Oleh: Syafieh, M.Fil. I
A. Pendahuluan
Bahasa selaku fasilitas komunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada komunikasi. Tanpa komunikasi apakah insan dapat bersosialisasi, dan apakah insan patut disebut makhluk sosial? Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, mirip berfikir sistematis dalam menggapai ilmu dan wawasan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kesanggupan berbahasa seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berpikir secara sistematis dan terstruktur.
Demikian pula ilmu-ilmu wawasan, semuanya telah memanfaatkan matematika, baik matematika selaku pengembangan aljabar maupun statistik. Phylosopy modern tidak akan sempurna kalau pengetahuan wacana matematika tidak memadai. Hampir mampu dikatakan bahwa fungsi matematika sama luasnya dengan fungsi bahasa yang bekerjasama dengan pengetahuan dan ilmu wawasan.
Logika yakni fasilitas untuk berfikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, berfikir logis yakni berpikir sesuai dengan hukum-hukum berpikir, mirip; setengah dihentikan lebih dari satu.
Dalam kamus ilmiah populer, kata statistik bermakna tabel, grafik, daftar informasi, angka-angka, isu. Statistik bermakna ilmu pengumpulan, analis, dan penjabaran data, angka sebagai dasar untuk induksi.
B. Bahasa sebagai Sarana Ilmu Pengetahuan
Bahasa mempunyai peranan penting dan sebuah hal yang biasa dalam hidup dan kehidupan manusia. Kelaziman tersebut menciptakan manusia jarang memperhatikan bahasa dan menganggapnya selaku suatu hal yang biasa, mirip bernafas dan berlangsung. Padahal bahasa mempunyai imbas-efek yang hebat dan tergolong yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya.[1] Ernest Cassirer berpendapat bahwa keunikan manusia bukanlah terletak pada kesanggupan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa.Oleh alasannya adalah itu, Ernest menyebut insan sebagai Animal Symbolicum, yakni makhluk yang memakai simbol.[2]
Wittgenstein menyatakan: “Batas bahasaku yaitu batas duniaku”. Melalui pernyataan ini orang-orang yang berpikir (homo sapiens) akan bertanya dalam diri apa itu bahasa? Apa fungsinya? Bagaimana tugas bahasa dalam berpikir Ilmiah?
Bloch and Trager menyampaikan: a language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates (Bahasa yaitu sebuah sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh sebuah golongan sosial sebagai alat untuk berkomunikasi.
Joseph broam mengatakan: bahasa ialah sebuah tata cara yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain.
Batasan diatas memerlukan sedikit penjelasan biar tidak terjadi salah paham. Oleh sebab itu, perlu diteliti setiap komponen yang ada didalamnya:
Simbol-simbol
Simbol-simbol berarti sesuatu yang menyatakan sesuatu yang lain. Hubungan antara simbol dan “sesuatu” yang dilambangkannya itu tidak ialah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya atau sesuatu yang bersifat alamiah, seperti yang terdapat antara awan hitam dan turunnya hujan, ataupun antara tingginya panas tubuh dan kemungkinan terjadinya infeksi. Awan hitam ialah tanda turunnya hujan; panas suhu badan yang tinggi tanda sebuah penyakit.
Simbol-simbol vokal
Simbol-simbol yang membangun ujaran manusia yaitu simbol-simbol vokal, adalah bunyi-bunyi yang urutan-urutan bunyinya dihasilkan dari koordinasi berbagai organ atau alat tubuh dalam tata cara pernafasan. Untuk memenuhi maksudnya, suara-suara tersebut haruslah didengar oleh orang lain dan mesti diartikulasikan sedemikian rupa untuk membuat lebih mudah sipendengar untuk merasakannya secara jelas dan berbeda dari yang yang lain. Dengan kata lain, tidak semua suara yang dihasilkan oleh organ-organ vokal insan ialah simbol-simbol bahasa, lambang-lambang kebahasaan. Contoh: bersin, batuk, dengkur, biasanya tidak mengandung nilai simbolis, semua itu tidak memiliki arti apa-apa diluar mereka sendiri.
