Hasil Penelitian Dan Pembahasan

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.  Faktor Yang Menyebabkan Anak Melakukan Pencurian Dengan Kekerasan
Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency” atau yang umum diartikan sebagai “kejahatan sampaumur” dan dirumuskan sebagai sebuah kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun langkah-langkah akil balig cukup akal yang bersifat asosial, berlawanan dengan agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam penduduk . Anak yang melakukan tindakan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-seruan maupun menurut peraturan aturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Setiap manusia dalam perjalanan hidupnya niscaya pernah mengalami kegoncangan pada era menjelang kedewasaan, dimana tindakan-tindakannya merupakan manifestasi dari kepuberan remaja.Oleh alasannya adalah hal tersebut, diharapkan pengawasan dan training yang tepat kepada anak sehingga masa perubahan menjelang kedewasaan itu dapat dilewati dengan baik tanpa terjadi tindakan-tindakan yang mempunyai kecenderungan ke arah perbuatan kriminal.[1]
Media massa banyak menyebutkan atau menyiarkan tindakan-perbuatankejahatan yang dilaksanakan anak di anak-anak dan mengalami peningkatankriminalitas mirip: pencurian,perkelahian, pelecehan seksual, konsumsi dan pemilikan Narkoba atau tindakankejahatan lain yang berorientasi kriminal yang banyak dijalankan anak dibawah umur.
Berdasarkan sosiologi kejahatan, kejahatan disebabkan alasannya keadaan dan proses-proses sosial yang serupa, yang menghasilkan prilaku-prilaku sosial yang lain. Analisis kepada kondisisi dan proses-proses tersebut menciptakan dua kesimpulan, adalah pertama, terdapat hubungan antara kombinasi angka kejahatan dengan kombinasi organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi.Tinggi rendahnya angka kejahatan bekerjasama akrab dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial penduduk , kelompok-kelompok masyarakat dan kalangan-kalangan sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-keadaan dan proses-proses.Misalnya gerak sosial, persaingan serta pertentangan kebudayaan, ideologi politik, agama, ekonomi dan seterusnya.Kedua, para sosiolog berupaya untuk menetukan proses-proses yang menyeababkan seseorang menjadi jahat.Analisis ini bersifat sosial psikologis. Beberapa mahir menekankan pada beberapa bentuk proses mirip imitasi, pelaksanaan peranan sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, kenali, konsepsi diri pribadi dan ketidakpuasan yang agresif selaku proses-proses yang menimbulkan seseorang menjadi penjahat. Sehubungan dengan pendekatan sosiologi tersebut di atas, mampu diketemukan teori-teori sosiologi tentang prilaku jahat.[2]
Anak pada zaman kini ini telah melakukan tindakan-tindakan yang menurutkaum sampaumur langkah-langkah tersebut dianggap sebagai perbuatan kriminal.Untuk mengetahui faktor-faktor yang mengakibatkan anak melaksanakan tindakpidana utamanya tindakan melawan hukum pencurian adalah terletak pada masalah yangsaling keterkaitan antara faktor yang satu dengan aspek yang yang lain.
Menurut Kartini Kartono kejahatan bawah umur ini ialah produk sampingan dari:[3]
1.    Pendidikan massal yang tidak menekankan pendidikan tabiat dan kepribadian anak;
2.    Kurangnya perjuangan orang tua dan orang cukup umur menanamkan moralitas dan kepercayaan beragama pada belum dewasa muda;
3.    Kurang ditumbuhkannya tanggung jawab sosial pada belum dewasa remaja.
Kejahatan akil balig cukup akal mirip mencuri ialah gejala penyimpangan secara sosial. Para sarjana menggolongkan beberapa teori wacana alasannya musabab terjadinya kejahatan yang dilaksanakan oleh anak atau dewasa antara lain:
1.    Teori Biologis
