Bupati Garut R. Adipati Aria Wiratanudatar bareng para bawahannya 1880-1920 ( foto tropenmuseum) |
Perselisihan dimulai ketika pada 1918, pemerintah setempat memotong habis tanaman tembakau untuk diganti dengan flora padi.
Setahun kemudian, kekecewaan Haji Hasan Arif memuncak dalam bentuk penolakan untuk menjual hasil padi terhadap Wedana Leles.
Karena itu, Wedana mengancam akan menguras padi Haji Hasan Arif jikalau tidak memenuhi kewajibannya untuk menjual padi terhadap pemerintah sebanyak empat pikul padi setiap amis. Haji Hasan merasa berat untuk memasarkan 40 pikul untuk setiap wangi sawahnya alasannya adalah anggota keluarga yang ditanggungnya cukup banyak, yaitu 84 orang.
Ia mengirim surat kepada Asisten Residen Garut 24 April 1919 untuk menerangkan keadaannya dan meminta keringanan untuk memasarkan padinya cuma satu pikul setiap anyir.
Permintaan Haji Hasan ternyata dijawab lain. Pada 4 Juli, Asisten Reseiden, Bupati, Wedana, Camat, Penghulu, dan Komandan Pasukan Polisi dengan pasukannya sejumlah 60 orang menyerang rumah Haji Hasan.
Namun, mereka harus berhadapan dengan 300 orang pengikut Haji Hasan. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan itu, Asisten Residen menjajal berdiplomasi. Ia berjanji untuk menyampaikan seruan Haji Hasan ke Batavia. Sumber postingan: Buku Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda. Oleh Dr. Hj. Nina. H. Lubis.