Hubungan Antara Kepribadian Narsistik Dengan Sikap Konsumtif

Hubungan Antara Kepribadian Narsistik Dengan Perilaku Konsumtif 
PENDAHULUAN
Masa dewasa ialah era peralihan dari kanak-kanak menuju sampaumur. Pada kala ini remaja bahagia menjajal hal-hal gres untuk menentukan jati dirinya. Pada lazimnya akil balig cukup akal akan mulai memperhatikan penampilannya. Hal ini sesuai dengan usulan Hurlock (2002) yang menyampaikan bahwa penampilan bagi sampaumur sangat penting, yakni selaku pesona fisik, usaha mencari pemberian sosial, dan popularitas. Sebagai usaha untuk mendukung penampilannya tersebut umumnya cukup umur suka membeli, seperti pakaian dan asesoris. 
Perilaku akil balig cukup akal yang suka membeli ini dijadikan acuan oleh para produsen untuk memasarkan produk-produnya. Alasannya karena contoh konsumsi individu biasanya terbentuk ketika akil balig cukup akal, disamping itu karakteristik sampaumur yang gampang terpengaruh iklan, sahabat, tidak kongkret, dan condong boros dalam menggunakan uang (Tambunan, 2001). Selain itu, (Tinarbuko, 2006) menyampaikan bahwa sampaumur kebanyakan belum dapat menentukan prioritas kebutuhannya sendiri sehingga dalam membuat keputusan berbelanja lebih mengandalkan emosi ketimbang rasio. 
Tahap kemajuan pada sampaumur cenderung mempunyai urusan dalam pergaulan, sebab dalam kala penelusuran identitas diri tersebut remaja berupaya melaksanakan hal-hal yang mampu menunjang tampilan semoga menerima perhatian sehingga diterima oleh kalangan pergaulan tertentu (Sarwono, 2001). Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan dan gaya hidup akil balig cukup akal akil balig cukup akal ini yang cenderung mengarah pada gaya hidup glamor yang kemudian mampu menyebabkan pola hidup konsumtif (Lina dan Rosyid, 1997). Berdasarkan wawancara dan pengamatan yang peneliti lakukan kepada beberapa akil balig cukup akal yang masih bersekolah dan beberapa alumni SMU Negeri 3 yang dikenal sebagai SMU favorit, yang berusia 14-19 tahun (28 Oktober-15 November 2006), mampu disimpulkan bahwa perilaku membeli yang dilaksanakan para cukup umur tersebut lebih banyak dikerjakan alasannya adalah mengikuti isu terkini dikala itu. Remaja-akil balig cukup akal tersebut mengungkapkan alasan-argumentasi adalah supaya mampu berpenampilan up to date dan lebih percaya diri dalam bergaul.
Karakter sampaumur yang suka mencoba hal-hal gres condong akan mengikuti mode-mode modern, hal ini diperkuat dengan banyaknya majalah-majalah dewasa yang menampilkan produk-produk yang sedang animo, risikonya Loudon dan Bitta (dalam Lina dan Rosyid, 1997) menyatakan bahwa sampaumur ialah golongan yang berorientasi konsumtif. Perilaku membeli pada dewasa yang berlebihan serta tidak sesuai dengan kebutuhan tersebut dapat digolongkan sebagai sikap konsumtif.
Pendapat senada diungkapkan oleh Neufeldt (dalam Zebua dan Nurdjyayadi, 2001), yang mengungkapkan bahwa sikap konsumtif digambarkan selaku langkah-langkah yang tidak rasional dan bersifat kompulsif, secara hemat menyebabkan pemborosan, serta secara psikologis menimbulkan kecemasan dan rasa tidak kondusif.
Perilaku konsumtif mampu disebabkan oleh beberapa faktor. Engel, dkk (1994) menyebutkan beberapa aspek internal yang dapat mempengaruhi sikap konsumen, diantaranya, motivasi, proses belajar dan pengalaman, kepribadian dan desain diri, keadaan ekonomi, dan gaya hidup. Faktor eksternal berisikan kebudayaan, kelompok sosial, golongan acuan, keluarga, dan status sosial. Penelitian terdahulu yang dikerjakan oleh Lina dan Rosyid (1997) menyebutkan bahwa sikap konsumtif kebanyakan dijalankan oleh remaja. Salah satu faktor yang diperkirakan dapat mensugesti perilaku konsumtif tersebut ialah kepribadian. Dalam hal ini kepribadian yang kemungkinan besar mempengaruhi perilaku konsumtif yakni kepribadian narsistik.
