Hukum Lingkungan Keperdataan

A. Pengertian Hukum Lingkungan Keperdataan

Hukum Lingkungan secara susbtansial menampung ketentuan yang berhubungan dengan pemenuhan hak-hak keperdataan seseorang, kalangan orang dan tubuh aturan perdata dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang bagus dan sehat.

Jika hak-hak keperdataan ini dirugikan oleh salah satu pihak, misalnya alasannya terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan, maka dalam upaya pinjaman hukumnya digunakan sarana hukum lingkungan keperdataan. Hal ini diberikan dengan cara memberikan hak terhadap penggugat untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atau tindakan pemulihan lingkungan kepada pencemar.

B. Tanggung Gugat Lingkungan dan Beban Pembuktian

Tanggung gugat lingkungan mengandung arti bahwa seseorang atau badan hukum perdata wajib bertangung gugat untuk mengeluarkan uang ganti rugi atau melaksanakan langkah-langkah tertentu balasan perbuatan dan kerugian yang mereka kerjakan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bahu-membahu. Untuk itu dalam desain tanggung gugat lingkungan selalu dikaitkan dengan beban pembuktian.

Tanggung gugat digunakana oleh pakar hukum perdata dalam menerjemahkan liability untuk membedakannya dari pengertian responsibility yang lebih dikenal dalam hukum pidana dengan istilah “tanggung jawab”.

Ada berbagai jenis konsep tanggung gugat yang diketahui dalam hukum perdata, baik dalam sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) maupun Sistem Anglo Saxon (common law system). Berikut ini beberapa macam rancangan tanggung gugat yang dimaksud.

1. Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan (Liability based on Fault / Schuld Aansprakelijkheid Tort Liability )

Dalam hukum perdata konsep ini tertuang dalam 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan aturan, ketentuan ini kemudian diadopsi dalam Pasal 87 (1) UU PPLH 2009. Dalam desain ini Tanggung gugat yang didasarkan atas kesalahan (act or omission) yang menimbulkan terjadinya risiko bagi pihak lain, beban pembuktian ada pada penggugat.

Kelemahan dalam desain ini yakni sulitnya membuktikan unsur perbuatan melawan hukum tersebut, khususnya kesalahan dan kekerabatan kausal antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan, apalagi beban pembuktian ada pada pihak korban/penggugat. Oleh alasannya adalah itu, somasi ganti rugi dengan dasar perbuatan melawan hukum berupa pencemaran atau perusakan lingkungan yg dikelola dalam Pasal 87 (1) UU PPLH 2009 jo. 1365 KUHPerdata condong gagal di pengadilan.

2. Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan dengan Beban Pembuktian Terbalik (Liability based on Burden-Shifting Doctrine)

Konsep tanggung gugat ini tergolong tanggung gugat yang dipertajam, adalah dengan membalikkan keharusan beban pembuktian. Penggugat tidak perlu menerangkan kesalahan tergugat, tetapi sebaliknya tergugat yang harus membuktikan bahwa dia cukup berusaha untuk berhati-hati, sehingga dia tidak mampu dipersalahkan.

Konsep ini tertuang dalam Pasal 1367 KUHPerdata ayat (2) jo. Ayat (5) tentang tanggung gugat orang renta dan wali, dan Pasal 1368 KUHPerdata wacana tanggung gugat pemilik binatang. Konsep ini tidak dikelola dalam UU PPLH 2009.

3. Tanggung Gugat Mutlak (Strict Liability)

Strict Liability mengandung makna bahwa tanggung gugat muncul saat itu juga pada ketika terjadinya tindakan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat. Namun demikian tidak semua acara mampu diterapkan dengan asas ini, melainkan diperuntukkan bagi perkara-perkara tertentu yang besar dan membahayakan lingkungan.

Pengaturan Strict Liability dalam undang-undang lingkungan sudah ada seja UULH 1982 (Pasal 21) , Pasal 35 UUPLH 1997, dan terakhir pada Pasal 88 UUPPLH 2009 yang memilih :

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menciptakan dan/atau mengurus limbah B3, dan/atau yang menyebabkan ancaman serius kepada lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian bagian kesalahan”

Lebih jauh lagi penjelasan pasal di atas menyatakan Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability ialah unsur kesalahan tidak butuhdibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam somasi perihal tindakan melanggar hukum kebanyakan. Besarnya nilai ganti rugi yang mampu dibeb ankanterhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup berdasarkan Pasal ini mampu ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai deadline tertentu” ialah kalau menurut penetapan peraturan perundang- permintaan diputuskan kewajiban asuransi bagi perjuangan dan/atau aktivitas yang bersangkutan atau sudah tersedia dana lingkungan hidup.

