Hari Pertama Masuk Sekolah dan Pesantren, Ini Tausiyah KH Hasan Abdullah Sahal

“Maaf Ustazah, apakah tadi malam bawah umur mampu tidur?” tanya seorang wali santri pada Ustazah di suatu SMPIT boarding.

Ketika dijawab bahwa sebagian anak tak mampu tidur sampai tengah malam, ibu tersebut menimpali. “Berarti sama. Saya pula tak bisa tidur.”

“Kegelisahan Bunda sama mirip yg aku alami setahun kemudian. Sampai tiket balik ke Papua kami tunda sebab hati belum betul-betul tega,” seorang wali santri kelas 8 menyebarkan pengalamannya.

“Saya pula nggak mampu tidur, stres & nggak konsen kerja ketika anak semata wayang kami masuk pesantren,” tambah wali santri kelas 9.

“Hampir semua teman menangis, Bi,” kata anak sulungku menceritakan kisahnya waktu hari-hari pertama di Pesantren.

Tentu berat bagi seorang anak usia Sekolah Menengah Pertama berpisah dr orangtuanya untuk nyantri. Perasaan berat itu terutama pada hari-hari pertama.

Bayangkan, umumnya mereka berjumpa dgn orangtua saban hari sekarang harus berada di pesantren & gres sekian bulan sekali boleh pulang. Biasanya mereka dipenuhi dgn segala kemudahan yg membuat hidupnya nyaman, kini harus akrab dgn akomodasi pesantren yg terbatas. Biasanya mereka relatif kalem di rumah, sekarang harus tambahan disiplin & mampu berdiri diatas kaki sendiri; mandi antri, makan antri, mencuci sendiri, & seterusnya.

Mayoritas orangtua pula merasakan hal serupa. Ada rasa kehilangan tatkala biasanya mereka begitu dekat dgn buah hatinya & siap menolong dikala anak butuh sesuatu, sekarang tak lagi bersama untuk sementara.

Orangtua –utamanya ibu- yg kemudian menangis dikala hari-hari pertama anaknya di pesantren bukanlah orangtua yg cengeng. Itu wajar. Sebagai suatu mulut cinta & kerinduan pada buah hati. Bukankah para sahabat Nabi pula demikian rindu pada Makkah ketika hijrah di Madinah sampai ada yg demam & menangis?

  Kisah Umar bin Khattab Taklukkan Sungai Nil, Hapus Tradisi Tumbal

Seiring berjalannya waktu, orangtua akan sudah biasa. Anak-anak pula akan terbiasa. Dan yg akan menciptakan kita berpengaruh menangani perasaan itu utamanya yakni visi kehidupan & pendidikan kita. Ibarat investasi, bantu-membantu kita membayar di depan untuk memanen risikonya di masa mendatang. Bahkan masa yg kekal yakni di darul baka nanti.

Maka KH Hasan Abdullah Sahal, pengasuh pondok terbaru Darussalam Gontor, menawarkan tausiyah, “Lebih baik ananda menangis karena berpisah sementara dgn anakmu yg menimba ilmu agama, ketimbang jika ananda telah tua nanti menangis karena anak-anakmu lalai kepada persoalan darul baka.”

Saat anakku menceritakan pengalaman dirinya & sahabat-sobat yg menangis di hari-hari pertama masuk pesantren, gue mencoba menanamkan prinsip serupa: lebih baik menangis di dunia alasannya adalah berguru, ketimbang menangis di akhirat karena tidak mempunyai ilmu. [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]