Fausiah dan Widury (2005) mengelompokkan kepribadian narsistik selaku gangguan kepribadian kelompok B, yakni gangguan kepribadian yang memiliki perasaan kuat bahwa individu tersebut merupakan seseorang yang penting dan merasa bahwa dirinya unik. Fausiah dan Widury menyertakan bahwa individu dengan kepribadian narsistik merasa dirinya spesial, ambisius, dan suka mencari kepopuleran, sehingga susah mendapatkan kritik dari orang lain.
Maria dkk (2001) menyebutkan beberapa karakteristik kepribadian narsistik yakni; rasa sensitif terhadap kritik atau kegagalan, kebutuhan yang besar untuk dikagumi, dan kurangnya empati. Remaja yang mempunyai rasa gembira kepada diri sendiri mampu dikatakan bahwa dewasa itu memiliki kepribadian narsistik. Kepribadian narsistik ialah perasaan besar hati terhadap diri sendiri dan senantiasa merasa lebih dari individu lain. Keadaan tersebut membuat individu yang berkepribadian narsistik senantiasa berupaya tampil lebih dari individu lain. Hal ini mempengaruhi perilakunya dalam hal menyantap sebuah barang. Biasanya akil balig cukup akal yang berkepribadian narsistik lebih tertarik dengan atribut-atribut yang dikenakan idolanya dibandingkan dengan menyaksikan usaha idolanya untuk mencapai kesuksesan (Sabirin, 2005).
Ketertarikan sampaumur pada atribut yang dikenakan idolanya dapat dilihat dari perilaku membeli barang-barang yang bahu-membahu tidak diperlukan, contohnya membeli pakaian, sepatu atau tas hanya alasannya adalah sedang demam isu atau semoga menyerupai idolanya. Perilaku berbelanja yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan cenderung berlebihan mampu digolongkan pada sikap konsumtif. Perilaku konsumtif tersebut umumnya dimanfaatkan oleh para produsen untuk memasarkan produknya yang ditujukkan khusus untuk remaja. Iklan produk lewat aneka macam media yang gampang ditemukan oleh sampaumur merupakan salah satu cara produsen dalam menawan perhatian sampaumur.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa cukup umur mempunyai kecenderungan berkepribadian narsistik yang dapat menimbulkan akil balig cukup akal tersebut berperilaku konsumtif.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan konkret antara kepribadian narsistik dengan sikap konsumtif pada akil balig cukup akal. Semakin tinggi kepribadian narsistik, kian tinggi perilaku konsumtifnya, dan sebaliknya, makin rendah kepribadian narsistik, maka semakin rendah sikap konsumtifnya.
METODE
Variabel-variabel yang digunakan dalam observasi ini adalah kepribadian narsistik sebagai variabel bebas dan perilaku konsumtif selaku variabel tergantung. Subjek observasi yang dipakai dalam penelitian ini yakni remaja kelas 1 dan 2 SMU Negeri 3 Yogyakarta yang berusia 13-17 tahun dan berjumlah 60 siswa.
Metode pengumpulan data dalam observasi ini memakai Skala Perilaku Konsumtif dan Skala Kepribadian Narsistik. Skala sikap Konsumtif berisikan 37 aitem dalam bentuk kalimat pernyataan favorable dan unfavorable dengan 4 kategori respon yakni SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Aitem-aitem di atas memiliki koefisien validitas bergerak antara 0,274 hingga 0,679, dan koefisien reliabilitas sebesar 0,9105 sehingga layak dipakai selaku alat pengumpul data. Skala kedua yang dipakai yaitu Skala Kepribadian Narsistik yang terdiri dari 32 aitem dalam bentuk kalimat pernyataan favorable dan unfavorable. Aitem-aitem di atas mempunyai koefisien validitas bergerak antara 0,279 hingga 0,658, dan koefisien reliabilitas sebesar 0,8854 sehingga layak dipakai selaku alat kolektordata.
Metode analisis data dalam peneltian ini menggunakan teknik analisis korelasional Product Moment dari Karl Pearson. Alasan memakai teknik tersebut yakni: 1) untuk mengatahui ada tidaknya hubungan antara variabel perilaku konsumtif dan kepribadian narsistik, 2) jenis datanya interval.
HASIL DAN DISKUSI
Berdasarkan hasil uji normalitas sebaran diperoleh untuk data variabel bebas yaitu kepribadian narsistik, besarnya KS – Z = 0,074, dengan taraf signifikansi sebesar 0,2 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran variabel kepribadian narsistik terdistribusi normal, sedangkan variabel tergantung yaitu perilaku konsumtif pada remaja besarnya; KS – Z = 0,083, dengan taraf signifikansi sebesar 0,2 (p > 0,05). Hasil tersebut menawarkan data variabel sikap konsumtif terdistribusi normal.