Tingkah laris sosiopatik atau delinkuen pada anak-anak dan sampaumur dapat muncul alasannya adalah faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berjalan lewat gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan atau melalui variasi gen, dapat juga disebabkan alasannya tidak adanya gen tertentu, yang seluruhnya mampu memunculkan kejahatan dan penyimpangan tingkah laris oleh anak-anak.[4]
2.    Teori Psikogenis
Teori ini menekankan karena-karena tingkah laku delinkuen belum dewasa dari faktor psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-perilaku yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, pertentangan batin, emosi yang controversial, kecenderungan psikopatologis, dan lain-lain.[5]
Argumen sentral teori ini adalah sebagai berikut: delinkuen ialah bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal/sosial dan pola-teladan hidup keluarga yang patologis. Kurang lebih 90% bawah umur delinkuen berasal dari keluarga berantakan.[6] Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntung, terang akan membuahkan persoalan psikologis personal dan adjustment (penyesuaian diri) yang terusik pada diri anak-anak, sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesusahan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen. Ringkasnya, delinkuen atau kejahatan belum dewasa ialah reaksi kepada duduk perkara psikis anak itu sendiri.
Sebagian besar dari kita tidak melaksanakan kejahatan, sekalipun mempunyai kecenderungan egoistis dan a-sosial, disebabkan adanya kontrol diri yang besar lengan berkuasa dan kepatuhan secara normal terhadap kendali sosial yang efektif. Yang penting harus diketahui yakni efek apa serta motif yang bagaimana yang melatarbelakangi kedatangan sifat-sifat delinkuen itu. Contohnya, pada umumnya belum dewasa criminal yakni mereka yang suka tinggal kelas di sekolah dan yang putus sekolah.
Anak-anak delinkuen itu melakukan kejahatan didorong oleh pertentangan batin sendiri.Jadi mereka mempraktekkan pertentangan batinnya untuk mengurangi beban tekanan jiwa sendiri lewat tingkah laris kasar, impulsive dan primitive.Karena itu kejahatan mereka pada umumnya dekat berkaitan dengan temperamen, konstitusi kejiwaan yang gundah kacau, pertentangan batin dan putus asa yang kesannya ditampilkan secara spontan keluar.
Anak-anak delinkuen itu kebanyakan mempunyai inteligensi verbal lebih rendah, dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik (prestasi sekolah rendah).Dengan kecerdasan yang tumpul dan pengetahuan sosial yang kurang tajam mereka mudah sekali terseret oleh usul jelek untuk menjadi delinkuen jahat. Mereka banyak membolos dari sekolah, kurang lebih 30% dari bawah umur yang bodoh mentalnya menjadi kriminil, kurang lebih 50% dari anak-anak delinkuen itu pernah mendapatkan hukuman polisi atau pengadilan lebih dari satu kali.[7]
Akibat kelalaian orang bau tanah dalam mendidik anak-anaknya dan tidak adanya kendali yang terus menerus, serta tidak berkembangnya disiplin diri, ketiga hal tersebut dengan gampang menjinjing anak tersebut pada lingkungan sosial yang tergabung dalam gang-gang.Mereka kemudian tidak mencar ilmu melaksanakan pembiasaan terhadap penduduk secara wajar , namun justru mengikuti keadaan kepada penduduk yang jahat dan menyimpang dari norma-norma sosial.Biasanya bawah umur itu juga ditambahi beban tambahan berbentuktekanan-tekanan batin, sakit karena dampak alkohol dan bahan-materi narkotik, dan gangguan mental tertentu.
