Filsafat Ilmu

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan memaparkan ihwal cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama disebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana relasi antara objek tadi dengan daya tangkap insan (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan wawasan?. Kedua

disebut dengan landasan epistimologis; berupaya menjawab bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya wawasan yang berbentukilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diamati supaya kita menerima pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/teknik/fasilitas apa yang membantu seseorang dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Sedang yang ketiga, disebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa wawasan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah budpekerti? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah menurut opsi-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang ialah operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma budpekerti/professional?[1]

A.   Ilmu dan Pengetahuan
Sebelum masuk ke dalam pembahasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, perlu kiranya dijelaskan apa yang dimaksud dengan Ilmu dan Pengetahuan.
Menurut Ahmad Tafsir, “orang-orang yang mempelajari bahasa Arab mengalami sedikit kebingungan tatkala menghadapi kata “ilmu”. Dalam bahasa Arab kata “al- ‘ilm” berarti pengetahuan (knowledge), sedangkan kata ilmu dalam bahasa Indonesia lazimnya merupakan terjemahan dari science. Ilmu dalam arti science itu cuma sebagian dari al- ‘ilm dalam bahasa Arab. Karena itu menurut beliau kata science sebaiknya diterjemahkan sain saja. Alasan ia adalah supaya orang yang memahami bahasa Arab tidak resah membedakan ilmu (sain) dengan kata al- ‘ilm yang mempunyai arti knowladge.[2]
Tawaran yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir menurut penulis tidaklah terlalu penting, alasannya pembedaan antara ilmu dalam bahasa Arab dengan ilmu dalam bahasa Indonesia sudah biasa dikenali.
Kata sain atau ilmu dalam bahasa Indonesia mempunyai bermacam defenisi. Di antara defenisi tersebut adalah apa yang dikemukakan oleh Mohammad Nasir dalam bukunya:
1.     Ilmu yakni wawasan yang bersifat umum dan sistematik, wawasan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu berdasarkan kaidah yang biasa”
2.     Ilmu ialah wawasan yang telah dicoba dan dikelola menurut urutan dan arti serta menyeluruh dan sistematik.[3]
Dari dua defenisi di atas mampu dikenali bahwa ilmu ialah pengetahuan yang sudah teruji dan dapat diterima secara lazim.
Sementara pengetahuan sendiri adalah semua yang diketahui.[4] Semua hal yang dikenali baik dilakukan secara sadar maupun tidak, artinya pengetahuan bukanlah harus didapat dengan cara mencar ilmu, alasannya proses perjalanan hidup akan membuat seseorang menemukan bermacam wawasan dengan sendirinya.
Pengetahuan diperoleh karena adanya rasa ingin tahu, dan apa yang dikenali sehabis itu disebut sebagai pengetahuan.[5]
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa secara mendasar, ilmu dan wawasan memeliki esensi yang berlawanan, di mana ilmu ialah sesuatu yang telah diketahui secara umum dan memiliki kaedah-kaedah tertentu dan telah teruji, sementara wawasan yaitu segala sesuatu yang dikenali baik secara sadar maupun tidak dan tidaklah harus teruji, alasannya dia juga lahir dari pengalaman yang belum pasti orang yang satu dengan yang lain mempunyai pengalaman yang berlawanan. Sehingga mampu ditarik kesimpulan bahwa wawasan lebih bersifat biasa , atau dapat disebut juga bahwa ilmu atau sain bagian dari pengetahuan.
B.    Pengertian Ontologi
Ontologi ialah salah satu kajian filsafat yang pling kuno yang berasal dari Yunani. Sasarannya ialah segala hal yang keberadaannya realistis. Tokoh Yunani yang mempunyai persepsi yang bersifat ontologis dikenal mirip Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal selaku filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang ialah asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting yaitu pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada bangun sendiri).
Ontologi berisikan dua suku kata, ialah ontos dan logos. Ontos memiliki arti sesuatu yang berwujud (being) dan logos mempunyai arti ilmu. Kaprikornus ontologi yaitu bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada berdasarkan tata korelasi sistematis berdasarkan aturan alasannya akibat ialah ada insan, ada alam, dan ada kausa prima dalam sebuah hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keserasian.[6] Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu ialah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi ialah ilmu yang mempelajari perihal hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan menurut pada logika semata.
