Fungsinalisme : Etnisitas, Modernisasi, Dan Integrasi Sosial

Fungsinalisme : Etnisitas, Modernisasi, dan Integrasi Sosial 
Seperti dalam perkara Marxis kontemporer, tradisi Durkheimian mesti terlibat dengan lampiran salience of etnis sebagian besar tak terduga di kurun modern. Durkheim mempunyai doktrin bahwa obligasi etnis akan menurun karena industrialisasi, urbanisasi dan pembagian kerja yang lebih kompleks sama ditantang oleh realitas sosial seperti iman Marx bahwa kelas akan mengambil alih etnis dengan intensifikasi dan kemajuan kapitalisme. Reaksi neo-Durkheimian situasi tak terduga ini juga tiba dalam dua bentuk fungsionalis yang berbeda tetapi kompatibel: sebagai teori lazim penduduk dirumuskan melalui prinsip-prinsip fungsionalisme struktural, dan selaku teori spesifik perpecahan etnis diartikulasikan sebagai pendekatan penduduk beragam. Namun, tanggapan fungsionalis ke teka-teki etnis modernitas tidak menanggung kesamaan dengan neo-Marxis dalam upaya untuk menanggulangi dilema ini. Sebaliknya, tidak seperti aksentuasi Marxis pada perekonomian dan strategi usaha kelas, fungsionalisme telah menyebarkan sebuah respon yang betul-betul terfokus pada etnisitas selaku bentuk abnormal solidaritas kelompok, dan pada mode pendirian golongan etnis ke dalam kerangka lebih besar dari bangsa fungsional negara. Apalagi fungsionalisme, baik dalam bentuknya, tegas tetap setia pada prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh durkheimian pada posisi permulaan, dengan menekankan pada norma-norma, nilai-nilai dan gagasan sebagai generator utama pembangunan sosial. Meskipun fungsionalis kekinian telah mengembangkan lebih maju dan kompleks teoritis.
Durkheim berkeyakinan bahwa ikatan etnis akan menyusut saat industrialisasi, urbanisasi, dan pembagian kerja yang lebih kompleks berkuasa. Hal ini serupa dengan ditantangnya keyakinan Marx oleh realitas sosial bahwa kelas akan mengambil alih etnis dengan intensifikasi dan pertumbuhan kapitalisme. Reaksi neo-Durkheimian terhadap situasi tak terduga ini juga muncul dalam dua bentuk yang berlainan : selaku teori biasa penduduk yang dirumuskan lewat prinsip-prinsip struktural fungsionalisme dan selaku teori spesifik perpecahan etnis yang diartikulasikan sebagai pendekatan masyarakat beragam. Tidak mirip Marxist yang menekankan pada ekonomi dan strategi usaha kelas, fungsionalisme telah berbagi tanggapanyang sepenuhnya berfokus pada etnis sebagai bentuk khas solidaritas kalangan dan pada mode penggabungan kalangan etnis ke dalam kerangka bangsa-negara fungsional yang lebih luas. Fungsionalisme, dalam kedua bentuknya, sungguh-sungguh tetap loyal kepada prinsip-prinsip yang dibentuk oleh Durkheimian awal. Di mana hal yang disoroti yakni norma, nilai, dan wangsit selaku pembangkit utama pembangunan social. Walaupun para fungsionalis pada zamannya telah menyebarkan versi teoretis dan alat observasi yang lebih maju dan lebih kompleks untuk studi kehidupan social, mereka bahkan lebih bersikeras dalam memelihara peninggalan Durkheim dibandingkan dengan neo-Marxist dengan Marx. Dengan penerimaan yang mungkin akan brand neo-fungsionalisme Alexander, pendekatan para fungsionalis kepada etnis menempel dengan doktrin mereka bahwa proses modernisasi pada kesannya akan menghapuskan eksistensi etnisitas. 