Delinkuen cenderung lebih banyak dikerjakan oleh bawah umur, cukup umur ketimbang dijalankan oleh orang-orang dengan kedewasaan muda.Remaja delinkuen ini memiliki moralitas sendiri, dan umumnya tidak mengindahkan norma-norma susila yang berlaku ditengah masyarakat.Di samping itu, semua fase transisi juga fase transisi kurun kanak-kanak menuju kedewasaan, selalu membangkitkan protes adoselen, meskipun banyak terdapat kesejahteraan, kesejahteraan, penghasilan yang tinggi, dan potensi kerja di tengah masyarakat.Semangat protes pemberontak inilah yang ikut memainkan peranan penting dalam membentuk teladan tingkah laris delinkuen.
3.    Teori Sosiogenis
Para sosiolog berpedapat penyebab tingkah laku delinkuen pada bawah umur remaja ialah murni sosiologis atau sosial psikologis sifatnya.Misalnya disebabkan oleh imbas struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru.Maka aspek-aspek kultural dan sosial itu sungguh menghipnotis, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah penduduk , ditengah kalangan sosial dan pendefinisian diri atau desain dirinya.[8]
Dalam proses penentuan konsep diri tadi, yang penting yaitu simbolisasi diri atau penamaan diri, disebut pula sebagai pendefinisian diri atau peranan diri. Dalam proses simbolisasi diri, subjek mempersamakan diri mereka dengan tokoh-tokoh penjahat. Gambaran atau desain umum tentang sesuatu ide itu dioper oleh anak yang bersangkutan menjadi kekayaan batinnya, dan dijadikan desain hidupnya. Berlangsunglah proses penentuan rancangan diri yang diubahsuaikan dengan suasana dan keadaan sesaat.
Karena cepatnya perkembangan penduduk, kawasan-daerah perkotaan menjadi cepat pula berganti. Sebagian besar wilayahnya digunakan untuk mendirikan baangunan-bangunan industry dan jual beli, perumahan penduduk, kantor pemerintah dan militer. Semua upaya pembangunan itu mempunyai pengaruh sampingan berbentukdisrupsi sosial (kebelahan dan kesemrawutan sosial).Disrupsi ini dicerminkan oleh kian meningkatnya keluarga yang pecah berserakan, kasus bunuh diri, alkoholisme, korupsi, kriminalitas, delinkuensi dan sebagainya.
Kaprikornus alasannya adalah-alasannya adalah kejahatan anak itu tidak hanya terletak pada lingkungan family dan tetangga saja, akan tetapi utamanya sekali, disebabkan oleh konteks kulturalnya. Maka karier kejahatan anak-anak itu terperinci dipupuk oleh lingkungan sekitar yang jelek dan jahat, ditambah keadaan sekolah yang kurang menawan bagi belum dewasa bahkan adakalanya justru merugikan pertumbuhan eksklusif anak.Karena itu, desain kunci untuk dapat memahami alasannya adalah-musabab terjadinya kejahatan anak itu yakni pergaulan dengan anak muda lainnya yang telah delinkuen.
Anak mencar ilmu bagaimana berperilaku laris melalui peniruan tingkah laris orang lain. Makara tingkah laris secara social ditransmisikan melalui pola-teladan, yang khususnya datang dari keluarga, sub-budaya, dan media massa.[9]
Teori Sutherland menyatakan bahwa anak dan para akil balig cukup akal menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah sebuah lingkungan sosial, yang pandangan baru dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang efesien untuk mengatasi kesulitan hidupnya.Karena  itu, semakin lama anak bergaul dan kian intensif relasinya dengan belum dewasa jahat lainnya, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya perkumpulan diferensial tersebut. Dan makin besar kemungkinan belum dewasa tadi betul-betul menjadi kriminal.[10]
4.    Teori Subkultur Delinkuensi
Tiga teori sebelumnya sangat populer hingga tahun-tahun 50-an. Sejak 1950 ke atas banyak terdapat perhatian pada kegiatan-aktivitas gang-gang yang terstruktur dengan subkultur-subkulturnya. Adapun sebabnya yaitu:[11]
  1. Bertambahnya dengan cepat jumlah kejahatan, dan meningkatnya mutu kekerasan serta kekejaman yang dijalankan oleh belum dewasa yang memiliki subkultur delinkuen.
  2. Meningkatnya jumlah kriminalitas menjadikan sungguh besarnya kerugian dan kerusakan secara universal.
  Kesimpulan Perihal Faktor Yang Menghipnotis Sikap