Sasaran kajian ontologi adalah segala sesuatu yang ada. Studi wacana yang ada, pada dataran studi filsafat kebanyakan dikerjakan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak dipakai saat kita membicarakan yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membicarakan apa yang ingin dikenali atau dengan kata lain ialah suatu pengkajian tentang teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu bekerjasama dengan bahan yang menjadi obyek penelaahan ilmu. Berdasarkan obyek yang sudah ditelaahnya, ilmu mampu disebut selaku pengetahuan empiris, alasannya obyeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh faktor kehidupan yang mampu diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan agama dan bentuk-bentuk pengetahuan lain, ilmu menghalangi diri cuma terhadap kejadian-insiden yang bersifat empiris, senantiasa berorientasi kepada dunia empiris.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat ihwal apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu. Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada kesudahannya memilih usulan bahkan dogma kita masing-masing tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.[7] 
Berbeda dengan Kattsoff, beliau menyatakan bahwa duduk perkara ontologi terdiri dari hakikat “yang ada” dan hakikat kenyataan. Adapun hakikat keberadaan ialah bidang garapan filsafat alam (kosmologi). [8]
Sementara Amsal Bakhtiar menunjukkan citra yang seperti perihal ontologi, ialah “Ilmu yang membicarakan wacana hakikat yang ada, yang ialah ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/nyata maupun rohani/absurd”.[9]
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam kasatmata ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato ialah definisi atau desain universal dari tiap sesuatu.
Pokok tinjauan Plato yaitu mencari wawasan tentang wawasan. Ia bertolak dari pedoman gurunya Sokrates yang mengatakan “kebijaksanaan adalah tahu”. Budi yang menurut wawasan mengharapkan suatu aliran ihwal pengetahuan dasar filosofi. Pertentangan antara fikiran dan padangan menjadi ukuran bagi Plato. Pengertian yang mengandung di dalamnya wawasan dan kecerdikan, yang dicarinya bahu-membahu Sokrates, pada hakekatnya dan asalnya berlainan sama sekali dari panorama. Sifatnya tidak diperoleh dari pengalamanan. Pemandangan hanya alasan untuk menuju pengertian. Ia diperoleh oleh perjuangan nalar sendiri.[10]
Ontologi mampu mendekati problem hakikat realita dari dua macam sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan “realita itu tunggal atau jamak”? yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang mampu juga bertanya, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?” yang demikian itu merupakan pendekatan secara kualitatif. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh perihal dunia ini dan berkhasiat bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Oleh sebab itu dapat dimengerti bahwa ontologi ilmu berarti ilmu dalam hubungannya dengan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan insan. Tanpa manusia ilmu tak pernah ada. Tetapi bagaimana halnya dengan eksistensi insan tanpa ilmu? Mungkinkah itu ada? Pertanyaan ini mampu dijawab dengan pernyataan Deskrates yang menekankan pentingya kecakapan berpikir dalam skeptisimanya yang radikal, yang diungkap dalam “Cogito ergosom” (saya bepikir maka saya ada). Dengan demikian, dapat dibilang bahwa ontologi ialah dasar ajaran filsafat.
Ontologi selaku cabang filsafat yang membicarakan ihwal hakikat benda bertugas untuk menawarkan balasan atas pertanyaan “apa bergotong-royong realitas benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa pemikiran dalam persoalan eksistensi, adalah:
1.     Monisme; yang mempercayai bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada yaitu satu saja, baik yang asa itu berupa bahan maupun ruhani yang menjadi sumber lebih banyak didominasi dari yang yang lain. Para filosof pra-Socrates seperti Thales, Demokritos, dan Anaximander tergolong dalam kalangan Monisme, selain juga Plato dan Aristoteles. Sementara filosof Modern mirip I. Kant dan Hegel yakni penerus kelompok Monisme, khususnya pada persepsi Idealisme mereka.