Modernisasi dan Solidaritas Kelompok Etnik
Struktural-fungsionalisme merupakan perspektif sosiologi yang lebih banyak didominasi sepanjang tahun 1940, 1950, dan permulaan 1960. Ia sudah mengalami kebangkitan kembali sebagai neo-fungsionalisme di tahun 1980-an dan 1990-an. Sementara posisi teoretis sangat kaya dan beragam, etnisitas menjadi objek analisis cuma secara sporadis. Hanya dalam karya-karya Talcott Parsons dan Jeffrey Alexander seseorang dapat mendapatkan catatan fungsionalis perihal kekerabatan etnis yang koheren dan diartikulasikan dengan baik. Meskipun berlainan, interpretasi mereka tentang etnisitas dibangun atas dasar prinsip inti struKtural-fungsionalisme, di antaranya:
  • Masyarakat ialah metode social yang membagi pola nilai umum
  • Sistem sosial menghindari pertentangan dan bermaksud untuk merealisasikan kondisi wajar , di mana kondisi normal dianalogikan sebagai organisme yang sehat.
  • Bagian-bab dari metode secara biasa saling bergantung dan setiap bab mempunyai fungsi tertentu yang berkontribusi terhadap kesuksesan fungsi dan reproduksi metode selaku keseluruhan. 
  • Ketika metode berada dalam krisis, ia akan mencari jalan alternatif di mana bagian-bagiannya mampu diorganisasikan kembali untuk mencapai keadaan baru yang sebanding.
Talcott Parsons
Talcott Parsons lahir di Colorado, USA, pada tanggal 13 Desember 1902. Ketertarikannya dalam mengembangkan sosiologi banyak dipengaruhi oleh Weber, hal ini terbukti dari muatan disertasi doktoralnya yang membahas Weber. Sosok yang pernah menjadi dosen dan ketua jurusan sosiologi Universitas Harvard ini terkenal dengan pedoman-pemikirannya, utamanya Teori Struktural-Fungsionalisme. Pasca diterbitkannya the structure of social action, karir akademis Parsons maju pesat. Meski sempat dinilai berpandangan politik konservatif dan teorinya dianggap sangat konservatif, pemikirannya memiliki dampak yang luas dan beberapa mahasiswa yang sempat diajar Parsons berhasil menjadi para sosiolog yang populer sepeninggalannya. 
Ketika menganalisis peran etnis dalam jalannya sistem sosial, struktural-fungsionalis menggaungkan tiga topik dominan dalam teori etnisitas Durkheim : solidaritas kalangan etnis, fungsi golongan etnis sebagai petunjuk adab bagi sikap individu, dan persepsi bahwa modernisasi ialah proses yang menetralisir identitas etnik. 
Ketiga tema tersebut lalu diuji dalam teori metode Parson. Ketika mendiskusikan kekerabatan etnik, secara utama Parsons fokus pada analisis tata cara nilai bersama. Parsons melihat pelaku individu selaku makhluk normatif yang mana perilakunya secara luas diputuskan oleh impian normatif yang terinternalisasi secara mendalam. Aktor sosial yang diarahkan oleh tradisi budaya, yang dipakai bersama tata cara simbolis yang berfungsi dalam interaksi. Oleh sebab itu, metode lazim dan bukanlah pemain drama individu yang berada di garis depan teorinya. 
Parsons mengidentifikasi empat prasyarat utama biar metode mampu berfungsi dengan baik, yakni: 
1) Adaptasi
Adaptasi berhubungan dengan kemampuan sistem untuk mengamankan dan mendistribusikan sumber daya yang mencukupi dari lingkungan.
2) Pencapaian tujuan
Pencapaian tujuan berkaitan dengan potensi tata cara untuk memobilisasi sumber daya mereka dan sumber daya yang lain dan untuk meraih tujuan metode lewat penciptaan hirarki tujuan.
3) Integrasi
Integrasi melibatkan regulasi, adaptasi, dan koordinasi banyak sekali aktor dan unit dalam sistem dengan persepsi mempertahankan metode operasional. 
4) pemeliharaan pola laten (Latensi)
Pemeliharaan acuan laten berhubungan dengan kemampuan tata cara untuk memelihara nilai-nilai utama tata cara sebagai keseluruhan, di mana pelaku sosial mesti dimotivasi untuk mengurus ketegangan dan melestarikan teladan-contoh budaya yang lebih banyak didominasi dari sistem. 
