H. M. Rasyidi Dan Harun Nasution: Tokoh Kalam Kekinian Indonesia

Prof. H.M. Rasyidi
Oleh: Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan
Ilmu kalam atau teologi sudah kita kenal semenjak zaman Khulafaur Rasyidin, menurut Harun Nasution kehadiran duduk perkara kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.

   Ilmu kalam atau teologi dari era ke kala mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berlainan-beda, sehingga dilema-duduk perkara yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri makin serius untuk dibahas. Karena dari urusan tersebut akan mengakibatkan timbulnya pedoman-pedoman yang baru dan tanggapan dari aneka macam tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.

Dengan adanya masalah-urusan ihwal ilmu kalam ini akan memperbesar wawasan keilmuan bagi para tokoh pemikir itu sendiri maupun bagi orang-orang yang terlibat dalam keilmuan tersebut. Banyaknya tokoh-tokoh yang mempunyai latar belakang yang berlawanan, maka banyak pula aliran-aliran dari mereka yang berlainan wacana masalah ilmu kalam ini. Sebagai acuan, di dalam makalah ini insya Allah akan di diskusikan teologi atau ilmu kalam yang mengacu pada dua tokoh yaitu: H. M. Rasyidi dan Harun Nasution. Akan tetapi dalam makalah ini akan di bahas cuma terkait dengan teologi atau ilmu kalam kekinian saja dan cuma terfokus pada teologi dua tokoh yakni: H. M. Rasyidi dan Harun Nasution.

B.       H.M. Rasyidi
1.        Riwayat Hidup H. M Rasyidi
H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 – 30 Januari 2001) yaitu mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta.
 Dalam konteks perkembangan akademik Islam di Indonesia, orang akan susah mngesampingkan kedatangan H.M. Rasyidi, lulusan forum pendidikan tinggi Islam di Mesir yang mmelanjutkan ke Paris, dan lalu mendapatkan pengalaman mengajar di Kanada. Lepas dari retorika-retorika anti-Baratnya, orang tak akan luput mendapati bahwa hamper keseluruhan kontruksi akademiknya dibangun atas dasar unsure-komponen yang ia dapatkan dari Barat. Maka tak heran, kalau ia koreksi karya Dr. Harun Nasution wacana Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-kesepakatan Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982.[1]

2.        Pemikiran Kalam H.M Rasyidi
Pemikiran kalam beliau banyak yang berlainan dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal ini dilihat dari keritikan beliau kepada Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar ajaran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

a.                     Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi.
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam yaitu teologi Islam dan teologi ialah ilmu kalam Katolik.”[2] Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai ungkapan teologi untuk memberikan tauhid atau kalam alasannya mereka tak memiliki ungkapan lain. Teologi berisikan dua perkataa, yakni teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi memiliki arti ilmu ketuhanan.adapun karena timbulnya teologi dalam Nasrani yaitu ketuhananNabi Isa, selaku salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi lalu mengandung beberapa aspek agama Nasrani, yang di luar dogma (yang benar), sehingga teologi dalam Katolik tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.[3]

  Ilmu Kalam Modern (Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Dan Sayyid Ahmad Khan)

b.                    Tema-tema ilmu kalam
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi ialah deskripsi aliran-fatwa kalam yang telah tidak berkaitan lagi dengan kondisi umat Islam kini, utamanya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan usulan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dikerjakan Harun Nasution, akan melemahkan kepercayaan para mahasiswa. Memang tidak ada agama yang mengagungkan nalar seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal mampu mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu cuma menciptakan nilai yang dihasilkan pikiran insan bersifat absolute-universal, berarti meremehkan ayat-ayat al-Qur’an seperti:
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya; “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengenali. (Q.S. Al-Baqarah: 232)
Rasyid lalu memastikan pada saat ini, di Barat telah dicicipi bahwa nalar tidak bisa mengetahui baik dan buruk. Buktinya ialah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi kepada pedoman rasionalisme.[4]
Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang berkaitan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak berhubungan . Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam kebanyakan adalah keberadaan Syi’ah.[5]

c.                     Hakikat kepercayaan
Bagian ini ialah kritikan Rasyidi terhadap deskripsi keyakinan yang diberikan Nurcholis Madjid, adalah “percaya dan meletakkan doktrin kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan ialah inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang kontinu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.”[6]Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi menyampaikan bahwa doktrin bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, namun dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau korelasi dengan insan dengan manusia, ialah hidup dalam penduduk . Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak ialah aspek yang gampang dicapai, mungkin cuma seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan itu yakni kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan.[7]

C.      Harun Nasution

1.         Riwayat Singkat Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya, Jabar Ahmad yakni seorang ulama yang mengenali kitab-kitab Jawi.

Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS. Selama tujuh tahun, Harun berguru bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan lazim di HIS itu, dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, harun memulai pendidikan Agama dari lingkungan keluarganya dengan mencar ilmu mengaji, shalat dan ibadah yang lain.[8] dia meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar ia kuliah juga di Universitas amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada pada tahun 1962.[9]

Setiba di tanah air pada tahun 1969 dia langsung terjun dalam bidang akademisi, yaitu menjadi dosen di IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan lalu juga pada Universitas Nasional. Harun Nasution yakni figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat sejak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu pastinya banyak ditopang kapasitas intelektualnya, dan lalu kedudukan formalnya sebagai rektor sekalibus salah seorang pengajar di IAIN.[10]

  Khawarij Dan Murji’Ah

2.     Pemikiran Harun Nasution

a.   Peranan Akal

  Bukanlah secara kebetulan jikalau Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh selaku materi kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan logika dalam system teologi suatau pedoman sungguh menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang anutan Islam. Berkenaan dengan logika ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan insan”.

Karena nalar insan mempunyai kemampuan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal insan, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal insan, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.[11]

Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak digunakan, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam kemajuan ajaran-fatwa keagamaan Islam sendiri. Pemikiran nalar dalam Islam ditugaskan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya jika ada penulis-penulis, baik di golongan Islam sendiri maupun di golongan non-Islam, yang beropini bahwa Islam yaitu agama rasional.[12]

b.   Pembaharuan Teologi

Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali terhadap teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pemahaman bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah menjinjing nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta mampu berdiri diatas kaki sendiri. Tidak heran bila teori modernisasi ini berikutnya memperoleh teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yaitu teologi Mu’tazilah.[13]

c.   Hubungan logika dan wahyu

Salah satu focus ajaran Harun Nasution ialah kekerabatan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa korelasi akal dan wahyu memang menjadikan pertanyaan, tetapi keduanya tidak berlawanan. Akal memiliki kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu mendapatkan bahwa wahyu telah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua persoalan keagamaan.[14]

Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, logika tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk terhadap teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal cuma memberi interpretasi kepada teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam bergotong-royong bukan logika dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan bergotong-royong dalam Islam ialah pendapat logika ulama tertentu dengan pertimbangan nalar ulama lain.[15]

D.      Penutup

Dari klarifikasi di atas mampu ditarik kesimpulan bahwa H.M. Rasyidi berpandangan bahwa ilmu kalam sama sekali berlainan dengan teologi. Beliau tidak sependapat dengan Harun yang sangat mengagungkan nalar yang mampu mengenali baik dan jelek dilihat dari perkembangan zaman.Tentang kepercayaan, Rasyidi mengatakan bahwa akidah bukan sekedar bersatunya insan dengan Tuhan, tetapi mampu dilihat dalam dimensi konsekuensial atau relasi manusia dengan manusia,adalah hidup dalam masyarakat. Makara, yang lebih penting dari faktor penyatuan itu yaitu doktrin, ibadah, dan kemasyarakatan.

  Ibnu Tufail

Sementara, Harun Nasution adalah seorang tokoh pemikir ilmu kalam/teologi di mana beliau memilki beberapa fatwa-fatwa terkait dengan problem ini, di antaranya ialah: ia pernah menulis bahwa Akal Melambangkan Kekuatan Manusia, hal ini mengartikan bahwa dengan nalar lah manusia mampu melakukan banyak sekali aktivitas yang berhubungan dengan keperluan hidupnya. Dengan akal insan mampu mengalahkan makhluk lain, dan bertambah tingginya logika insan maka bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan nalar insan, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.

Beliau juga berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) ialah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka, maka dari itu dia memiliki aliran perihal pembaharuan teologi. Beliaupun beropini bahwa ada relasi antara logika dan wahyu. Akal memiliki kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an, orang yang beriman tidak perlu mendapatkan bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua masalah keagamaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003

Faqih, Mansoer, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution, dalam Suminto

Halim. Abdul, Teologi Islam Rasional. Jakarta: Ciputat Pers, 2001

Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997

———————-, Teologi Islam Rasional ”Apresiasi Terhadap Wacana Praktis Harun Nasution” Ciputat: Cetakan, 2005

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 1983

—————–, Akal dan Wahyu dalam Islam Jakarta: UI Press, 1980

Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka Setia, 2006

Rasjidi, H.M. Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, Jakarta: Bulan Bintang, 1977

Rasjidi, H.M. Koreksi Terhadap Dr. Nurcholish Madjid ihwal Sekularisasi, Jakarta: Bulang Bintang, 1977

[1] Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 61

[2] H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 32

[3] H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution,…, hal. 33-34

[4] Ibid, hal. 52

[5] Ibid, hlm. 104

[6] H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulang Bintang, 1977), hlm. 61.

[7] Ibid, hlm. 63

[8] Abdul Halim. Teologi Islam Rasional. (Jakarta: Ciputat Pers, 2001) hlm. 3

[9] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003) hal. 240

[10] Ibid., hlm. 241

[11] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1983) hlm. 56.

[12] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1980) hlm. 101

[13] Mansoer Faqih, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution, dalam Suminto, hlm.167

[14] Anwar, Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003) hal. 243

[15] Nurcholis Madjid. Teologi Islam Rasional ”Apresiasi Terhadap Wacana Praktis Harun Nasution” (Ciputat: Cetakan, 2005), hal. 234