Berdasarkan hasil uji linieritas antara variabel kepribadian narsistik dengan sikap konsumtif diperoleh nilai F linieritas sebesar 24,028, dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hasil uji linieritas menawarkan bahwa kekerabatan antara variabel kepribadian narsistik dengan perilaku konsumtif ialah linier.
Analisis relasi Product Moment diperoleh rxy = 0,523 dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,01), yang artinya ada relasi yang sungguh signifikan antara variabel kepribadian narsistik dengan perilaku konsumtif para remaja. Hal tersebut menyatakan bahwa hipotesis diterima. Koefisien determinasi (R2) variabel narsistik terhadap perilaku konsumtif yang diporeh sebesar 0,273 atau variabel kepribadian narsistik memberikan perlindungan kepada variabel sikap konsumtif sebesar 27,3%, sedangkan 72,7% dipengaruhi oleh variabel lain.
Berdasarkan analisis kekerabatan product moment, secara lazim hasil observasi menunjukkan bahwa kepribadian narsistik memiliki korelasi aktual yang sangat signifikan dengan sikap konsumtif. Artinya, kian tinggi kepribadian narsistik semakin tinggi pula perilaku konsumtif yang terjadi pada remaja dan sebaliknya, semakin rendah kepribadian narsistik semakin rendah pula sikap konsumtif pada cukup umur. Hal tersebut memberikan bahwa hipotesis yang diajukan diterima.
Pada umumnya akil balig cukup akal memiliki idola yang dijadikan panutan untuk berperilaku dan berpenampilan (Lina dan Rosyid, 1997). Remaja mulai aktivitas konsumsinya dengan membeli barang-barang mirip yang digunakan idolanya dengan tujuan biar mampu mirip gaya sang idola, selain itu sampaumur cenderung ingin menjadi perhatian sobat-teman dan lingkungannya. Kegiatan konsumsi tersebut mampu menjadi berlebihan bila akil balig cukup akal terlalu mementingkan atribut yang dapat menunjang penampilannya. Hal itu dapat terjadi pada remaja yang memiliki kecenderungan kepribadian narsistik. 
Halgin dan Whitbourne (1997), mengatakan bahwa individu dengan kepribadian narsistik memiliki rasa mementingkan diri sendiri yang tidak kongkret. Individu yang memiliki kepribadian narsistik yang tinggi pada umumnya selalu merasa istimewa, angkuh, angkuh, dan merasa cuma individu yang status sosialnya tinggi yang mampu menghargai dan memahami kebutuhannya. Pendapat serupa dari Fausiah dan Widury (2005) mengatakan bahwa kepribadian narsistik ialah perasaan yang berpengaruh bahwa individu tersebut ialah seseorang yang penting dan merasa bahwa dirinya unik. Selain itu, individu dengan kepribadian narsistik merasa dirinya Istimewa, ambisius, dan suka mencari kepopuleran, sehingga sukar menerima kritik dari orang lain.
Karakteristik kepribadian narsistik di atas dewasa ini terdapat pada beberapa cukup umur, sehingga dewasa menjadi konsumtif agar mampu berpenampilan lebih dari yang lain. Hal ini sesuai dengan usulan Hurlock (2002) yang menyampaikan bahwa performa bagi sampaumur sungguh penting, yakni sebagai pesona fisik, usaha mencari santunan sosial, dan popularitas. Akibat minat yang berlebihan terhadap tampilan tersebut akan mendorong cukup umur untuk bertingkah konsumtif. 
Neufeldt (dalam Zebua dan Nurdjyayadi, 2001) mengungkapkan bahwa sikap konsumtif digambarkan sebagai langkah-langkah yang tidak rasional dan bersifat kompulsif, secara irit mengakibatkan pemborosan, serta secara psikologis menyebabkan kecemasan dan rasa tidak aman.