2.     Dualisme; kalangan ini meyakini sumber asal segala sesuatu berisikan dua hakikat, yang spirit dan jasad. Asal yang materi berasal dari yang ruh, dan yang ruh berasal dari yang bahan. Descartes yaitu pola filosof Dualis dengan ungkapan dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
3.     Pluralisme; kelompok ini berpandangan bahwa hakikat kenyataan ditentukan oleh realita yang jamak/berganti-ubah. Filosof Klasik, Empedokles, adalah tokoh Pluralis yang mengatakan bahwa realita tersusun oleh banyak unsur (tanah, air, api, dan udara). Tokoh Pragmatisme, William James juga seorang Pluralis yang beropini sebab pengalaman kita senantiasa berubah-ubah, maka tidak ada kebenaran hakiki kecuali kebenaran-kebenaran yang senantiasa diperbaharui oleh kebenaran selanjutnya.
4.     Nihilisme; golongan Nihilis diprakarsai oleh kaum Sofis di periode Klasik. Mereka menolak doktrin perihal realitas hakiki. Realitas, berdasarkan mereka adalah tunggal sekaligus banyak, terbatas sekaligus tidak terbatas, dan tercipta sekaligus tidak tercipta. Selain tokoh Sofis, Friedrich Nietzsche yaitu tokoh filosof Eropa yang sungguh bertemaNihilisme, hingga dia meniadakan keberadaan Tuhan “Allah telah mati”
5.     Agnostisisme; pada intinya Agnostisisme adalah paham yang mengingkari bahwa manusia mampu mengetahui hakikat yang ada baik yang berupa materi ataupun yang ruhani. Aliran ini juga menolak wawasan manusia tentang hal yang transenden. Contoh paham Agnostisisme yaitu para filosof Eksistensialisme, seperti Jean Paul Sartre yang juga seorang Ateis. Sartre menyatakan tidak ada hakikat ada (being) insan, namun yang ada yaitu keberadaan (on being)-nya.[11]
C.   Pengertian Epistemologi
Ontologi berupaya secara reflektif wacana “yang ada”. Adapun epistemologis membahas perihal terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh insan berafiliasi satu sama lain, dan standar keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, adalah nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung terhadap ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan selaku ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai teladan, dasar dari semua ilmu empirik ialah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat ialah dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu akal yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berhubungan dengan cara berpikir yang benar, ditaruh selaku pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu dia bisa diposisikan selaku dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.
1.     Epistomologi berasal dari bahasa Yunani ”episteme” dan ”logos”. ”Episteme” mempunyai arti pengetahuan (knowledge),”logos” bermakna teori. Dengan demikian epistomologi secara etimologis bermakna teori pengetahuan.[12] Epistomologi mengkaji tentang apa bahwasanya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan mempersempit batasan tersebut, Brameld (dalam Mohammad Noor Syam), mendefinisikan epistomologi selaku “it is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student”. Definisi tersebut mampu diterjemahkan selaku “epistomologi memperlihatkan iman dan jaminan bagi guru bahwa ia menawarkan kebenaran terhadap murid-muridnya”.[13]
Pada dasarnya, insan ingin menggapai sebuah hakikat dan berupaya mengenali sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sungguh mengerti dan menyadari bahwa:
1.       Hakikat itu ada dan positif;
2.       kita bisa bertanya wacana hakikat itu;
3.       hakikat itu bisa diraih, dikenali, dan dipahami;
4.       insan bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan anggapan insan mampu menjawab persoalan-duduk perkara yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan wawasan tidak tertutup bagi insan. 
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan hubungan eksak antara ‘alim (subjek) dan ma’lum (obyek). Atau dengan kata lain, epistemologi yaitu bab filsafat yang meneliti asal-permintaan, perkiraan dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam memilih suatu versi filsafat. Dengan pemahaman ini epistemologi pastinya memilih aksara wawasan, bahkan memilih kebenaran, mengenai hal yang dianggap layak diterima dan apa yang pantas ditolak. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:
1.     Dari manakah saya berasal?
2.     Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?
3.     Apa hakikat manusia?
4.     Tolok ukur kebaikan dan kejelekan bagi insan?
5.     Apa faktor kesempurnaan jiwa insan?
6.     Mana pemerintahan yang benar dan adil?
7.     Mengapa keadilan itu adalah baik?
8.     Pada derajat berapa air mendidih?
9.     Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya?
10. dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam pasti mencari balasan dan penyelesaian atas persoalan-problem tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai sebuah hakikat dan berusaha mengenali sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sungguh memahami dan menyadari bahwa: Hakikat itu ada dan konkret dan Hakikat itu bisa diraih, dimengerti, dan diketahui. Keraguan-keraguan perihal hakikat fikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan fikiran, mutu pencerapan anggapan terhadap obyek dan realitas eksternal, kriteria kebenaran hasil fikiran, dan sejauh mana kesanggupan logika-pikiran dan indera mencapai hakikat dan mencerap obyek eksternal, masih merupakan masalah-masalah nyata dan kekinian bagi insan. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan kadang kala kita membicarakan ihwal ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indera. Semua dilema ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batas-batas, dasar dan pondasi, alat, standar, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan insan. Pokok Bahasan Epistemologi dengan mengamati definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi yakni ilmu, makrifat, dan wawasan.
Dalam Epistemologi terdapat beberapa cakupan yang dalam hal ini, ada dua poin penting akan dijelaskan:
1.     Cakupan pokok bahasan, ialah apakah subyek epistemologi yaitu ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus. ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan penginderaan ialah mampu dijadikan selaku subyek dalam epistemologi. Terdapat tiga persoalan pokok dalam epistomologi adalah:
a.      Apakah sumber-sumber wawasan? Dari manakah wawasan yang benar itu datang?
b.     Apakah watak dari wawasan? Adakah dunia yang real di luar nalar dan kalau ada dapatkah kita mengatahui? Ini yaitu masalah performa (appearance) kepada realitas.
c.      Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan kebenaran dan kekeliruan? Ini yaitu dilema menguji kebenaran (verivication).[14]
2.     Sudut pembahasan, yaitu bila subyek epistemologi yaitu ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berlawanan bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan yaitu dari segi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan di bidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penelisikan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab datangnya penginderaan ialah dibahas dalam ilmu akal. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek efek umur insan terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat kuat dalam pemahaman mendalam wacana perbedaan-perbedaan ilmu.
3.     Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan wawasan. Dengan demikian, ilmu yang diartikan selaku keumuman penelisikan dan penginderaan yakni mampu dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Epistemologi ilmu, meliputi sumber, fasilitas , sistem memakai sarana tersebut untuk meraih wawasan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya menimbulkan perbedaan dalam memilih fasilitas yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal kecerdikan (vernuft), pengalaman, atau variasi antara nalar dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga diketahui versi-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan positivisme. Ditunjukkan pula bagaimana keunggulan dan kelemahan sebuah versi epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, dan teori intersubjektif.[15] Berikut ialah aliran-fatwa dalam epistemologis.
1.     Rasionalisme
Aliran ini berpendapat semua wawasan bersumber dari akal asumsi atau ratio. Tokohnya antara lain: Rene Descrates (1596 – 1650), yang membedakan adanya tiga idea, yakni: innate ideas (idea bawaan), yakni sejak insan lahir, adventitinous ideas, yakni idea yang berasal dari luar manusia, dan faktitinous ideas, adalah idea yang dihasilkan oleh fikiran itu sendiri. Tokoh lain adalah: Spinoza (1632-1677), Leibniz (1666-1716).
2.     Empirisme
Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan insan diperoleh lewat pengalaman indera. Indera mendapatkan pengalaman (kesan-kesan) dari alam empiris, selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri insan menjadi pengalaman. Tokohnya antara lain:
a.      John Locke (1632-1704), beropini bahwa pengalaman mampu dibedakan menjadi dua macam ialah: (a) pengalaman luar (sensation), yaitu pengalaman yang diperoleh dari luar, dan (b) pengalaman dalam, batin (reflexion). Kedua pengalaman tersebut merupakan idea yang sederhana yang lalu dengan proses asosiasi membentuk idea yang lebih kompleks.
b.     David Hume (1711-1776), yang meneruskan tradisi empirisme. Hume beropini bahw pandangan baru yang sederhana yakni salinan (copy) dari sensasi-sensasi sederhana atau ilham–wangsit yang kompleks dibentuk dari variasi wangsit-pandangan baru sederhana atau kesan–kesan yang kompleks. Aliran ini lalu meningkat dan memiliki dampak yang sungguh besar kepada kemajuan ilmu wawasan utamanya pada era 19 dan 20.