Simbol-simbol vokal arbitrer
Istilah arbitrer disini mempunyai arti “mana suka” dan tidak perlu ada korelasi yang valid secara filosofis antara ucapan mulut dan arti yang dikandungnya. Hal ini akan lebih jelas bagi orang yang mengetahui lebih dari satu bahasa. Misalnya, untuk menyatakan jenis binatangEquus Caballus, orang Inggris menyebutnya horse, orang Perancis cheval, orang Indonesia kuda, dan orang Arab hison. Semua kata ini sama tepatnya, sama arbitrernya. Semuanya adalah konvensi sosial yaitu sejenis kesepakatan yang tidak diucapkan atau janji secara diam-membisu antara sesama anggota penduduk yang memberi setiap kata makna tertentu.
Suatu metode yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer.
Walaupun korelasi antara bunyi dan arti ternyata bebas dari setiap suara hati nurani, logika atau psikologi, namun kerjasama antara suara-bunyi itu sendiri, didalam bahasa tertentu, ditandai oleh sejumlah konsistensi, ketetapan intern. Misalnya; setiap bahasa beroperasi dengan sejumlah suara dasar yang terbatas (dan ciri-ciri fonetik lainnya mirip tekanan kata dan intonasi).
Yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kalangan sosial sebagai alat bergaul satu sama lain.
Fungsi bahasa memang sungguh penting dalam dunia insan. Dengan bahasa para anggota masyarakat dapat menyelenggarakan interaksi sosial.[3]
a. Fungsi Bahasa
Para pakar sudah bertikai pendapat dalam hal fungsi bahasa. Aliran filsafat bahasa dan psikolinguistik melihat fungsi bahasa selaku sarana untuk memberikan pikiran, perasaan dan emosi, sedangkan fatwa sosiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk pergantian penduduk .
Walaupun tampak perbedaan tetapi saling melengkapi. Secara umum mampu dinyatakan bahwa fungsi bahasa yaitu:
1) Koordinator aktivitas-kegiatan penduduk .
2) Penetapan pemikiran dan pengungkapan.
3) Penyampaian asumsi dan perasaan.
4) Penyenangan jiwa.
5) Pengurangan kegoncangan jiwa.
Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa yaitu selaku berikut:
1) Fungsi Instrumental: penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal yang bersifat materi mirip makan, minum dan sebagainya.
2) Fungsi Regulatoris: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku.
3) Fungsi Interaksional: penggunaan bahasa untuk saling mencurahkan perasaan aliran antara seseorang dan orang lain.
4) Fungsi Personal : seseorang mengunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan anggapan.
5) Fungsi Heuristik: penggunaan bahasa untuk meraih mengungkap tabir fenomena dan impian untuk mempelajarinya.
6) Fungsi Imajinatif: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran ihwal discovery seseorang dan tidak cocok dengan kenyataan (dunia kasatmata).
7) Fungsi Representasional: penggunaan bahasa untuk menggambarkan aliran dan pengetahuan serta menyampaikannya pada orang lain.
Kneller mengemukakan 3 fungsi bahasa ialah simbolik, emotif dan afektif. Fungsi simbolik dan emotif menonjol dalam komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi afektif menonjol dalam komunikasi estetik.[4]
Sedangkan Buhler membedakan fungsi bahasa kedalam bahasa ekspresif, bahasa konatif, dan bahasa representasional. Bahasa ekspresif ialah bahasa yang terarah pada diri sendiri adalah si pembicara; bahasa konatif ialah bahasa yang terarah pada lawan bicara; dan bahasa representasional yakni bahasa yang terarah pada realita yang lain, adalah apa saja selain pembicara atau lawan bicara.
b. Bahasa sebagai Sarana Berpikir Ilmiah
Ada dua hal yang harus diamati persoalan sarana ilmiah, adalah pertama, sarana ilmiah itu ialah ilmu dalam pengertian bahwa ia ialah kumpulan pengetahuan yang ditemukan berdasarkan tata cara ilmiah, mirip memakai acuan berpikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan wawasan. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah yakni agar mampu melakukan penelaahan ilmiah secara baik.