  Karakteristik Sosial Budaya, Orang Batak Dan Tionghoa

Kata-kata sampai “batas tertentu” di atas diberikan pementingan alasannya adalah disitulah abjad strict liability yang terbatas pada batas tertentu. Hal ini berbeda degan absolute liability dengan jumlah yang tidak terbatas atau sarat

Kaprikornus jelaslah bahwa konsep ini dipraktekkan secara terbatas pada perkara tertentu yang berbahaya seperti pencemaran minyak di laut, dan/atau perusakan sumber daya alam di wilayah ZEE Indonesia (UU ZEE) dan mirip yang ada dalam Pasal 88 UUPPLH 2009 perihal pencemaran dan perusakan yang memakai B3.

4. Tanggung Gugat Bersama

Konsep ini diterapkan dalam hal tergugat berisikan beberapa orang atau badan aturan dan penggugat tidak mampu secara spesifik menunjuk pelaku pencemaran dari sekian banyak perusahaan yang potensial menjadi penyebab pencemaran-pencemaran lingkungan. Dalam UUPPLH 2009 tidak didapatkan pengaturan tanggung gugat bareng , namun ada dalam Pasal 30 (1) UU No. 10/1997 wacana Ketanaganukrilan.

5. Tanggung Gugat Beradasarkan Andilnya dalam Pencemaran

Dalam masalah-kasus yang merepotkan mengungkapkan kekerabatan kausal prinsip-prinsip kasualitas dan tangggung gugat tradisional dari tindakan melanngar aturan mulai ditinggalkan dan timbullah teori market share liability atau tanggung gugat berdasarkan andil di pasar. Beberapa pakar di Belanda dan di Amerika Serikat berpendapat bahwa desain ini dapat digunakan pada perkara-kasus lingkungan. Konsep ini mengendorkan beban pembuktian bagi korban yang tidak mungkin memperlihatkan kekerabatan kausal antara kerugiannya dengan si pembuat kerugian tersebut. Terutama dalam insiden kerugian lingkungan, yang sering tidak dapat ditunjukkan dengan niscaya seorang pelaku. Dalam rancangan ini didampingi dengan proses beban pembuktian terbalik.

C. Ganti Rugi, Tindakan Tertentu & Uang Paksa

Menurut Pasal 87 (1) UUPPLH 2009 ada dua jenis ganti rugi, ialah (1) ganti rugi kepada orang yang menderita balasan kerusakan atau pencemaran lingkungan (2) ganti rugi terhadap lingkungan hidup itu sendiri. Selain kewajiban mengeluarkan uang ganti rugi, dapat pula dikenakan langkah-langkah aturan tertentu untuk :

  1. memasang atau memperbaiki unit pembuatan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
  2. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau
  3. menetralisir atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Dalam kaitan dengan pembebanan untuk melakukan langkah-langkah aturan tertentu, dalam Pasal 87 (3) dan (4) UU PPLH 2009 diputuskan bahwa pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap saban hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. Besarnya uang paksa diputuskan menurut peraturan perundang-usul lewat pengadilan.

Dalam UU PPLH 2009 tidak dinyatakan bagaimana bentuk, jenis, dan besarnya ganti rugi yang mampu digugat. Untuk itu selaku perbandingan berdasarkan Yurisprudensi di Jepang bahwa santunan terhadap korban pencemaran tidak hanya terbatas pada biaya perawatan medic, melainkan mencakup rasa sakit atau cacat. Bahkan berdasarkan yurisprudensi perkara nigata dan komoto, ganti kerugian yang mampu dituntut berupa hilangnya kesempatan untuk menikah, hilangnya mata pencaharian, dan terhaap keluarga yang ditinggal oleh penderita yang meninggaldunia mampu dituntut pemberian kelemahan pada anak yang masih ditanggung, suami/istri, orang renta dan anak yang belum sampaumur, pertolongan anak, perempuan hamil yang terganggu kandungannnya dan sebagainya.

