Pada masa global, aneka macam kajian mengenai Tionghoa semenjak tahun 1960an sampai Orde Baru terus berjalan dengan adanya faktor kebudayaan setempat yang terjadi sampai saat ini. Ketika hal ini menjadi penting dalam menyaksikan banyak sekali dilema sosial budaya di masyarakat lokal dikala ini.
Berbagai hal terkait dengan kebudayaan lokal akan lekat dengan budaya masyarakat, yang memiliki perbedaan kepada kebudayaan setempat hingga ketika ini. Tionghoa global akan memahami bahwa pendidikan yang dihancurkan dengan paham ideologi komunis pada periode pemerintahan Soeharto telah dilarang bahkan dibubarkan.
Kebebasan pendidikan Barat yang mempunyai acuan pikir manusia, kemudian di ubah menjadi awal dari kehidupan sosial di masyarakat, dan memperburuk berbagai duduk perkara pengetahuan terhadap Islam di Indonesia.
Di Jakarta kian berpengaruh dengan adanya pergantian lokal penduduk yang berada pada keadaan ekonomi politik yang berlawanan sampai dikala ini. Ketika hal ini menjadi penting dalam menyaksikan masalah langkah yang berbeda dengan keadaan di Pontianak.
Pendidikan yang dimasuki kaum birokrasi Tionghoa selaku permulaan perlawanan mereka kepada Tionghoa (djan) yang lantas baik dipahami dengan adanya kaum masyarakat Amerika Serikat, pada tata cara politik tanpa terkecuali mencoba – coba masuk dalam sekolahan Nasrani untuk mengajar, dengan sindikat agama kristiani yang memang berasal dari ketidakmaluaan mereka selaku orang pribumi dan partai politik Golkar sebelumnya.
Hal ini menerangkan bahwa banyak sekali persoalan penduduk di perkotaan khususnya pada kaum Tionghoa, yang mempunyai kepentingan ekonomi, jual beli, dan budaya dan agama sebelumnya. Hal ini untuk diketahui dengan adanya ketidaksenangan mereka terhadap pergantian politik ekonomi, dan kepentingan pendidikan di masyarakat saat ini.
Berbagai hal terkait dengan aspek kehidupan sosial budaya di penduduk , yang menempel pada problem penduduk Tionghoa khek – Tiochu disini Pontianak, akan berlainan dengan adanya Tionghoa Hokkien di Jakarta. Pembauran mampu di rasakan dengan paksa dengan adanya seksualitas yang dibawah tolok ukur yang berdampak pada kehidupan ekonomi di penduduk Tionghoa dikala ini.
Apa yang dihasilkan dalam kurun tersebut dikala Dayak berkuasa, dengan kebijakan yang mereka buat pada penduduk Melayu (lokal, Pontianak) yang tidak jauh pada rumpun mereka dikala ini. Ketika hal ini menjadi penting dalam menanggulangi aneka macam pertentangan sosial, agama dan budaya Tionghoa tidak berlainan jauh pada penduduk Tionghoa Pontianak, dengan mutu manusianya.
Memang dalam metode jual beli, mereka lebih pada mediator dapat dipahami dalam buku Orang Tionghoa Indonesia mencari identitas, Aimee Dawis, PH. D. Disamping itu konsumsi dan ekonomi banyak yang diimpor dari Barat, yang lekat pada industry tekstil, kuliner, dan teknologi, serta transportasi yang kemudian digunakan oleh penduduk pribumi di Indonesia.
Semakin banyak orang pribumi menggunakan produk impor, maka tidak lekat dengan ketidakmaluan mereka kepada penemuan dan wawasan yang memiliki patokan di masyarakat terbaru Negara maju dikala ini, terutama pada ekonomi di Jakarta.
Ketika mereka hidup dengan kepentingan ekonomi, politik dan birokrasi yang berada pada kekuasaan yang begitu rendah ketika ini. Keburukan kaum pribumi ketidasenangan Tionghoa – Dayak hasil asimilasi dan politik, tentunya.
pada metode pertanahan, konflik sosial dan ekonomi yang terus menggangu kehidupan sosial penduduk Tionghoa Jakarta, dengan cara upah pekerja rendah di Pontianak, sehingga persaingan timbul pada kelas sosial kebawah sebelumnya, sebenarnya yang sebelumnya dari pedesaan, di Indonesia 2002.