Hasil kategorisasi perilaku konsumtif terhadap siswa kelas 1 dan 2 di SMU Negeri 3 Yogyakarta memberikan sebagian besar subjek mempunyai taraf sikap konsumtif yang rendah, ialah sebanyak 39 subjek atau 60%. Sisanya sebanyak 26 subjek atau 40% berada dalam taraf sedang, dan tidak ada subjek yang berada dalam taraf sikap konsumtif yang tinggi. Hasil tersebut memberikan bahwa subjek observasi ini tidak memperlihatkan adanya kecenderungan perilaku konsumtif. Hasil kategorisasi kepribadian narsistik juga menawarkan bahwa sebagian besar subjek memiliki taraf kepribadian narsistik rendah, ialah sebanyak 47 subjek atau 72,3%. 27,7% atau sebanyak 18 subjek berada pada taraf sedang, dan tidak ada subjek yang mempunyai taraf kepribadian tinggi. Subjek dalam observasi ini tidak menunjukkan kecenderungan kepribadian narsistik. Namun demikian hasil relasi menunjukkan adanya kekerabatan faktual yang sangat signifikan.
Rendahnya kategorisasi tersebut mampu dikarenakan ketika subjek mengisi skala banyak bertanya kepada teman-temannya sehingga tanggapan cenderung sama satu subjek dengan subjek lainnya. Dapat dikatakan bahwa dalam observasi ini subjek mengisi skala berdasarkan social diserability. Social diserability yakni kecenderungan pada subjek penelitian yang menjawab sesuai tanggapan sebagian besar subjek (www.wikipedia.org).
Selain itu penyebab rendahnya kategorisasi disebabkan sebab jumlah subjek yang hanya 65 siswa, bantuan skala secara klasikal, dan reliabilitas variabel sikap konsumtif sebesar 0,9105, yang berarti masih terdapat kombinasi eror sebesar 8,95% pada variabel tersebut. Reliabilitas variabel kepribadian narsistik sebesar 0,8854, yang memiliki arti masih terdapat kombinasi eror sebesar 11,46% pada variabel tersebut yang juga mampu menjadi penyebab rendahnya kategorisasi. Pada kenyataannya subjek observasi ini memperlihatkan ciri-ciri konsumtif, diantaranya atribut-atribut yang dikenakan oleh sebagian besar subejek penelitian yakni bermerk populer, seperti tas, sepatu, ponsel, hingga laptop yang dibawa ketika pengisian angket penelitian.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil observasi dan pembahasan yang sudah dikemukakan pada bab sebelumnya, mampu disimpulkan bahwa ada relasi aktual yang sungguh signifikan antara kepribadian narsistik dengan perilaku konsumtif pada dewasa. 
Saran kepada subjek penelitian ialah untuk mempertahankan kepribadian narsistik dan perilaku konsumtifnya yang rendah. Saran untuk peneliti selanjutnya, semoga mengamati aspek-aspek lain seperti media massa, lingkungan, kalangan acuan atau idola, dan besarnya duit saku.
DAFTAR PUSTAKA
Engel, J.F, Blackwell, R.D, Miniard P.W. 1992. Perilaku Konsumen. Budiyanto (pen.) 1994. Jakarta: Binarupa Aksara.
Fausiah, F. dan Widury, J. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: UI-press.
Halgin, R.P. & Whitbourne, S.K. 1997. Abnormal Psychology: The Human Experience of Psychological Disorders. USA: Brown & Benchmark.
Hurlock, E,B. 2002. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Lina & Rosyid, H.F. 1997. Perilaku Konsumtif Berdasar Locus of Control Pada Remaja Putri. Psikologika.. No.4 TahunII. Hal 5-13.
Maria, H., Prihanto,S., & Sukamto, M. 2001. Hubungan Antara Ketidakpuasan Terhadap Sosok Tubuh (Body Dissatisfaction) dan Kepribadian Narsistik dengan Gangguan Makan (Kecenderungan anorexia dan bulimia nervosa). Anima,Vol.16, No. 3. Hal. 272-289.
Sabirin, Eka. 2005. Kenapa Kita Doyan Belanja? http://kompas.com/kompas. Edisi 26 Agustus 2005. Diakses pada tanggal 13 November 2006.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Remaja. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tambunan,. R 2001. Remaja dan Perilaku Konsumtif. http//www.e-psikologi.com/remaja. Edisi 19 November 2001. Diakses pada tanggal 2 April 2006.
Tinarbuko, S. 2006. Pola Hidup Konsumtif Masyarakat Yogya. https://www.kompas.com Edisi 7 Februari 2006. Diakses pada tanggal 25 Mei 2007.
Wikipedia.http://en.wikipedia.org/wiki/Social_desirability_bias. Diakses pada 23 Oktober 2007.
Zebua, A.S & Nurdjayadi, R.D. 2001 Hubungan Antara Konformitas dan Konsep Diri Dengan Perilaku Konsumtif Pada Remaja Putri. Phronesis. Vol.3. No. 6. hal. 72-