Bahasa selaku alat komunikasi ekspresi yang dipakai dalam proses berpikir ilmiah dimana bahasa ialah alat berpikir dan alat komunikasi untuk memberikan jalan asumsi tersebut kepada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif. Dengan kata lain, kegiatan berpikir imiah ini sangat berhubungan dekat dengan bahasa. Menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir belum pasti menerima kesimpulan yang benar apalagi dengan bahasa yang tidak baik dan benar. Premis yang salah akan menghasilkan kesimpulan yang salah juga. Semua itu tidak terlepas dari fungsi bahasa itu sendiri selaku fasilitas berpikir.
c. Bahasa Ilmiah dan Bahasa Agama
Bahasa ilmiah adalah bahasa yang dipakai dalam aktivitas ilmiah, berlainan dengan bahasa agama. Ada dua pengertian mendasar perihal bahasa agama, pertama, bahasa agama adalah kalam Ilahi yang terabadikan dalam kitab suci. Kedua, bahasa agama merupakan perumpamaan serta sikap keagamaan dari seseorang atau kalangan sosial. Dengan kata lain, bahasa agama dalam konteks kedua ini ialah ihwal keagamaan yang dilakukan oleh ummat beragama maupun sarjana andal agama, walaupun tidak senantiasa menunjuk serta memakai istilah-perumpamaan kitab suci.[5]
Bahasa ilmiah dalam goresan pena-goresan pena ilmiah, terutama sejarah, senantiasa dituntut secara deskriptif sehingga memungkinkan pembaca (orang lain) utuk ikut menafsirkan dan mengembangkan lebih jauh. Sedangkan bahasa agama selain memakai bahasa deskriptif juga menggunakan gaya preskriptif, yaitu struktur makna yang dikandung selalu bersifat imperatif dan persuasif dimana pengarang menghendaki pembaca mengikuti pesan pengarang sebagaimana terformulasikan dalam teks. Dengan kata lain gaya bahasa ini condong memerintah.[6]
C. Matematika selaku Sarana Ilmu Pengetahuan
Dalam kurun ke-20 ini, seluruh kehidupan manusia telah mempergunakan matematika, baik matematika ini sungguh sederhana cuma untuk mengkalkulasikan satu, dua, tiga maupun yang sampai sangat rumit, misalnya perkiraan antariksa.
Penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada proses nalar deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika memiliki peran penting dalam berpikir induktif.[7]
Matematika Sebagai Bahasa
Matematika yaitu bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “palsu” yang baru mempunyai arti sesudah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika cuma merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.[8]
Bahasa ekspresi mempunyai beberapa kekurangan, untuk menangani kelemahan yang terdapat pada bahasa verbal, kita berpaling pada matematika. Dalam hal ini kita katakan bahwa matematika yaitu bahasa yang berupaya untuk menetralisir sifat beragam dan emosional dari bahasa verbal. Contoh: menghitung “kecepatan jalan kaki seorang anak” kita lambangkan X, “jarak tempuh seorang anak” kita lambangkan Y, “waktu berjalan kaki seorang anak” kita lambangkan Z, maka kita mampu melambangkan relasi tersebut sebagai Z=Y/X. Pernyataan Z=X/Y kiranya terperinci tidak mempunyai konotasi emosional dan hanya mengemukakan info mengenai kekerabatan antara X, Y dan Z. Dalam hal ini pernyataan matematika mempunyai sifat yang terang, spesifik dan informatif dengan tidak menyebabkan konotasi yang tidak bersifat emosional.[9]
Matematika selaku Sarana Berpikir Deduktif
Matematika ialah ilmu deduktif. Karena penyelesaian duduk perkara-persoalan yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi (pembagian terstruktur mengenai-penjabaran). Matematika lebih mementingkan bentuk logisnya. Pernyataan-pernyataannya mempunyai sifat yang terang. Pola berpikir deduktif banyak dipakai baik dalam bidang ilmiah maupun bidang lain yang merupakan proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya sudah diputuskan. Contoh: jikalau dikenali A termasuk dalam lingkungan B, sedangkan B tidak ada kekerabatan dengan C, maka A tidak ada kekerabatan dengan C.
Matematika untuk Ilmu Alam dan Ilmu Sosial
Matematika ialah salah satu puncak kegemilangan intelektual. Disamping pengetahuan tentang matematika itu sendiri, matematika juga menunjukkan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk dan kekuasaan.
Dalam pertumbuhan ilmu wawasan alam matematika menawarkan kontribusi yang cukup besar. Kontribusi matematika dalam kemajuan ilmu alam, lebih ditandai dengan penggunaan lambang-lambang bilangan untuk penghitungan dan pengukuran, disamping hal lain seperti bahasa, sistem dan lainnya.
Adapun ilmu-ilmu sosial mampu ditandai oleh realita bahwa kebanyakan dari dilema yang dihadapinya tidak memiliki pengukuran yang mempergunakan bilangan dan pemahaman ihwal ruang ialah sama sekali tidak relevan.
