Hal-hal yang membatalkan puasa itu yakni:
1. Hubungan badan (jima’).
2. Keluarnya mani.
3. Makan dan minum.
4. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum.
5. Hijamah (bekam).
6. Muntah dengan sengaja.
7. Keluarnya darah haidh dan nifas.
Keterangan secara rinci tentang hal-hal tersebut dirangkum dalam beberapa pembahasan berikut ini :
HAL-HAL YANG MAKRUH DALAM PUASA
Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan puasanya menjadi rusak. Hal-hal itu walaupun tidak menghancurkan puasa itu sendiri, namun acap kali mampu mengakibatkan perantara menuju rusaknya puasa. Dan karenanya dimakruhkan, di antaranya adalah:
1. Berlebih-lebihan dalam berkumur dan ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung, kemudian menghirupnya dengan sekali nafas sampai ke dalam hidung yang paling ujung) dikala berwudhu’.
Hal itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Laqith bin Shabrah:
“Bersungguh-sungguhlah dalam berkumur dan dalam menghirup air ke hidung, kecuali kalau engkau sedang berpuasa.” [1]
Dan bila ada air kumur atau istinsyaq yang masuk ke dalam perutnya secara sengaja, maka berdasarkan ijma’ puasanya batal, dan dia harus mengqadha’nya. Tetapi jikalau masuknya air tanpa disengaja, maka terdapat dua pertimbangan dari para ulama.
2. Mencium.
Dimakruhkan untuk mencium bagi orang yang sedang berpuasa, karena ciuman kerap kali dapat membangkitkan nafsu syahwat yang mampu merusak puasanya, baik dalam bentuk keluarnya sperma maupun dengan hubungan tubuh. Tidak ada perbedaan dalam hal itu, baik antara anak muda maupun orang bau tanah. Makara, yang dihindari adalah gejolak syahwat dan keluarnya sperma. Demikian juga dengan peluk cium, sentuhan tangan dan lain-lain yang mampu membangkitkan gejolak nafsu.
3. Memandang secara terus-menerus terhadap isteri atau budak wanita jikalau hal tersebut dapat menghidupkan nafsu syahwat, sebab hal itu kadang kala mampu menimbulkan puasanya rusak.
4. Berfikir dan membayangkan masalah kekerabatan tubuh (jima’), sebab hal itu bisa mendorong dirinya untuk berfikir mengarah kepada pengeluaran sperma atau muncul keberanian untuk melakukan korelasi tubuh. Dan ini jelas mampu merusak puasanya dan menceburkan dirinya ke dalam dosa.
5. Mengunyah permen karet.
Jika permen karet ini mengandung komponen cairan yang bisa ditelan oleh orang yang berpuasa, sebagaimana permen karet yang populer kini ini, maka hal ini terperinci haram dan dapat membatalkan puasa.
Dan jikalau tidak mengandung bagian di atas sama sekali, seperti contohnya belahan karet, maka yang demikian itu makruh dan tidak diharamkan.
6. Mencicipi makanan.
Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk merasakan makanan dari kuah atau yang lainnya, jika tidak ada sesuatu pun yang sampai ke perutnya. Jika ada sesuatu yang masuk ke dalam perutnya maka puasanya batal. Dan kalau memerlukannya untuk kepentingan anak kecil atau orang sakit atau yang semisalnya, maka tidak dimakruhkan, sebab merupakan hal yang sangat darurat.
7. Wishal (berturut-turut tanpa berbuka).
Dimakruhkan wishal dalam berpuasa. Pada hakikatnya yang dilarang adalah berpuasa dua hari atau lebih tanpa sedikit pun menyantap masakan atau minuman sepanjang siang dan malam. Dan jikalau mengkonsumsi atau meminum sesuatu walaupun sedikit, maka hal itu tidak disebut sebagai wishal. Dengan ke-makruhannya, wishal tidak membatalkan puasa.
Dan pesan tersirat dari larangan berpuasa secara wishal ini yaitu biar badan tidak menjadi lemah untuk menunaikan banyak sekali kewajiban. Bahkan kadang kala badan mampu tertimpa ancaman yang cukup serius, yang bisa besar lengan berkuasa kepada indera dan anggota tubuh.
8. Mengumpulkan ludah dan menelannya, demikian juga menelan dahak. [2]
Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk menghimpun ludah dan menelannya atau menelan dahak, karena hal itu bisa masuk ke dalam perut dan mengenyangkannya. Dan itu jelas berlawanan dengan hikmah puasa.
9. Mencium bebauan apa yang tidak dijamin kondusif dari mencium baunya atau membuat nafasnya menelan anyir tertentu sampai ke tenggerokan, mirip bacin-wangian (parfum), kapur barus, dupa/kemenyan dan yang yang lain.
10. Sebagian ulama memakruhkan siwak (gosok gigi) sehabis zawal (tergelincirnya matahari atau waktu menjelang Zhuhur).
Dan yang shahih, siwak itu disyari’atkan sebelum zawal dan setelahnya pada bulan Ramadhan dan bulan yang lain. Tetapi, pada bulan Ramadhan mesti disingkirkan benda-benda lembap yang mengan-dung air, yang seringkali mampu masuk ke dalam perutnya. [3]
[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (III/146), Abu Dawud (II/308), Ahmad, (IV/ 32), Ibnu Abi Syaibah (III/101), Ibnu Majah (no. 407), an-Nasa-i (no. 87), dari Laqith bin Shabrah Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih. Lihat kitab Shifatu Shaumin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 54).
[2]. Haasyiyah ar-Raudhil Murabbi’ (III/404).
[3]. Lihat Haasyiyah Ibni Abidin (II/416), asy-Syarhush Shaghiir (II/231), Raudha-tuth Thaalibiin (II/360), al-Mughni (IV/355), Nailul Authaar (IV/219).