Setelah meninggalnya khalifah dinasti Safawi yang berjulukan Abbas I, selanjutnya pemerintahan dinasti Syafawi berturut-turut mengalami pergeseran kepemimpinan yang diperintah oleh enam khalifah, yakni: Khalifah Safi Mirza (1628-1642 M), khalifah Abbas II (1642-1667 M), khalifah Sulaiman (1667-1694 M), khalifah Husein (1694- 1722 M), khalifah Tahmasp II (1722-1732 M) dan khalifah Abbas III (1733-1736 Masehi).
Pada abad kepemimpinan yang di pimpin oleh enam orang khalifah tersebut, keadaan pemerintahan dinasti Syafawi tidak menunjukkan kemajuan ataupun pertumbuhan, namun justru menawarkan kemunduran yang balasannya menjinjing kepada kehancuran. Kemunduran pertama terjadi pada kala kekhalifahan Safi Mirza (cucu Abbas I), alasannya adalah dia seorang pemimpin yang lemah dan sangat kejam kepada pembesar-pembesar Daulah.
Di lain segi khalifah Safi Mirza juga ialah seorang pencemburu, sifat tidak baiknya balasannya menimbulkan mundurnya kemajuan pertumbuhan yang telah diperoleh dalam pemerintahan sebelumnya. Satu persatu daerah kekuasaan Daulah Syafawi lepas ke penguasa daulah lain. Seperti kota Qandahar diduduki oleh Daulah Mughal yang saat itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh Daulah Utsmani.
Pemberontakan yang lain terjadi di Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan beliau mampu mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga dia mampu merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi.
Karena desakan dan bahaya Mir Mahmud, Shah Husein risikonya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi gebernur di Qandahar dengan gelar Husei Quli Khan (budak Husein). Dengan legalisasi ini, Mir Mahmud semakin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 Masehi, dia merebut Kirman dan tak lama kemudian beliau menyerang Isfahan dan memaksa Shah Husein mengalah tanpa syarat.
Pada tanggal 12 Oktober 1722 Masehi, Shah Husein menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan. Salah seorang putera Husein yakni Tahmasp II, menerima bantuan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamirkan dirinya sebagai penguasa yang sah dan berkuasa atas Persia dengan sentra kekuasaannya di Astarabad.
Tahun 1726 Masehi, Tahmasp II berhubungan dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Pengganti Mir Mahmud, Asyraf yang berkuasa di Isfahan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 Masehi. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu.
Dengan demikian Daulah Syafawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 Masehi, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sungguh kecil. Empat tahun sehabis itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mendaulat dirinya selaku Daulah menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulah Safawi di Persia.
Berikut adalah faktor-aspek penyebab kemunduran peradaban Islam dinasti Safawiyah.
1. Adanya konflik yang berkepanjangan dengan Daulah Usmani. Berdirinya Daulah Safawi yang bermadzhab Syi’ah merupakan bahaya bagi Daulah Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua penguasa besar ini.
2. Terjadinya dekadensi etika yang melanda sebagian pemimpin Daulah Safawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran Daulah ini. Khalifah Sulaiman yang pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama nyaris tujuh tahun tidak menyempatkan diri menangani pemerintahan.
3. Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak mempunyai semangat juang yang tinggi seperti semangat Qizilbash. Hal ini dikarenakan mereka tidak mempunyai ketahanan mental karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya kepada runtuhnya ketahanan dan pertahanan Daulah Safawi.
4. Seringnya terjadi konflik internal dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.