Berdasarkan Parsons (1966), metode aksi juga mengalami pergantian sosial. Berfokus pada evolusi sistem sosial, beliau berpendapat bahwa penduduk berkembang melalui proses diferensiasi yang berkembangsecara terus-menerus, yang mana melibatkan peningkatan dalam pembagian kerja yang mempunyai pengaruh pada terciptanya sub-sistem baru. Struktur baru ini condong menjadi lebih terspesialisasi dalam fungsinya dan mesti menjadi lebih adaptif dalam lingkungan yang baru dan jauh lebih kompleks. Diferensiasi ialah prasyarat bagi kemajuan teknologi, keutamaan, sekularisasi, dan modernisasi. Dominasi tugas korelasi menyusut saat metode yang lebih kompleks mengharuskan meritokrasi. Menurut Parsons, tata cara memerlukan penyertaan dalam status keanggotaan penuh dalam tata cara penduduk umum yang berhubungan dari kelompok-golongan yang sebelumnya dikecualikan yang telah dikembangkan kapasitas yang sah untuk berkontribusi pada tata cara berfungsi. tata cara yang kompleks juga menetapkan generalisasi nilai, yaitu pengembangan acuan nilai lazim dimiliki oleh sebagian besar penduduk, mirip patriotisme negara bukan lampiran golongan tertentu. Namun, sistem juga mampu mengalami penurunan dalam pembagian kerja ketika sub-sistem memikul fungsi lebih, mengarah pada proses de-diferensiasi.
Lalu, di mana kawasan untuk etnisitas? Parsons mendefinisikan golongan etnik sebagai kumpulan unit relasi, anggota yang baik menelusuri asal mereka dalam hal keturunan dari nenek moyang atau dalam hal keturunan dari leluhur yang seluruhnya berasal dari kelompok etnis yang dikategorikan sama. Etnisitas dilihat oleh Parsons selaku golongan yang didefinisikan secara menyebar, dengan rasa unik identitas yang tertanam dalam arti khas dari sejarahnya. Berdasarkan penitikberatan Durkheim pada solidaritas golongan, Parsons berpendapat bahwa ciri sosiologis utama dari golongan etnis ialah daya tahan golongan transgenerational mereka. Meskipun menyebar, etnisitas ialah bentuk khusus dari solidaritas kalangan, terdiri dari dua bangunan penting : tradisi budaya blok-transgenerational dan kepatuhan sukarela kepada kelompok. Ketika kesepakatan sukarela untuk loyalitas kelompok merupakan kekuatan yang signifikan itu betul-betul dampak dari tradisi budaya, yang mencakup pemeliharaan bahasa biasa , sejarah kebudayaan lazim, atau cita-cita normatif untuk kelanjutan dari tradisi tertentu yang tetap menentukan pelestarian solidaritas kalangan etnis.
Sehubungan dengan teori tata cara umum Parsons, etnisitas milik tata cara gadai (gotong royong dengan metode pendidikan atau keluarga), yang bertanggung jawab untuk transmisi nilai-nilai mayoritas, ialah untuk proses sosialisasi dan internalisasi norma-norma kelompok. Namun, etnis berlawanan dari ’kumpulan dengan fungsi tertentu’ sebab ialah adonan dari jenis penduduk dan korelasi. Solidaritas kalangan etnis pribadi mensyaratkan bahwa golongan etnis bertindak sebagai penjaga budpekerti sikap individu dan kalangan. Kelangsungan tradisi budaya menyiratkan sebuah link simbolik antara mereka yang hidup, mereka yang mati, dan mereka yang belum lahir. Pelestarian simbol etnis mirip bahasa, agama, akhlak istiadat tertentu, kebiasaan makan, atau busana tradisional membentuk relasi antara masa depan, lalu, dan sekarang. Contohnya, mengenakan sorban Sikh di New York atau London tidak hanya merupakan simbol dari masa kemudian, tetapi yang lebih penting, itu yakni pernyataan ihwal abad depan. Ini menunjukkan tanggung jawab etika untuk menyampaikan tradisi kelompok etnis dan, secara berbarengan, ini merupakan indikator dari nilai sopan santun dari Sikh individu tertentu. Dalam konteks ini, suatu kalangan etnis berperan selaku komunitas susila, di mana Durkheimian mengartikan: batas-batas kelompok etnis mengatur batasan sikap adab.