D. Logika selaku Sarana Ilmu Pengetahuan
Logika adalah sarana berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir.
Hukum-aturan anggapan beserta mekanismenya mampu dipakai secara sadar dalam mengontrol perjalanan fikiran yang merepotkan dan panjang itu.
1. Aturan Cara Berpikir yang Benar
Kondisi ialah hal-hal yang mesti ada agar sesuatu dapat terwujud, mampu terlaksana. Untuk berpikir baik, yaitu berpikir benar, logis-dialektis, juga dibutuhkan kondisi-keadaan tertentu:[10]
a. Mencintai kebenaran
Sikap ini sungguh mendasar untuk berpikir yang baik, sebab perilaku ini selalu menggerakkan si pemikir untuk mencari, mengusut, memajukan mutu penalarannya; manggerakkan si pemikir untuk selalu mewaspadai “ruh-ruh” yang hendak menyelewengkannya dari yang benar. Misalnya, menyederhanakan realita, menyempitkan cakrawala/perspektif, berpikir terkotak-kotak. Cinta kepada kebenaran diwujudkan dalam kerajinan (jauh dari kemalasan, jauh dari takut susah, dan jauh dari kecerobohan) serta diwujudkan dengan kejujuran, yakni disposisiatau perilaku kejiwaan(dan pikiran) yang selalu siap sedia mendapatkan kebenaran walaupun bertentangan dengan dugaan dan harapan/kecenderungan langsung atau golongannya.
b. Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang Anda lakukan
Kegiatan yang sedang dikerjakan adalah acara berpikir. Seluruh acara intelek kita yakni suatu usaha terus menerus memburu kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya wawasan perihal kebenaran tetapi parsial sifatnya. Untuk meraih kebenaran, kita harus bergerak melalui berbagai macam langkah dan aktivitas.
c. Ketahuilah (dengan sadar) apa yang Anda katakan
Pikiran diungkapkan ke dalam kata-kata. Kecermatan fikiran diungkapkan ke dalam ketelitian kata-kata, akhirnya ketelitian ungkapan pikiran ke dalam kata ialah sesuatu yang dilarang ditawar lagi. Anda selalu perlu menguasai perumpamaan fikiran kedalam kata tersebut. Waspadalah kepada term-term ekuivokal (bentuk sama, tetapi arti berlainan), analogis (bentuk sama, arti sebagian sama sebagian berlawanan). Ketahuilah pula perbedaan kecil arti (nuansa) dari hal-hal yang Anda katakan.
d. Buatlah distingsi (pembedaan) dan pembagian (pembagian terstruktur mengenai) yang semestinya
Jika ada dua hal yang tidak mempunyai bentuk yang sama, hal itu jelas berbeda. Tetapi banyak peristiwa dimana dua hal atau lebih mempunyai bentuk sama, tetapi tidak identik. Disinilah perlu dibentuk suatu distingsi, suatu pembedaan. Karena realitas begitu luas, perlu diadakan pembagian ( penjabaran). Peganglah sebuah prinsip pembagian yang serupa, jangan hingga Anda menjumlahkan bab atau faktor realitas prinsip penjabaran yang sama.
e. Cintailah definisi yang tepat
Penggunaan bahasa selaku perumpamaan sesuatu kemungkinan tidak ditangkap sebagaimana yang mau diungkapkan atau yang dimaksudkan. Karenanya jangan segan menciptakan definisi. Definisi artinya pembatasan, yaitu menciptakan terang batas-batas sesuatu. Hindari uraian-uraian yang tidak jelas artinya.
f. Ketahuilah (dengan sadar) mengapa Anda menyimpulkan begini atau begitu
Anda harus mampu dan biasa menyaksikan perkiraan-perkiraan, implikasi-implikasi, dan konsekuensi-konsekuensi dari sebuah penuturan (assertion), pernyataan, atau kesimpulan yang Anda buat. Jika bahan yang ada tidak cukup atau kurang cukup untuk mempesona kesimpulan, hendaknya orang menahan diri untuk tidak membuat kesimpulan atau menciptakan pembatasan-pembatasan (membuat reserve) dalam kesimpulan.
