduk .” (Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2/836).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا. رواه البخاري
“Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, mereka (kaum Musyrik) tidaklah meminta sebuah kebiasaan (budbahasa), dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku kabulkan permintaan mereka.” (HR. al-Bukhari [2581]).
Dalam riwayat lain disebutkan:
أَمَّا وَاللهِ لاَ يَدْعُونِي الْيَوْمَ إِلَى خُطَّةٍ ، يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرْمَةً ، وَلاَ يَدْعُونِي فِيهَا إِلَى صِلَةٍ إِلاَّ أَجَبْتُهُمْ إِلَيْهَا. رواه ابن أبي شيبة
“Ingatlah, demi Allah, mereka (orang-orang musyrik) tidak mengajakku pada hari ini terhadap sebuah kebiasaan, dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, dan tidak mengajukku sebuah kekerabatan, kecuali saya kabulkan permintaan mereka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, [36855]).
Hadits di atas memperlihatkan penegasan, bahwa Islam akan selalu mendapatkan undangan kaum Musrik pada sebuah tradisi yang membawa pada pengagungan hak-hak Allah dan ikatan silaturrahmi. Hal ini menerangkan bahwa Islam tidak anti tradisi.”
Perhatian Islam kepada tradisi juga ditegaskan oleh para sobat, antara lain Abdullah bin Mas’ud yang berkata:
قال عبد الله بن مسعود : مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ. رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم
“Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula berdasarkan Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”
2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melarang syukuran dan doa bersama 4 dan 7 bulanan kehamilan. Sehingga melarang tradisi yang tidak dihentikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan suatu kesalahan dan termasuk bid’ah dholalah.
Wahabi: Adapun amalan-amalan yg seharusnya dijalankan oleh perempuan yg sdg hamil adalah sbgmn amalan para perempuan muslimah pada umumnya, baik ketika hamil ataupun tidak hamil, yakni:
»3. Memperbanyak dzikirullah dan amalan2 sunnah spt baca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, takbir, istighfar, sholat sunnah, dsb.
»4. Bersyukur kpd Allah atas nikmat-Nya yg dianugerahkan kpdanya berbentukkehamilan anak yg akan menjadik keturunannya yg sholih n sholihah, in syaa Allah, yaitu dgn melakukan perintah2Nya dan menjauhi larangan2Nya.
»5. Memperbanyak doa kpd Allah semoga diberi kesehatan, kekuatan n akomodasi dan keselamatan selama hamil sampai proses melahirkan kandungannya.
Sunni: Anjuran melaksanakan kebajikan mirip beribadah dan bersedekah bagi seorang yang hamil dan tidak hamil, memang benar. Baik kebajikan tersebut dijalankan secara terus menerus, maupun dikerjakan dalam waktu tertentu mirip dikala pada masa 4 dan 7 bulanan. Demikian ini didasarkan pada dalil berikut ini:
1) Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري
“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berlangsung kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar juga senantiasa melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]).
Hadits di atas menjadi dalil bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu secara berkala untuk melaksanakan ibadah dan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan hari Sabtu sebagai hari kunjungan ia ke Masjid Quba’. Beliau melakukan hal tersebut, bukan karena hari Sabtu mempunyai keutamaan tertentu dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Berarti memutuskan waktu tertentu untuk kebaikan, hukumnya boleh menurut hadits tersebut. Karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
وَفِيْ هَذَا الْحَدِيْثِ عَلىَ اخْتِلاَفِ طُرُقِهِ دَلاَلَةٌ عَلىَ جَوَازِ تَخْصِيْصِ بَعْضِ اْلأَيَّامِ بِبَعْضِ اْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلىَ ذَلِكَ
“Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, mengandung dalil bolehnya memilih sebagian hari, dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara berkala .” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 69).
2) Hadits Sayidina Bilal radhiyallahu ‘anhu
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَلٍ: «بِمَ سَبَقْتَنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِيْ حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «بِهِمَا» أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ». رواه البخاري ومسلم.
“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya terhadap Bilal saat shalat fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau inginkan pahalanya dalam Islam, sebab aku sudah mendengar suara kedua sandalmu di nirwana?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling saya harapkan pahalanya yaitu saya belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang saya pastikan waktunya.” Dalam riwayat lain, ia SAW berkata terhadap Bilal: “Dengan apa kau mendahuluiku ke surga?” Ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali saya berwudhu setelahnya dan mesti aku lanjutkan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kau meraih derajat itu”.(HR. al-Bukhari (1149), Muslim (6274)).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap simpulan berwudhu atau setiap simpulan adzan, akan namun Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa disarankan dan tanpa bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira ihwal derajatnya di nirwana, sehingga shalat dua rakaat setiap tamat wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat. Dengan demikian, bermakna menetapkan waktu ibadah berdasarkan ijtihad hukumnya boleh. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata ketika mengomentari hadits tersebut:
وَيُسْتَفَادُ مِنْهُ جَوَازُ اْلاِجْتِهَادِ فِيْ تَوْقِيْتِ الْعِبَادَةِ لأَنَّ بِلاَلاً تَوَصَّلَ إِلىَ مَا ذَكَرْنَا بِاْلاِسْتِنْبَاطِ فَصَوَّبَهُ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dari hadits tersebut mampu diambil faedah, bolehnya berijtihad dalam menetapkan waktu ibadah. Karena sobat Bilal mencapai derajat yang sudah disebutkan menurut istinbath (ijtihad), kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 34).