Sama mirip dalam konteks korelasi individu, anak ialah dari orang tua, sehingga dalam suatu komunitas warga masyarakat yaitu salah satu ahli waris leluhur di komunitas penduduk dan akan menjadi salah satu nenek moyang masyarakat abad depan sehingga banyak konsekuensi dari langkah-langkah-tindakan sezaman tidak mampu dilepaskan oleh anggota periode mendatang pada generasi baru. (Parsons dalam Malesevic, 2004:48)
Bagian terakhir dari teori korelasi etnik milik Parson berafiliasi dengan pengaruh modernisasi kepada etnis. Sejalan dengan teori evolusi tentang pembangunan sosial, ia melihat identitas etnis sebagai kemunduran ke masa kemudian yang secara sedikit demi sedikit akan menghilang dalam mendukung identitas nasional. Divisi kerja yang lebih kompleks, rasionalisasi lembaga sosial, industrialisasi, perluasan metode komunikasi massa, kenaikan pesat dalam mobilitas spasial dan sosial serta urbanisasi sudah mengubah huruf golongan etnis. Dengan kedatangan modernisasi dan pengembangan penduduk industri, golongan-golongan etnis telah kehilangan fungsi struktural dan telah menjadi kelompok budaya dan simbolik. Parsons beropini bahwa kelompok-kelompok etnis mengalami proses de-sosialisasi, yang mempunyai arti etnisitas cuma bertahan dalam bentuk, sedangkan isinya telah berganti untuk mengakomodasi kebutuhan struktural suatu masyarakat industri: simbol etnis kosong penunjukidentitas kelompok. De-sosialisasi etnis merupakan aspek perubahan sejarah yang lebih luas perbedaan evolusi penduduk . 
kebangkitan etnis tahun 1960-an dan 1970-an, bagaimanapun, menunjukkan bahwa etnisitas tidak lenyap sebagai teori yang diprediksi. Parsons melihat pertumbuhan ini sebagai bentuk regresi sosial yang dapat dijelaskan dengan pemberian desain tentang de-diferensiasi. Menurut Parsons kecenderungan de-differentiating adalah untuk menentukan persyaratan tertentu dan menggunakannya sebagai kenali simbol untuk apa orang-orang berkelompok sesungguhnya. Parsons menerangkan bahwa de-diferensiasi dalam hal ini timbul sebagai balasan dari perubahan sosial yang dramatis dan cepat, yang menjadikan keadaan anomie, aleanasi individu, dan intensifikasi kalangan. Dalam struktur sosial plural masyarakat industri modern, individu dipaksa untuk berperan dengan banyak identitas dengan melaksanakan tugas sosial ganda dan acap kali menjadikan pertentangan. Intensifikasi identitas (etnis) golongan memberikan rasa aman, ketenangan, dan stabilitas. Namun, versi ini terbukti terlalu sempit untuk memuat ledakan yang tidak diperkirakan dari sentimen kalangan etnis dari tahun 1960-an dan seterusnya. 
Untuk menangani sebuah acara penelitian statis dan kebanyakan anti-empiris, Alexander sudah berusaha untuk merumuskan dan merevisi beberapa prinsip sentra struktural-fungsionalisme. Upaya ini, gres yang lebih sintetik, yakni disebut ‘neo-fungsionalisme’. Neo-fungsionalisme berupaya untuk lebih analisis empiris dan historis, Pemahaman yang lebih baik-bernuansa pertentangan dan penggabungan kontingensi dan pergeseran sosial serta analisis yang lebih mikro. Alexander juga bertujuan untuk memperluas teori Parsons ‘relasi etnis untuk berurusan dengan saliance identitas golongan etnis di abad kontemporer.