Kultur atau kebudayaan dalam hal ini menyangkut satu kumpulan nilai atau norma yang menuntut bentuk tingkah laku responsif sendiri yang khas pada anggota-anggota kelompok gang tadi. Sedang ungkapan sub mengindikasikan bahwa bentuk budaya tadi bisa timbul di tengah sebuah tata cara yang lebih inklusif sifatnya.
Menurut krimininologi, faktor yang menimbulkan anak melaksanakan kejahatan seperti pencurian dengan kekerasan antara lain:
1.    Faktor Keluarga
Menurut teori Kontrol Sosial, kejahatan atau delinkuen yang dijalankan oleh anak berkaitan dengan struktur keluarga.[12]
Keluarga ialah unit sosial terkecil yang menawarkan pondasi primer bagi pertumbuhan anak.Sedangkan lingkungan sekitar dan sekolah itu menawarkan nuansa pada pertumbuhan anak. Karena itu baik buruknya struktur suatu keluarga akan memberikan efek baik atau buruknya kepada kemajuan kepribadian anak.
Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan,mendewasakan dan dimana anak mendapatkan pendidikan untuk yangpertama kali.Keluarga merupakan lingkungan yang paling berpengaruh dalammembesarkan anak dan terutama bagi perkembangan tingkah laris anak,sehingga keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak.
Keluarga yang bagus akan kuat kasatmata, bagi pertumbuhan anak,sedangkan keluarga yang kurang baik akan besar lengan berkuasa negatif. Oleh karenaitu baik buruknya sebuah keluarga mempunyai imbas yang besar lengan berkuasa terhadapperkembangan seorang anak.
Para psikolog berpendapat bahwa orang renta yang menjajal memecahkan sebuah masalah dalam keluarganya dengan kekerasan secara tidak eksklusif hal tersebut akan mengajari anak-anak mereka untuk memakai kekerasan.[13]
Delinkuensi yang dikerjakan oleh anak pada umumnya merupakan produk dari mental orang renta, anggota keluarga, dan lingkungan tetangga terdekat. Semua itu akan menghipnotis mental dan kehidupan perasaan anak yang belum matang dan sangat labil.[14]
Kejahatan yang dikerjakan oleh seorang anak pada umumnyamerupakan rekaman kehidupannya didalam keluarga, tingkah laris mesum dankejahatan yang dilaksanakan oleh orang bau tanah mirip suka main perempuanatau/laki-laki muda, korupsi, bahagia berjudi, bahagia meminum-minumankeras dan hingga mabuk-mabukan, atau dikala orang renta mereka seringterlibat konflik pertengkaran yang menjadikan perceraian antara keduabelah pihak.
Menurut Teknik Denial Responsibility yang diusung oleh Syek dan Matza menerangkan bahwa suatu anggapan di golongan cukup umur pembangkang yang menyatakan bahwa dirinya merupakan korban dari orang tua yang tidak mencintai, lingkungan pergaulan yang buruk, atau berasal dari tempat tinggal yang kumal .[15]
Faktor keluarga ini dapat terjadi karena beberapa hal, mirip ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini mampu membentuk anak kearah negatif, alasannya adalah keluarga mempunyai efek yang sangat berpengaruh dalam mengarahkan perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak. Ketidakharmonisan bisa terjadi alasannya perceraian orang renta, orang tua yang super sibuk dengan pekerjaannya, orang renta yang berlaku diskriminatif terhadap anak, minimnya penghargaan terhadap anak dan dan lain-lain.Hal tersebut menciptakan anak merasa sendiri dalam menangani masalahnya di sekolah dan lingkungannya, tidak ada tauladan yang patut dicontoh dirumah, minimnya perhatian, senantiasa dalam posisi dipersalahkan, bahkan anak merasa diperlakukan tidak adil dalam keluarga.