3.     Realisme
Realisme ialah sebuah ajaran filsafat yang menyatakan bahwa obyek-obyek yang kita serap melalui indera yakni aktual dalam diri obyek tersebut. Obyek-obyek tersebut tidak tergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata lain tidak tergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, tetapi interaksi tersebut mempengaruhi sifat dasar dunia tersebut. Dunia sudah ada sebelum asumsi menyadari serta akan tetap ada sehabis asumsi berhenti menyadari. Tokoh aliran ini antara lain: Aristoteles (384-322 SM), menurut Aristoteles, realitas berada dalam benda-benda kongkrit atau dalam proses-proses perkembangannya. Dunia yang faktual yaitu dunia yang kita cerap. Bentuk (form) atau idea atau prinsip keteraturan dan materi tidak mampu dipisahkan. Kemudian pedoman ini terus menjelma aliran realisme gres dengan tokoh George Edward Moore, Bertrand Russell, selaku reaksi terhadap aliran idealisme, subjektivisme dan absolutisme. Menurut realisme gres : eksistensi obyek tidak tergantung pada diketahuinya obyek tersebut.
4.     Kritisisme
Kritisisme menyatakan bahwa logika menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiri (yang meliputi indera dan pengalaman). Kemudian logika akan menempatkan, mengendalikan, dan menertibkan dalam bentuk-bentuk observasi adalah ruang dan waktu. Pengamatan merupakan permulaan wawasan sedangkan pengolahan nalar merupakan pembentukannya. Tokoh ajaran ini ialah Immanuel Kant (1724-1804). Kant mensintesakan antara rasionalisme dan empirisme.
5.     Positivisme
Tokoh pedoman ini diantaranya adalah August Comte,yang mempunyai persepsi sejarah perkembangan pedoman umat insan dapat dkelompokkan menjadi tiga tahap, yakni:
a.      Tahap Theologis, adalah insan masih yakin pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini masih dikuasai oleh tahyul-tahyul sehingga subjek dengan obyek tidak dibedakan.
b.     Tahap Metafisis, ialah pedoman insan berupaya mengetahui dan memikirkan kenyataan akan namun belum bisa membuktikan dengan fakta.
c.      Tahap Positif, yang ditandai dengan fatwa manusia untuk mendapatkan aturan-hukum dan saling korelasi lewat fakta. Maka pada tahap ini pengetahuan manusia mampu meningkat dan dibuktikan lewat fakta.[16]
6.     Skeptisisme
Menyatakan bahwa pencerapan indera yakni bersifat mendustai atau menyesatkan. Namun pada zaman terbaru bermetamorfosis skeptisisme medotis (sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti sebelum sebuah pengalaman diakui benar. Tokoh skeptisisme adalah Rene Descrates (1596-1650).
7.     Pragmatisme
Aliran ini tidak mempersoalkan perihal hakikat pengetahuan namun mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari pengetahuan tersebut. Dengan kata lain kebenaran pengetahuan hendaklah dikaitkan dengan faedah dan sebagai sarana bagi sebuah tindakan. Tokoh anutan ini, antara lain: C.S Pierce (1839- 1914), menyatakan bahwa yang terpenting ialah manfaat apa (efek apa) yang mampu dikerjakan sebuah wawasan dalam sebuah rencana. Pengetahuan kita perihal sesuatu hal tidak lain ialah gambaran yang kita dapatkan mengenai akibat yang mampu kita saksikan[17]
Dengan memperhatikan definisi dan pemahaman epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa tata cara ilmu ini yaitu memakai logika dan rasio, alasannya adalah untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya membutuhkan evaluasi nalar. Yang dimaksud sistem nalar di sini ialah mencakup seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan pergeseran yang terjadi di sepanjang sejarah juga memakai metode evaluasi sejarah.
D.   Landasan Aksiologi Ilmu
Landasan aksiologi ilmu menyangkut persoalan pertama, apakah ilmu mendekatkan insan pada kebenaran Tuhan itu sendiri. Kedua, apakah ilmu berguna bagi kehidupan insan itu sendiri. Ketiga, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai, sebab nilai-nilai menyatu dengan ilmu itu sendiri.