g. Hindarilah kesalahan-kesalahan dengan segala perjuangan dan tenaga, serta sangguplah mengetahui jenis, macam, dan nama kesalahan, demikian juga mengetahui alasannya-sebab kesalahan anutan (penalaran)
Dalam belajar nalar Ilmiah (scientific) Anda tidak hanya mau tahu aturan-hukum, prinsip-prinsip, bentuk-bentuk fikiran sekadar untuk tahu saja. Anda perlu juga;
1) Dalam praktik, menjadi mahir dan terampil berpikir sesuai dengan aturan, prinsip, bentuk berpikir yang betul, tanpa mengabaikan dialektika, yakni proses pergantian kondisi. Logika ilmiah melengkapi dan mengirim kita untuk menjadi mahir dan sanggup berpikir kritis, ialah berpikir secara menentukan alasannya adalah menguasai ketentuan-ketentuan berpikir yang bagus.
2) Selanjutnya sanggup mengenali jenis-jenis, macam-macam, nama-nama, alasannya-karena kesalahan aliran, dan sanggup menyingkir dari, juga menjelaskan segala bentuk dan alasannya adalah kesalahan dengan seharusnya.[11]
2. Klasifikasi
Sebuah desain penjabaran, mirip “panas” atau “acuh taacuh”, hanyalah menempatkan objek tertentu dalam suatu kelas. Pertimbangan yang menurut penjabaran tentu saja lebih baik ketimbang tak ada pertimbangan sama sekali. Misal; terdapat tiga puluh lima orang yang melamar pekerjaan yang memerlukan kemampuan tertentu, dan perusahaan yang hendak menerima memiliki psikolog harus menetapkan cara-cara pelamar dalam memenuhi tolok ukur yang telah ditentukan. Ahli psikologi tersebut membuat klasifikasi bernafsu berdasarkan kemampuan, kemampuan dibidang matematika, stabilitas emosional, dan sebagainya. Ketiga puluh lima orang tersebut dibandingkan dengan pengetahuan yang berdasarkan penjabaran besar lengan berkuasa, lemah dan sedang, kemudian ditempatkan dalam urutan berdasarkan kemampuannya masing-masing.[12]
3. Aturan Definisi
Definisi secara etimologi yakni suatu perjuangan untuk memberi batasan kepada sesuatu yang diinginkan seseorang untuk memindahkannya kepada orang lain.
Sedangkan pemahaman definisi secara terminologi yaitu sesuatu yang menguraikan makna lafadz kulli yang menjelaskan karakteristik khusus pada diri individu.
Definisi yang baik yakni jami’ wa mani (menyeluruh dan menghalangi). Hal ini sejalan dengan kata definisi itu sendiri, adalah definite (membatasi).
E. Statistika selaku Sarana Ilmu Pengetahuan
1. Pengertian statistik
Pada awalnya kata statistik diartikan selaku informasi-keterangan yang diperlukan oleh negara dan memiliki kegunaan bagi negara.[13]
Secara etimologi, kata “statistik” berasal dari kata status (bahasa latin) yang mempunyai persamaan arti dengan kata state (bahasa Inggris), yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan negara. Pada awalnya, kata “statistik” diartikan sebagai “kumpulan materi informasi (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun data yang tidak berwujud angka (data kuantitatif), yang memiliki arti penting dan kegunaan yang besar bagi suatu negara”. Namun pada kemajuan berikutnya, arti kata statistik cuma dibatasi pada kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka (data kuantitatif) saja.[14]
Ditinjau dari segi terminologi, sampaumur ini istilah statistik terkandung berbagai macam pemahaman;
1. Istilah statistik kadang diberi pemahaman selaku data statistik, yaitu kumpulan materi informasi berupa angka atau bilangan.
2. Sebagai acara statistik atau aktivitas perstatistikan atau kegiatan penstatistikan.
3. Kadang juga dimaksudkan sebagai sistem statistik yaitu cara-cara tertentu yang perlu ditempuh dalam rangka menghimpun, menyusun, atau mengatur, menyajikan, menganalisis, dan memberikan interpretasi kepada sekumpulan bahan informasi yang berbentukangka itu mampu mengatakan atau dapat menunjukkan pengertian makna tertentu.