Tidak seperti Parsons, Alexander menyatakan atribut peran yang signifikan terhadap lampiran primordial’ dalam retensi identitas kalangan etnis, dan bahkan mendefinisikan etnis di sepanjang garis-garis ini. ‘Kita mendefinisikan etnisitas sebagai mutu primordial nyata atau dicicipi yang terhutang kepada kalangan berdasarkan ras bareng , agama, atau asal negara, tergolong dalam klasifikasi yang terakhir atribut budaya bahasa dan yang lain yang berhubungan dengan keturunan teritorial lazim’. Dia kritis kepada rasionalisme pencerahan yang diilhami dan klasik struktural-fungsionalisme yang melihat, dalam model evolusi linear, etnis selaku peniggalan kurun lalu akan menghilang di bawah roda modernisasi seragam. Dalam pandangannya, diferensiasi adalah proses yang dinamis dan tidak merata tergantung pada tingkat inklusi sosial, ialah, atas pergeseran ‘solidaritas status’. Menurut alexander tingkat dan contoh solidaritas kelompok memilih harapan inklusi sosial di dalam masyarakat tertentu. Dimasukkannya kelompok etnis tergantung pada dua kunci-variabel aspek lingkungan (eksternal) dan aspek (internal) kehendak. Sedangkan aspek lingkungan termasuk ‘struktur penduduk yang mengelilingi kalangan inti’. aspek kehendak ‘mengacu pada hubungan antara kualitas primordial kalangan inti dan outgroup. Dalam kata-kata aspek eksternal meliputi struktur sosial masyarakat tertentu (tata cara contohnya, ekonomi, politik atau agama) sedangkan aspek internal terkait dengan spesifikasi budaya dari kelompok etnis individu dalam masyarakat. Alexander percaya bahwa intensitas diferensiasi struktural dalam sesuai dengan faktor lingkungan memilih tingkat inklusi sosial, sementara kemauan dibentuk oleh ‘saling melengkapi primordial’ antara kelompok.
Alexander tidak mirip Parsons, menyaksikan integrasi sosial tidak selaku fakta yang diberikan tetapi sebagai kemungkinan sosial. Ia mengidentifikasi tiga arah potensial yang mobilisasi etnis dan inklusi dapat mengambil: asimilasi, etnis inklusi sadar, dan pemisahan diri oleh etnis. Ketika aspek diferensiasi pertumbuhan lingkungan intensif dan aspek internal memungkinkan untuk penutupan ‘kesenjangan primordial’, di luar kalangan etnis memiliki kedudukan untuk mengidentifikasi dengan ‘mutu primordial kelompok inti’ ialah, untuk menjadi berasimilasi. dalam suasana saat ada tingkat yang lebih besar dari ‘perbedaan primordial’ antara golongan dan kurangnya diferensiasi struktural penting, golongan etnis lebih cenderung mendukung agresi sosial kelompok-berpusat dan berusaha prefential sama atau akses ke forum negara. ini yaitu kasus inklusi etnis sadar. Dalam kondisi di mana terdapat perbedaan struktural minim atau tidak ada atau tidak fleksibel luas dalam hal ‘perbedaan primordial’ dan di mana ada aspek geo-politik yang menguntungkan, kesadaran etnis yang berpengaruh cenderung mengarah pada pemisahan diri etnis. Di ketiga dari ‘seni manajemen incorporative’ ini berbeda peran sentral dihubungkan dengan solidaritas, karena golongan etnis dilihat sebagai ‘yang didirikan oleh kelompok solidaritas utama’ diferensiasi tidak rata mempengaruhi tingkat permusuhan antar kalangan tetapi apa yang penting bagi Alexander dalam klarifikasi antagonisme ini yakni fokus ‘kualitas primordial’ yang spesifik dari golongan etnis tertentu.
Seperti asumsinya : ‘pada sumbu internal, inklusi bermacam-macam menurut tingkat komplementaritas primordial antara kelompok inti dan outgroup solidaritas. pada sumbu eksternal, inklusi bermacam-macam sesuai dengan tingkat diferensiasi institusional dalam penduduk tuan rumah. di jantung posisi ini yaitu pandangan bahwa konflik antara kalangan-kelompok etnis lebih berhubungan dengan nilai-nilai kalangan lebih banyak didominasi daripada bahan kepentingan individu atau kalangan.
Akankah etnisitas lenyap dalam modernisasi???
Pembahasan apakah etnisitas akan lenyap seiring kemajuan modernisasi dalam buku Sinisa ini menggunakan dua kerangka fikir dari versi strukturalisme-fungsional dari Durkheim, Talcot Parson dan beberapa tokoh sosiologi lain; serta dari teori-teori masyarakat plural.