1.     Makna Aksiologi Ilmu
Makna aksiologi ilmu mampu diartikan selaku teori nilai yang berhubungan dengan kegunaan dari wawasan yang diperoleh. Seperti diketahui setiap wawasan, termasuk pengetahuan ilmiah, memiliki tiga dasar, adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aksiologi ilmu yakni ilmu wawasan yang menilik hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu, yang lazimnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Dasar aksiologis ilmu membahas ihwal faedah yang diperoleh insan dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu sudah menawarkan fasilitas-kemudahan bagi insan dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga mampu menyebabkan bencana bagi insan. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga bila senjata itu dipergunakan akan mengancam keamanan umat manusia.[18]
2.     Hakikat dan Makna Nilai
Pertanyaan tentang hakikat nilai mampu dijawab dengan tiga macam cara: orang mampu mengatakan bahwa:[19]
a.      Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif
Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai ialah reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian ini mampu dinamakan “subjektivitas”.
b.     Nilai ialah realita ditinjau dari sisi ontologi, tetapi tidak terdapat dalam ruang dan waktu
Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melaui logika. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”.
c.      Nilai ialah komponen-unsur obyektif yang menyusun realita
Pendirian ini disebut “obyektivitas metafisik”.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa “nilai” memiliki bermacam makna, diantaranya:[20]
a.      Mengandung nilai (artinya berguna)
b.     Merupakan nilai (artinya “baik” atau “benar” atau “indah”)
c.      Mempunyai nilai (artinya, ialah obyek impian, memiliki kualitas yang mampu menyebabkan orang mengambil sikap “menyepakati”, atau mempunyai sifat nilai tertentu)
d.     Memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau selaku hal yang menggambarkan nilai tertentu).
3.     Kegunaan dan Nilai Ilmu
Kegunaan ilmu secara etika mesti ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu utamanya dalam implementasinya senantiasa terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan diterangkan seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membatu mencapai kehidupan manusia yang makmur di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi kehidupan manusia di dunia ini. Manusia mencar ilmu dari pengalamannya dan berasumsi bahwa alam mengikuti aturan-hukum dan hukum-aturannya. Ilmu ialah hasil kebudayaan insan, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang obyektif dan mengesampingkan mutu subjektif yang bekerjasama dengan keinginan eksklusif sehingga dengan ilmu, insan tidak akan mementingkan dirinya sendiri.
Ilmu ialah wahana dalam menjawab semua problem (sampai batas tertentu), menurut pengertian yang dimiliki sekaligus ilmu bisa memprediksikan era depan walaupun banyak hal yang kadang terjadi di luar dugaan. Peradaban insan kini ini tak lepas dari pertumbuhan ilmu dan teknologi. Berkat pertumbuhan ilmu dan teknologi, pemenuhan keperluan manusia bisa dikerjakan secara lebih singkat dan lebih gampang di samping penciptaan kemudahan dalam bidang-bidang mirip kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang perkembangan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Kaprikornus ilmu bukan saja mengakibatkan gejala dehumanisasi, tetapi bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga membuat tujuan hidup itu sendiri.
Menghadapi kenyataan mirip ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat semestinya: untuk apa bahu-membahu ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan seperti ini jelas tidak ialah urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; tetapi bagi ilmuan yang hidup dalam era kedua puluh yang sudah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekalutan perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak mampu dielakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat adab.
Ada pertentangan sengit yang dilontarkan oleh  kaum ilmuwan dan humanis. Kalangan humanis mengajukan beberapa pertanyaan yang penting, antara lain: untuk apa ilmu dipakai? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan itu tidak urgen lagi bagi beberapa ilmuwan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini tentunya tidak mempunyai arti bahwa kemajuan ilmu berhenti cukup di situ saja, namun ruang gerak prospek ilmu pengetahuan hendaknya dibatasi.
Sebenarnya sejak ketika pertumbuhannya ilmu telah terkait dengan persoalan-dilema etika tetapi dalam perspektif yang berlawanan. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya wacana kesemestaan alam dan mendapatkan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh anutan agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan adab (yang bersumber pada pedoman agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan semoga ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam fatwa-pemikiran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keimuan sebuah pengetahuan yang kerap mengakibatkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya kesanggupan manusia melaksanakan artikulasi dan manipulasi terhadap insiden-insiden alam untuk kepentingannya. Kepentingan manusia sangat diputuskan oleh motif dan kesadaran yang ada pada manusia itu sendiri. Kaprikornus konsentrasi persoalan ilmu wawasan pada tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh sebab itu, maka tinjauan kita perihal insan akan sangat menolong mengetahui dan menyusun pemahaman wacana bagaimana sebaiknya ilmu wawasan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologis.