3) Hadits Ziarah Tahunan
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عَلىَ رَأْسِ كُلِّ حَوْلٍ فَيَقُوْلُ:”اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ”، وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ. (رواه ابن جرير في تفسيره).
“Muhammad bin Ibrahim berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengunjungi makam para syuhada’ setiap tahun, lalu berkata: “Salam sejahtera agar buat kalian sebab keteguhan kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” Hal ini juga dikerjakan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. (HR. al-Thabari dalam Tafsir-nya [20345], dan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya juz 4 hlm 453).
Hadits di atas juga disebutkan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur hlm 185, dan ditentukan bahwa makam Syuhada yang diziarahi setiap tahun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Syuhada pertempuran Uhud. Hadits ini dapat dijadikan dalil, tentang tradisi haul kematian setiap tahun.
4) Atsar Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ كَانَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُوْرُ قَبْرَ حَمْزَةَ كُلَّ جُمْعَةٍ. (رواه عبد الرزاق في المصنف).
“Muhammad bin Ali berkata: “Fathimah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam Hamzah saban hari Jum’at.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [6713]).
عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ : أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَزُوْرُ قَبْرَ عَمِّهَا حَمْزَةَ كُلَّ جُمْعَةٍ فَتُصَلِّي وَتَبْكِيْ عِنْدَهُ رواه الحاكم والبيهقي قال الحاكم هذا الحديث رواته عن آخرهم ثقات.
“Al-Husain bin Ali berkata: “Fathimah putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam pamannya, Hamzah saban hari Jum’at, kemudian berdoa dan menangis di sampingnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [4319], al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [7000]. Al-Hakim berkata: “Semua perawi hadits tersebut diandalkan”.).
5) Atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ حَدِّثْ النَّاسَ كُلَّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ أَبَيْتَ فَمَرَّتَيْنِ فَإِنْ أَكْثَرْتَ فَثَلاَثَ مِرَارٍ وَلا تُمِلَّ النَّاسَ هَذَا الْقُرْآنَ. رواه البخاري.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sampaikanlah hadits terhadap manusia setiap Jum’at sekali. Jika kamu tidak mau, maka lakukan dua kali. Jika masih kurang banyak, maka tiga kali. Jangan kau buat orang-orang itu jenuh terhadap al-Qur’an ini. (HR. al-Bukhari [6337]).
6) Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
عَنْ شَقِيقٍ أَبِى وَائِلٍ قَالَ كَانَ عَبْدُ اللهِ يُذَكِّرُنَا كُلَّ يَوْمِ خَمِيسٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّا نُحِبُّ حَدِيثَكَ وَنَشْتَهِيهِ وَلَوَدِدْنَا أَنَّكَ حَدَّثْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ. فَقَالَ مَا يَمْنَعُنِى أَنْ أُحَدِّثَكُمْ إِلاَّ كَرَاهِيَةُ أَنْ أُمِلَّكُمْ. إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِى الأَيَّامِ كَرَاهِيَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا. رواه البخاري ومسلم
“Syaqiq Abu Wail berkata: “Abdullah bin Mas’ud memperlihatkan ceramah kepada kami setiap hari Kamis. Lalu seorang pria berkata terhadap beliau: “Wahai Abu Abdirrahman, sebetulnya kami senang dengan pembicaraanmu dan selalu menginginkannya. Alangkah senangnya kami kalau engkau mengatakan terhadap kami setiap hari.” Ibnu Mas’ud menjawab: “Tidaklah mencegahku untuk berbicara terhadap kalian, kecuali alasannya adalah takut menciptakan kalian bosa. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperlihatkan nasehat terhadap kami dalam hari-hari tertentu, khawatir menciptakan kami jenuh.” (HR. al-Bukhari [70], dan Muslim [7305]).
Hadits-hadits di atas dapat dijadikan dalil bagi penentuan periode 4 dan 7 bulanan selamatan kehamilan, pasti bagi orang yang mau memakai akalnya dan memahami al-Qur’an dan hadits dengan mengikuti para ulama yang diakui keilmuannya.
Wahabi: Tidak Ada Amalan Khusus Yg Disyari’atkan dlm agama Islam ketika seorang Wanita Muslimah HamiL.
Sunni: Ada isyarat amalan meminta doa terhadap orang lain dan berdoa sendiri dalam dalil-dalil di atas. Tentu berdoa akan lebih cantik jika disertai sedekah dan doa bareng , bukankah begitu?” Wallahu a’lam.