Awal pembahasan dalam buku ini dalam pembahasan “akankah etnisitas lenyap dalam modernisasi” membicarakan tentang teori struktural-fungsional yang dicoba disandingkan dengan teori wacana masyarakat plural
Bagi para fungsionalis dikala berbicara tentang etnisitas, menurut pendapat mereka etnisitas mempunyai tiga kelemahan berikut: 
1. Hubungan-relasi etnis begitu terikat dengan kuat untuk melaksanakan proses modenisasi satu arah.
2. pendekatan ini terlalu melebih-lebihkan nilai-nilai dan norma-norma melampaui minat-minat dan keefektifan pada analisis ini atas aksi individu dan group dalam etnis.
3.pendekatan ini tidak mampu untuk menjelaskan bentuk-bentuk dramatis dari pergantian sosial seperti pertentangan antar etnis.
Baik kerangka fungsionalis berpegang teguh pada apa yang Durkheim yakini bahwa ‘‘etnisitas akan menurun selaku meritokrasi dan masyarakat industri individualis; etnisitas menghilang sebagai bentuk bentuk asosiasi modern mengambil alih bentuk-bentuk mirip indentifikasi dan penambahan” (Fenton, 1980: 173); walaupun politik etnis banyak digunakan pada masa modern ini, tetapi para fungsionalisme menganggap bahwa fenomena ini tidak lebih dari relic dari kurun kemudian.
Bagi parson, kekhasan dari identitas kelompok etnis ialah fenomena sementara, suatu kejanggalan yang disebabkan oleh de-defrensiasi yang sejalan dengan pergantian sosial yang dramatis. Ketika pergantian sosial telah berakhir, proses evolusia akn berlanjut selaku tata cara sosial yang terus bergerak kearah yang lebih kompleks diferensiasinya dan selaku bentuk baru dari solidaritas organik.
Parson condong menyaksikan modernisasi akan menggerus adanya kekhasan etnis ama seperti asumsi bahwa etnisitas akan menjadi bentuk-bentuk perkumpulan modern; nyaris sama dengan apa yang diungkapkan Durkheim.
Beranjak dari usulan pada fungsionalis, Olzak & Nigel tidak menggambarkan proses modernisasi yang dialami oleh kelompok etnis tak sama dengan durkheim atau parson. Menurut mereka Etnis ataupun kekhasannya takkan lenya dan menjadi golongan/ perkumpulan terbaru lain yang berbasis industri, melainkan etnisitas menjadi sumber daya yang penting dalam kepentingan politik maupun ekonomi; dengan kata lain modernisasi berimbas pada kekerabatan-kekerabatan etnis, bukan membuatnya menghilang.
Etnisitas juga ialah modal simbolik dan modal kultural; hal ini mengindikasikan persepsi para fungsionalis atas grup etnis selaku entitas primordial benar-benar keliru.
Grup etnis secara lazim mengklaim kelanjutan historis atas moyang mereka, secara sosiologis mereka menyatakan bahwa mereka merupakan bab dari perkumpulan dengan bentuk yang baru yang lalu disebut sebagai “primordial attachment”
Jenkins berpendapat bahwa golongan-golongan yang menjaga nama-nama dari para moyang mereka namun secara praksis (dalam aksinya ) kerap kali begitu berbeda.
Baik struktural-fungsional maupun teori-teori penduduk plural konsern pada individu dan terlebih lagi sebagai produk dari kebudayan mereka mirip tata cara kultural dan kesatuan etnis.
Baik posisi-posisi yang telah diatur selaku tujaun eksplisit maupun implisit mereka yaitu inkorporasi dari berbagai etnis yang berlainan secara kolektif kedalam satu metode nilai tunggal yang lebih banyak didominasi.
Penulis berpendapat bahwa adanya pluralisme mengindikasikan adanya ketakmampuan adanya tata cara nilai tunggal sebagai pemersatu, atau mampu juga sebab memang pluralisme merasa bahwa penduduk merupakan kumpulan masyarakat yang berlainan yang menyatu secara utuh.