Makara pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini adalah  berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah menurut pilihan-opsi adab? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi tata cara ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[21]
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pengertian tentang nilai-nilai yaitu hal yang mutlak. Nilai menyangkut budbahasa, tabiat, dan tanggung jawab manusia itu sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai imbas negatif dan desktruktif, maka diharapkan aturan nilai dan norma untuk mengontrol kesempatannafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan ilmu wawasan. Di sininlah budbahasa menjadi ketentuan mutlak yang hendak menjadi penyemangat yang bagus bagi wawasan untuk mengembangkan derajat hidup serta kemakmuran dan kebahagiaan manusia. Etika yaitu pembahasan perihal baik, buruk, sebaiknya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani, bernaung di bawah filsafat budbahasa. Etika merupakan tatanan rancangan yang melahirkan keharusan, dengan asumsi bahwa jika sesuatu tidak dijalankan akan mendatangkan tragedi atau kejelekan bagi manusia.
E.    Penutup
Ontologi membicarakan ihwal apa yang diketahui oleh manusia. Karena tak mungkin yang tiada memberikan imbas pada asumsi insan, maka pasti yang tercermin dalam anggapan insan ialah sebuah realitas. Realitas (kenyataan) yaitu segala sesuatu yang ada. Untuk membuat lebih mudah pengertian manusia, kenyataan diidentifikasi menjadi dua hal ialah realita yang bisa diukur oleh insan dan yang tidak mampu diukur oleh insan. Yang bisa diukur secara kuantitatif oleh insan disebut sebagai kenyataan bahan, sedangkan kenyataan yang tidak mampu diukur secara kuantitatif manusia disebut selaku realita nonmateri. Dengan kata lain materi ialah realita yang mampu diindera dan nonmateri ialah sebaliknya.
Epistemologi membahas wacana bagaimana seorang insan menerima pengetahuan. Pentingnya pembahasan ini berkaitan dengan apakah sebuah ilmu apakah ia diperoleh dengan cara yang mampu ditemukan orang lain atau tidak. Jika tidak mampu dimengerti orang lain maka pengetahuannya tidak mampu dipelajari oleh orang lain.
Secara garis besar, dalam epistemologi cara mendapatkan wawasan ada dua yaitu secara ilmiah dan secara tidak ilmiah. Pengetahuan secara ilmiah bukan mempunyai arti lebih benar dari wawasan secara tidak ilmiah. Pembagian ini cuma didasarkan pada dapat atau tidaknya siapa saja mendapatkan pengetahuan tersebut.
Aksiologi membahas ihwal nilai sebuah pengetahuan. Nilai dari sesuatu tergantung pada maksudnya. Maka pembahasan perihal nilai pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari maksudnya. Masing-masing insan memang mempunyai tujuan sendiri. Namun niscaya ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua manusia. Begitu juga dengan wawasan. Semua wawasan mempunyai tujuan obyektif.
Tujuan dari wawasan yaitu untuk mendapatkan kebenaran. Maka nilai dari pengetahuan atau ilmu yaitu untuk menerima kebenaran. Hal ini terlepas dari kebenaran yang ditemukan untuk tujuan apa. Apakah untuk memperbaiki atau untuk menghancurkan diri.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Burhanudin, S., Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997)
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991)
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta : Tintamas, 1980)
Louis, O Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996)
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin, 2001)
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001)
Nasir, Moh., Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999)
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan. (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-Ruzz Media, 2007)
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005)
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003)
Syam, Mohammad Noor., Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan, (Surabaya: Pancasila Usaha Nasional, 1984)
Tafsir, Ahmad, Filsafa Ilmu; Mengurai Ontolog, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004)
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rosdakarya: 2004)
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000)
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat, 2000)
Zainun Kamal, Ibn Taimiyah vs Para Filosof, (Jakarta : RajaGrafindo, 2006)

  Mulla Sadra Dan Pemikiran Teosofi Transenden

[1]Naskah Asli Dapat Dipesan Via email di buku tamu