D. Gugatan Kelompok (Class Action)

Dalam aturan lingkungan keperdataan tidak senantiasa terdapat sengketa lingkungan antar individu, tetapi juga atas nama golongan penduduk dengan kepentingan yang serupa lewat gugatan golongan. Class Action pada intinya yaitu gugatan perdata (lazimnya terkait dengan seruan ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau dua orang saja) selaku perwakilan kelas (Class Representative) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau tibuan orang yang lain yang juga sebagai korban. Orang-orang yang diwakili ini disebut dengan Class Members.

Gugatan Class Action ini terdapat dalam UU PPLH 2009, UU Perlindungan Konsumen, UU Kehutanan dan tersumbernya dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam Pasal 1 huruf a ditentukan bahwa :

  PenjualTanah Abang, Ngampus Di Luar Negeri

“Gugatan Perwakilan Kelompok (class action), ialah sistem pengajuan somasi, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili golongan mengajukan somasi untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mempunyai kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud”

Model gugatan ini sudah usang digunakan di negara-negara dengan sistem Anglo Saxon, adalah dimulai pada 1873 di Inggris dengan diundangkannya Supreme Court of Judicature Act, dan prosedur gugatannya secara komphensif dirumuskan dalam sebuah undang-undang di Amerika Serikat lewat US Federal Rule of Civil Procedure yaitu pada tahun 1938. Dengan demikian Class Action bukanlah sesuatu yang baru, hanya saja penerapannya dalam kasus lingkungan yang agak gres.

Gugatan Class Action memopunyai manfaat yang cukup besar dikala pengadilan harus menghadapi penggugat dengan jumlah yang cukup besar, sementara memiliki kepentingan yang sama. Misalnya dalam masalah Lapindo, jumlah korban yang sangat banyak, sehingga tidaklah mudah jikalau somasi diajukan satu per satu atau sekaligus dalam somasi.

Suatu gugatan class action tidak sama dengan hak gugat organisasi lingkungan (legal standing organisasi lingkungan) alasannya konsep penerapan class action lebih banyak meningkat di negara-negara penganut metode anglo-saxon, maka di Indonesia class action merupakan rancangan yang sangat baru dan belum banyak diketahui oleh para penegak hukum maupun praktisi hukum publik di negara ini, dan oleh akibatnya tak sedikit pemahaman class action diaduk dengan rancangan hak gugat oraganisasi lingkungan.

Gugatan Class Action dalam Lingkungan Hidup belum menerima pengaturan dalam UULH 1982, mekanisme ini baru dikelola dalam UU PLH 1997 dan lalu UU PPLH 2009 pada Pasal 91 yang memilih :

(1) Masyarakat berhak mengajukan somasi perwakilan golongan untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan penduduk apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Gugatan dapat diajukan bila terdapat kesamaan fakta atau insiden, dasar hukum, serta jenis permintaan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

(3) Ketentuan perihal hak gugat masyarakat dikerjakan sesuai dengan peraturan perundang-ajakan

Gugatan Class Action dalam masalah lingkungan antara lain sudah diterapkan dalam perkara pencemaran Way Seputih Lampung Tengah pada tahun 1999, yaitu antara Lukman dkk yang mewakili 1.145 KK Nelayan vs PT. Ve Wong dan PT. Sinar Bambu Mas. Meskipun pada hasilnya Pengadilan Negeri setempat dalam putusannya menyatakan “gugatan tidak dapat diterima” dengan alas an Pemda Lampung Tengah tidak dijadikan tergugat, tetapi hakim dalam usulanhukumnya telah mengakui eksistensi gugatan (Class Action).

Dalam proses pengajuan somasi class action tidak selamanya masalah yang ditangani mampu selesaikan dengan tuntas seperti Kasus Lumpur lapindo oleh pihak Lapindo Brantas. Dalam perkara tersebut muncul kendala dalam pengajuan somasi class action sebab pihak Lapindo Brantas Inc sudah menawarkan  ganti rugi yang kadung sudah dirasakan oleh penduduk korban lumpur lapindo tersebut, akan tetapi oleh pihak Lapindo Brantas penerimanya tak boleh menggugat secara aturan.

E. Kewenangan Menggugat Organisasi Lingkungan (Legal Standing)

Legal standing seringkali disebut juga sebagai hak gugatan organisasi (ius standi). Standing secara luas dapat diartikan selaku akses orang perorangan, kelompok/organisasi di pengadilan sebagai Pihak Penggugat. Legal standing, Standing to Sue, Ius Standi, Locus Standi mampu diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan selaku penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding).

Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada somasi tanpa kepentingan hukum” (point d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini yakni kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara eksklusif (injury in fact). Perkembangan aturan rancangan hak gugat konvensional meningkat secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi mampu bertindak sebagai penggugat walaupun tidak mempunyai kepentingan hukum secara pribadi, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, penduduk luas atas pelanggaran hak-hak publik mirip lingkungan hidup, sumbangan konsumen, hak-hak sipil dan politik.

  Sejarah Hakekat Perbandingan Aturan

Selain itu bidang lingkungan hidup mampu terjadi suatu kondisi dimana suatu organisasi atau kelompok orang mengajukan gugatan dengan mendasarkan kepada kepentingan yang tidak bersifat diri eksklusif mereka atau golongan mereka, tetapi mengatas namakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak (masyarakat) atau yang disebut selaku “algemeen belang”.

Di Indonesia hak standing organisasi lingkungan tidak dijelaskan secara terperinci dalam undang-undang lingkungan hidup yang pertama. Meskipun demikian, beberapa masalah lingkungan yang diputus pada waktu itu sudah mengakui hak standing. Misalnya WALHI vs lima instansi pemerintah dan PT. Inti Indorayon Utama dalam perkara hutan pinus dan pencemaran Sungai Asahan (PN. Jakarta Pusat, 1989), WALHI vs Presiden dalam kasus dana reboisasi (PTUN Jakarta 1994), WALHI vs Sekjen Depertemen Pertambangan dan Energi dalam Kasus PT. Freeport (PTUN Jakarta 1995).

Pengakuan secara tegas mengenai legal standing organisasi lingkungan semula terdapat dalam Pasal 38 UUPLH 1997, ketentuan ini dikontrol kembali dalam Pasal 92 UU PPLH 2009 yang memilih :

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab sumbangan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(2) Hak mengajukan somasi terbatas pada permintaan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya permintaan ganti rugi, kecuali ongkos atau pengeluaran riil.

(3) Organisasi lingkungan hidup mampu mengajukan gugatan bila memenuhi persyaratan:

      1. berupa badan hukum;
      2. memastikan di dalam budget dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
      3. telah melaksanakan acara konkret sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Tidak semua mampu digugat oleh organisasi lingkungan. Dalam pasal ini membatasi yang dapat digugat terbatas pada permintaan untuk hak melakukan langkah-langkah tertentu tanpa adanya permintaan ganti rugi, kecuali ongkos atau pengeluaran riil. Meskipun tidak ada klarifikasi mengenai biaya atau pengeluaraan riil, tentunya yang dimaksud ialah biaya yang kasatmata-konkret dapat dibuktikan telah dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.

Selanjutnya langkah-langkah tertentu untuk pelestarian fungsi lingkungan hidupnya, contohnya menciptakan atau memperbaiki unt pengelolaan limbah, menebar kembali (restocking) bibit ikan, melaksanakan penanaman pohon di sekeliling areal perusahaan, dan lain sebagainya yang sifatnya untuk memulihkan lingkungan hidup atau menetralisir penyebab pencemara dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

F. Gugat Pemerintah & Pemda

Perkembangan gres di bidang aturan lingkungan, bahwa kini gugatan lingkungan dapat diajukan oleh pemerintah dan pemerintah kawasan. Ketentuan ini diatur dalam PAsal 90 UU PPLH 2009, yang menetukan :

(1) Instansi pemerintah dan pemerintah kawasan yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan somasi ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup.

(2) Ketentuan lebih lanjut perihal kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikontrol dengan Peraturan Menteri.

Eksistensi legal standing instansi pemerintah ternyata telah diakui alam praktik peradilan sebelum berlakunya UU PPLH 2009, selaku teladan adalah diterima, diperikasa dan diadilinya perkara somasi pemerintah yang diwakili KLH (Kementrian Lingkungan Hidup) kepada PT. Selatnastik Indokwarsa atas perkara penambangan pasir kwarsa di Selat Ansik, Belitung Timur, Bangka Belitung. Gugatan ini diajukan pada tahun 2008 ke PN Jakarta Utara. Dalam putusan PN Jakut somasi KLH dikabulkan, walaupun pada tingkat kasasi KLH dikalahkan. Sementara itu, praktik somasi lingkungan oleh pemerintah sejak berlakunya UU PPLH 2009, antara lain adalah somasi pemerintah yang diwakili oleh KLH dan Kejaksaan Agung kepada PT. Kalista Alam, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit di Rawa Tripika, Aceh.

S. Maronie

sebagai materi kuliah Hukum Lingkungan