4. Istilah statistik sampaumur ini juga mampu diberi pengertian sebagai “ilmu statistik”, ilmu statistik yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari dan memperkembangkan secara ilmiah tahap-tahap yang adadalam acara statistik atau ilmu pengetahuan yang membicarakan (mempelajari) dan memperkembangkan prinsip-prinsip, sistem dan mekanisme yang perlu ditempuh dalam rangka;
a. Pengumpulan data angka
b. Penyusunan atau pengaturan data angka
c. Penyajian atau penggambaran atau pelukisan data angka
d. Penganalisisan kepada data angka
e. Penarikan kesimpulan (conclusion)
f. Pembuatan perkiraan (estimation)
g. Penyusunan ramalan (prediction) secara ilmiah (dalam hal ini secara matematik) atas dasar pengumpulan data angka tersebut.[15]
Dalam kamus ilmiah populer, kata statistik berarti tabel, grafik, daftar gosip, angka-angka, gosip. Sedangkan kata statistika memiliki arti ilmu pengumpulan, analisis dan klasifikasi data, angka sebagai dasar untuk induksi.[16]
2. Sejarah Perkembangan Statistik
Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan rancangan baru yang tidak dikenal dalam aliran Yunani Kuno, Romawi dan bahkan Eropa dalam Abad Pertengahan. Teori mengenai kombinasi bilangan telah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana Muslim, tetapi bukan dalam lingkup teori kesempatan. Begitu dasar-dasar potensi ini dirumuskan, maka dengan cepat telaahan ini berkembang. Konsep statistik sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam sebuah populasi tertentu.
a. Abraham Demoitre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error).
b. Thomas Simpson (1757) menyimpulkan bahwa terdapat sesuatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang lumayan banyak.
c. Pierre Simon de Laplace (1749-1827) menyebarkan konsep Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan mendapatkan distribusi wajar suatu desain mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika disamping teori kesempatan.
d. Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian ditemukan Francis Galton (1822-1911) dan Karl pearson (1857-1936)
e. Karl Friedrich Gauss (1777-1855) membuatkan teknik kuadrat terkecil (least squares) simpangan baku dan galat baku untuk rata-rata (the standard error of the mean). Pearson melanjutkan desain-desain Galton dan mengembangkan desain regresi, hubungan, distribusi, chi-kuadrat dan analisis statistika untuk data kualitatif Pearson menulis buku The Grammar of science suatu karya klasik filsafat ilmu.
f. William Searly Gosset, yang populer dengan nama samaran “student”, menyebarkan konsep wacana pengambilan pola. Desigent Experiment dikembangkan oleh Ronald Alylmer Fisher (1890-1962) disamping analisis varians dan covarians, distribusi –z, distribusi –t, uji signifikan dan teori tentang perkiraan (theory of estimation).[17]
Di Indonesia sendiri aktivitas dalam bidang penelitian sangat meningkat, baik acara akademik maupun pengambilan keputusan sudah menunjukkan saat-saat yang baik untuk pendidikan statistika.
3. Hubungan Antara Sarana Ilmiah Bahasa, Matematika, akal dan Statistika
Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, agar dapat melakukan aktivitas berpikir ilmiah dengan baik, diperlukan sarana yang berbentukbahasa, matematika, logika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi ekspresi yang digunakan dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan anggapan tersebut terhadap orang lain.
Ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu ialah adonan berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu pikiran sehat ilmiah menyandarkan diri pada proses nalar deduktif dan nalar induktif. Matematika memiliki peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika memiliki peranan penting dalam berpikir induktif. Makara keempat fasilitas ilmiah ini saling bekerjasama akrab satu sama lain.[18]
4. Tujuan Pengumpulan Data Statistik
Tujuan ini dibagi menjadi dua kalangan besar ialah;
a. Tujuan aktivitas praktis
Dalam aktivitas praktis hakikat alternatif yang sedang diperhitungkan sudah dikenali, paling tidak secara prinsip, dimana konsekuensi dalam menentukan salah satu dari alternatif tersebut dapat dievaluasi berdasarkan serangkaian kemajuan yang akan terjadi.
b. Tujuan kegiatan keilmuan
Kegiatan statistika dalam bidang keilmuan diterapkan pada pengambilan sebuah keputusan yang konsekuensinya sama sekali belum diketahui. Dengan demikian konsekuensi dalam melakukan kesalahan dapat dimengerti secara lebih niscaya dalam acara praktis daripada acara keilmuan.