Faktor ketidakharmonisan keluarga yang menyebabkan anak mudah melanggar norma,baik norma aturan,budaya maupun agama sebagaimana diungkapkan di atas, berdasarkan kaca mata sosiologis mungkin hal yang wajar dan sejalan dengan aturan karena balasan. Namun demikian lain halnya kalau yang memicu justru orang bau tanah atau yang dituakan oleh si anak. Artinya pelanggaran norma tersebut justru dilegalkan oleh orang renta atau lebih berbahaya lagi kondisinya bila pelanggaran norma tersebut didukung, dikondisikan dan dikoordinir oleh orang bau tanah sendiri,maupun oleh orang yang dituakan.
Didalam kondisi yang normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalahorang tuanya, saudar-saudaranya yang lebih renta, serta mungkin saudara dekatnya yang tinggal serumah.Melalui lingkungan itulah si anak mengenal dunia sekitarnya dan acuan pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari. Melalui lingkungan itulah anak mengalamiproses sosialiasi awal. Orang bau tanah, saudara, maupun kerabat terdekat biasanyamencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak agar anak memperoleh dasar-dasar teladan pergaulan hidup yang bagus dan benar, melalui penanaman disiplin dan kebebasan serta penyerasiannya.
Kualitas suatu rumah tangga atau kehidupan keluarga terang mempunyai peranan yang paling besar dalam membentuk kepribadian seorang anak menjadi delinkuen.Misalnya keluarga yang awut-awutan alasannya akhir hayat ayah atau ibu, perceraian antara ayah dan ibu, hidup terpisah, poligami dan sebagainya merupakan sumber yang subur untuk memunculkan delinkuen remaja.[16]
Rasa cemas dan galau pada anak untuk berpihak pada siapamembuat batin anak menjadi depresi.Melihat acuan kehidupan yangpatologis atau ketidakharmonisan keluarga, seorang anak yang masih sangatmembutuhkan belaian kasih sayang, dukungan dan bimbingan dari orangtua tanpa disadari anak tersebut dapat melakukan sebuah tindak pidana yanghanya dapat dilaksanakan oleh orang dewasa tanpa memimikirkan apa yangterjadi kelak dan untuk kala depannya nanti yang terang harapan dari hasratitu telah terpenuhi oleh si Anak,[17] sehingga Anak dapat melaksanakan apa saja ataskeinginannya, walaupun perbuatan anak itu termasuk sebuah bentuk kejahatanyang menyebabkan suatu akibat hukum dari perbuatannya.Seperti pada aspek ekonomi sosial, kalau dalam suatu kondisi ekonomikeluarga yang kurang mampu dan orang tua tidak mampu memenuhikebutuhan anak-anaknya, khususnya sekali pada kurun memasuki usia remaja(puber) yang penuh dengan impian-impian, impian, belum dewasa itu.Setidaknya membutuhkan pakaian yang pantas, pendidikan untuk masadepannya.
Ketika hampir semua kebutuhan anak tersebut tidak dapatdipenuhi, maka anak tersebut mencoba dengan jalannya sendiri untukmemenuhi kebutuhannya itu dengan suatu bentuk kejahatannya, yakni denganmelakukan tindak pidana pencurian.Karena disebabkan kurang mampunyaorang tua dalam memenuhi keperluan anak dan kurang kontrol orang tuaterhadap anak-anaknya dalam pergaulan, maka tanpa dikenali anak itu dapatsaja melaksanakan kejahatan.
Tingkah laris kriminal disebabkan oleh anak gagal dalam mengontroldirinya dan juga karena anak tersebut tidak mendapatkan bantuan yanglayak, kasih sayang dari orang bau tanah dan merasa kehilangan dari tempat berpijakdan kawasan mengadu. Kejahatan atau terutama tindak kriminal pencurian yangdilakukan Anak untuk mendapatkan akreditasi terhadap egonya dan untukmemenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak pernah dia peroleh dari orangtuanya selain dipakai sebagai alat untuk menutupi rasa aib dan perasaanminder yang ditebusnya dengan tingkah laku mirip satria yangmengakibatkan anak tersebut melaksanakan tindak kriminal.[18]
