Hukum Mewakilkan Haji dan Umrah

Haji, dengan-cara harfiah bermakna sengaja melakukan sesuatu. Secara ungkapan bermakna sengaja datang ke Mekah, mendatangi Ka’bah & kawasan-kawasan lain untuk melaksanakan serangkaian ibadah tertentu mirip wukuf, tawaf, sa’i, & amalan lain pada masa tertentu & dgn syarat yg sudah ditatapkan. Haji termasuk rukun Islam (kelima) yg wajib dikerjakan kaum muslim apabila bisa (fisik & materi).

Sementara umrah, tak jauh beda dgn haji. Secara harfiah berarti ziarah. Secara istilah berarti menziarahi Ka’bah untuk melaksanakan rangkaian ibadah tertentu, seperti tawaf & sa’i dgn syarat-syarat yg sudah diputuskan & waktunya tak diputuskan. Hanya saja ada waktu-waktu yg dimakruhkan, mirip hari Arafah, hari Nahar, & hari Tasyrik.

Haji & umrah yaitu di antara ibadah fisik yg boleh diwakilkan. Siapa yg tak mampu haji atau umrah karena uzur, mirip karena usia lanjut atau sakit yg tak bisa diharap kesembuhannya, ia boleh mengutus pada orang yg memenuhi syarat.

Laki-laki boleh mengambil alih haji untuk wanita, perempuan pun boleh mengambil alih haji untuk pria. Ini sebagaimana hadits Al-Khats’amiyyah yg mengajukan pertanyaan pada Rasulullah SAW.

“Sesungguhnya, ayahku sudah bau tanah untuk melaksanakan haji, ia tak mampu menempuh perjalanannya. Apakah gue boleh menghajikannya?” Rasulullah menjawab, ”Hajikanlah untuknya.”‘ (HR. Bukhari)

Orang yg hendak menghajikan orang lain, ia disyaratkan sudah pemah haji untuk dirinya sendiri, sebagaimana hadits Rasulullah SAW.

”Hajilah apalagi dulu untukmu kemudian hajikanah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Dawud & disahihkan oleh Albani)

Siapa yg meninggal sebelum melaksanakan haji maka kerabatnya boleh menghajikannya. Jika tidak, ambillah dr harta peninggalannya sebelum pembagian waris, sesuai biaya orang naik haji pada masa itu. Sebab haji tergolong utang & selaku hak-hak yg berhubungan dgn harta benda peninggalannya.

  Inilah 9 Keutamaan Amar Makruf Nahi Munkar (Bagian 3)

Wallahua’lam [@paramuda/Wargamasyarakat]