5. Statistika dan Cara Berpikir Induktif
Ilmu secara sederhana mampu didefinisikan selaku pengetahuan yang sudah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah yaitu sesuai faktual, dimana konsekuensinya dapat diuji baik dengan jalan memanfaatkan pancaindera, maupun dengan alat-alat yang membantu pancaindera tersebut. Statistika ialah pengetahuan untuk melaksanakan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Kesimpulan yang ditarik dalam penalaran deduktif yakni benar kalau premis-premis yang dipergunakan yakni benar danprosedur penarikan kesimpulannya yaitu sah. Sedangkan dalam akal budi induktif walaupun premis-premisnya yaitu benar dan mekanisme penarikan kesimpulannya adalah sah, maka kesimpulan itu belum pasti benar. Tapi kesimpulan itu memiliki peluang untuk benar.
Statistik merupakan fasilitas berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bab dari perangkat sistem ilmiah, statistik membantu kita untuk melaksanakan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu peristiwa secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan.[19]
6. Peranan statistika dalam tahap-tahap Metode Keilmuan
Langkah-langkah yang lazim dipergunakan dalam aktivitas keilmuan yang dapat dirinci selaku berikut;
a. Observasi
Statistik dapat mengemukakan secara terang wacana analisis yang akan digunakan dalam observasi.
b. Hipotesis
Untuk menunjukan fakta yang diobservasi, prasangka yang sudah ada dirumuskan dalam suatu hipotesis. Dalam tahap kedua ini statistika menolong kita dalam mengklasifikasikan hasil observasi.
c. Ramalan
Dari hipotesis dikembangkanlah deduksi. Jika teori yang dikemukakan menyanggupi syarat deduksi akan menjadi pengetahuan gres. Fakta gres ini disebut ramalan.
d. Pengujian kebenaran
Untuk menguji kebenaran ramalan, mulai dari tahapan-tahapan berulang mirip sebuah siklus.
7. Penerapan Statistika
Statistika diterapkan secara luas dalam hampir semua pengambilan keputusan dalam bidang manajemen. Statistika diterapkan dalam penelitian pasar, penelitian buatan, kebijaksanaan penanaman modal, kontrol mutu, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri, ramalan ekonomi, auditing dan masih banyak lagi.
F. Kesimpulan
Bahasa memiliki peranan penting dan sebuah hal yang umum dalam hidup dan kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatikan bahasa dan menganggapnya sebagai sebuah hal yang umum, mirip bernafas dan berjalan. Padahal bahasa memiliki imbas-efek yang luar biasa dan termasuk yang membedakan insan dari ciptaan lainnya.
Matematika yakni bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru memiliki arti sesudah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika cuma ialah kumpulan rumus-rumus yang mati.
Logika ialah sarana berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu berpikir logis yakni berpikir sesuai dengan hukum-aturan berpikir.
Statistik yaitu kumpulan bahan informasi berbentukangka atau bilangan. Metode statistik ialah cara-cara tertentu yang perlu ditempuh dalam rangka mengumpulkan, menyusun, atau menertibkan, menyuguhkan, menganalisis, dan menunjukkan interpretasi kepada sekumpulan bahan keterangan yang berbentukangka itu dapat mengatakan atau mampu memberikan pengertian makna tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Suriasumantri,Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 1996.
Salam, Burhanuddin, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Poespoprojo, W, Logika Scientifika; Pengantar Dialektika dan Ilmu,Bandung: Pustaka Grafika, 1999.
Suriasumantri, Jujun S, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Dajan, Anto, Pengantar Metode Statistik, Jilid I,Pustaka LP3ES Indonesia, 2000.
Sudijono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Pratanto, Pius A. dan Al-Barri, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
[1]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 175.
[2]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 171.
[3] Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu…, hal. 180.
[4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu…, hal. 175
[5]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 75.
[6]Ibid, hal. 77.
[7]Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hal. 134.
[8]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 190.
[9]Ibid, hal. 191.
[10]W. Poespoprojo, Logika Scientifika; Pengantar Dialektika dan Ilmu (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), hal. 61
[11] Ibid, hal. 64
[12] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. 148.
[13]Anto Dajan, Pengantar Metode Statistik, Jilid I (Pustaka LP3ES Indonesia, 2000), hal. 2.
[14]Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 1
[15] Ibid, hal. 4.
[16] Pius A. Pratanto, dan M. Dahlan Al-Barri, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hal.724.
[17] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif…, hal. 213.
[18] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hal.202
[19] Ibid, hal. 206.