2.    Faktor Ekonomi Sosial
Krisis dibidang ekonomi menjinjing pada kenaikan jumlahpengangguran, gelandangan dan meningkatnya kejahatan konvensional yangtinggi, terutama kejahatan pencurian.Adanya patologi sosial atau penyakitmasyarakat kalau ditambah dengan adanya kemerosotan nilai-nilai agamadapat menjinjing kearah penurunan adab terutama kejahatan yang dilakukanoleh anak.
Faktor ekonomi sungguh besar lengan berkuasa terhadap kehidupan penduduk .Susunan masyarakat dimana terdapat perbedaan kalangan kelas ekonomimenengah ke atas atau menengah ke bawah ataupun golongan masyarakatyang terbagi dalam kelompok kaya dan kalangan miskin, nafsu ingin memilikidari penduduk kalangan miskin dibangkitkan dengan adanya kekayaan yangsering dipertontonkan. Apalagi bila dilihat dari masa kemajuan anak-anakyang suka menggandakan dan berminat besar untuk mempunyai akan gampang tergiurterhadap apa yang didemonstrasikan oleh bawah umur kelompok atas baik secaralangsung maupun tidak eksklusif. Hal ini tentu saja akan lebih cepatmendorong anak tersebut melakukan kejahatan.
Aristoteles menyebutkan adanya relasi antara penduduk dengan kejahatan.Yaitu dalam wujud kejadian kemiskinan menyebabkan pemberontakan dan kejahatan. Kejahatan tersebut tidak diperbuat oleh orang untuk mendapatkan keperluan-keperluan hidupnya yang vital, akan namun lebih banyak didorong oleh keserakahan menusia memburu kemewahan dan kesenangan yang berlebihan.[19]
Ringkasnya, kemisikinan dan kesengsaraan itu menjadi sumber utama dari timbulnya kejahatan.Kemisikinan kronis tanpa jalan keluar mengakibatkan banyak orang berputus asa, sehingga kejahatan ialah satu-satunya jalan untuk membantu kehidupan.
Alasan tuntutan ekonomi ialah argumentasi klasik yang telah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak pertumbuhan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan).Alasan ekonomi umumnya dijadikan latar belakang oleh anak untuk melaksanakan kejahatan.Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah hingga dengan ingin menambah uang jajan sering menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran aturan.
Mengenai latar belakang sosialnya, mereka berasal dari keluarga yang pada umumnya tidak mengalami gangguan. Walaupun kadang-kadang ayah tidak melakukan peranannya selaku seorang ayah yang baik, sejak kecil, beliau tidak ajar untuk mampu menertibkan impian-keinginannya dalam mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Setelah makin remaja, impian-keinginan tersebut kian banyak yang akan dipenuhi, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.Kemauan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sangat kecil.Kecerdasannya cukup tinggi, penduduknya mudah, namun tidak memiliki prinsip-prinsip budbahasa yang berpengaruh (kesusilaan yang besar lengan berkuasa).
Anak-anak dari kelas sosial-ekonomi rendah, kurang sekali bahkantidak diberi tuntutan dan pendidikan yang bagus.Banyak bawah umur yang tidakdisekolahkan oleh orang tuanya.Mereka kurang menerima permintaan hidupberdisiplin.Dengan sendirinya belum dewasa miskin ini kurang mempunyai bekaluntuk bersaing melawan para belum dewasa dari kelas sosial-ekonomimenengah atas.
Anak-anak dari kelas miskin tadi selama hidupnya banyaksekali menghadapi rintangan fisik maupun psikis untuk menegakkan hargadiri, khususnya sekali mereka menemui banyak hambatan dalam memperolehobyek yang diinginkan dengan jalan yang masuk akal dan mereka merasa kecewatidak bisa menerima obyek yang sangat diharapkan.
Mereka mengalami frustasi dan tekanan batin oleh karena anak-anakdari kelas ekonomi rendah tidak bisa menduduki status sosial tinggi melaluijalan yang masuk akal anak-anak tersebut kemudian dengan acuh tak hirau menolak segalanorma sosial dan norma aturan yang berlaku di masyarakat yang dianggaptidak adil karena norma tersebut cuma menguntungkan bagi masyarakatgolongan kaya saja. Anak-anak ini sering berkumpul bersama-samamelakukan operasi-operasi kejahatan ditengah penduduk , khususnyamelakukan tindak pidana pencurian untuk menyanggupi kebutuhan akan materidan egonya untuk menjadi seorang insan yang mampu melakukan apa sajasesuai cita-cita mereka. Mereka kemudian melepaskan diri dari anak-anaknormal dan penduduk baik-baik lalu mencari penyelesaian dari kesulitanbatin sendiri dengan cara yang abnormal atau menyimpang yaitu dalambentuk perbuatan kriminal.
Dapat ipahami bahwa duduk perkara inti anak-anak yangdelinkuen sebagian besar berasal dari kelas sosial ekonomi rendah[20] ialahkesusahaan dan kepedihan hati mereka alasannya adalah tidak bisa bersaing bebasmelawan kelompok belum dewasa yang kaya di tengah penduduk ramaidisebabkan oleh kurangnya pengukuhan kepada dirinya dan kurangnyakebutuhan bahan.Maka untuk menaikkan peranan sosial tertentu dan untukmemberikan arti bagi eksistensi hidupnya, juga untuk mengangkat martabatdirinya serta menegakkan fungsi egonya secara bersama-sama mereka lalumelakukan tindakan kejahatan dengan maksud untuk menawan perhatianorang luar mencari arti baginya hidup.
Lama kelamaan acuan hidup yang jahat ini menjadi kebiasaan danmereka kesudahannya menjadi sungguh-sungguh kriminal. Pada awalnya merekamencuri dan melakukan kejahatan yang lain bukan untuk mencari keuntungandan memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi untuk mendapatkanpengakuan atas kebesaran egonya.[21] Oleh alasannya itu anggota gang yang sangatdihargai yaitu mereka yang sanggup mendemonstrasikan keberanian,kekejaman, kegagahan, kejagoan yang diikuti kebijaksanaan dan ditujukanuntuk melawan norma aturan dan sosial yang ada untuk menunjukkankegagahan dan kepahlawanan.
Berdasarkan dari uraian tersebut jelaslah bahwa kemiskinan dan kesengsaraandapat mendorong orang untuk berbuat jahat.Kaprikornus faktor ekonomi sosialmerupakan salah satu aspek pendorong untuk mengarahkan si anak untukmelakukan kejahatan.

  Terik Penulisan Skripsi

[1]“Catatan Polres Banyuwangi, Tentang Kenakalan anak Atau Kejahatan Remaja Tahun 2012” melalui http://www.majalah-gempur.com.diakses tanggal 12 Desember 2013 pukul 09.10 Wib.

[2] Soerjono Soekanto. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, halaman 321.

[3] Kartini Kartono. 2014. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, halaman 8.

[4]Ibid. halaman 25.

[5]Ibid. halaman 26.

[6]Ibid.

[7]Ibid. halaman 27.

[8]Ibid. halaman 28.

[9] Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa. Op. Cit. halaman 55.

[10] Kartini Kartono. Op. Cit. halaman 30.

[11]Ibid. halaman 31.

[12]Soerjono Soekanto. Op. Cit. halaman 41.

[13] Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa. Op. Cit. halaman 55.

[14]Soerjono Soekanto. Op. Cit. halaman 41.

[15]Ibid. halaman 45.

[16] Kartini Kartono. Op. Cit. halaman 59.

[17]Soerjono Soekanto. Op. Cit.halaman 59.

[18]Ibid.halaman 60.

[19] Kartini Kartono. Op. Cit. halaman 168.

[20]Ibid. halaman 89.

[21]Ibid. halaman 91.