Fadhilah Final Surat Al-Baqaroh

 Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada waktu malam, maka dia akan diberi kecukupan. Sebagian ulama ada yang menyampaikan, ia dijauhkan dari gangguan setan. Ada juga yang menyampaikan, dia dijauhkan dari penyakit. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa dua ayat tersebut sudah memadai dari shalat malam. Benarkah?

Disebutkan dalam hadits 

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ . متفق عليه

Abu Mas’ud ra berkata: Rasulullah saw bersabda:Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir surat al-Baqoroh dalam satu malamnya, maka cukuplah hal itu.

Hadis sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (hadis no.4624) dan Muslim (hadis no. 1340). Selain al-Bukhari dan Muslim, hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (hadis no. 1189), al-Tirmizi (hadis no. 2806), Ibn Majah (hadis no. 1358 dan 1359), Ahmad (hadis no. 16451, 16471 dan 16480), dan al-Darimi (hadis no. 1149 dan 3254) 

Keistimewaan surat al-Baqarah juga terdapat pada dua ayat yang menjadi penutupnya yang menurut riwayat Ahmad diturunkan dari suatu gudang dari bawah ‘Arasy. Secara khusus, keutamaan dua ayat tersebut juga banyak diungkap dalam banyak riwayat.

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ : إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ كِتَابًا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِأَلْفَيْ عَامٍ، أَنْزَلَ مِنْهُ آيَتَيْنِ خَتَمَ بِهِمَا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، وَلَا يُقْرَأَانِ فِي دَارٍ ثَلَاثَ لَيَالٍ فَيَقْرَبُهَا شَيْطَانٌ

رواه الترمذي والدارمي والحاكم وصححه

Al-Nu’man ibn Basyir ra berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah telah memilih/menuliskan kitab (taqdir) 2000 tahun sebelum Dia membuat langit dan bumi, diturunkan dari kitabnya itu/taqdirnya dua ayat yang dijadikan penutup surat al-Baqoroh, dan tidaklah keduanya (2 ayat) itu dibaca di suatu rumah selama tiga malam, kecuali setan tidak akan mendekatinya

Hadis hasan, diriwayatkan oleh al-Tirmizi (hadis no. 2807), al-Nasa’I dalam al-Sunan al-Kubra (hadis no. 10802 dan 10803), al-Darimi (hadis no. 3253), Ibn Hibban (hadis no. 782), dan al-Hakim yang men-asli-kan hadis ini. Al-Tirmizi, al-Suyuti (al-Jami’al Saghir, hadis no. 1764) menilai hadis ini: Hasan. al-Munawi mengingatkan bahwa pada sanadnya terdapat Asy’as ibn Abdurrahman yang berdasarkan Abu Zur’ah, al-Nasa’i dan al-Dzahabi tidak besar lengan berkuasa. Namun hadis ini punya jalur periwayatan lain yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dengan sanad yang menurut al-Hayathami tsiqoh (Fayd al-Qodil jil. II, h. 310, Majma al-Zawaid, jil. VI, h. 315). dengan penguat dari riwayat al-Thabrani, hadis in dapat dinilai hadis hasan lighairihi

Hadits di atas menunjukkan ihwal keistimewaan dua ayat terakhir surat Al-Baqarah.

Dua ayat tersebut,

Allah Ta’ala berfirman,

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)

Aamanarrosulu bimaa unzila ilaihii min robbihii wal mukminuun, kullun aamana billahi wa malaaikatihii wakutubihii warusulih, laa nafarriqu baina achadin min rusulih, waqoolu sami’naa wa ato’naa ghufroonaka robbanaa wa ilaikal mashir. 

Laa yukallifullohu nafsan illa wus’aha, lahaa maa kasabat wa ‘alaihaa maktasabat, robbanaa laa tu-aa khidznaa in nasiinaa au akhto’naa, robbana walaa tachmil ‘alainaa ishron kamaa chammaltahuu ‘alalladziina min qoblinaa, robbanaa walaa tuchammilnaa maa laa thooqota lanaa bih, wa’fu ‘anna waghfir lanaa warchamnaa anta maulaanaa fanshurnaa ‘alal qoumil kaafiriin. 

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka menyampaikan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” 

  6 Rahasia Dan Keutamaan Shalat Dhuha

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jikalau kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan terhadap kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami kepada kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)

Maksud Ayat Secara Global

Ayat di atas maksudnya yaitu insan tidak akan diberi beban kecuali sesuai kemampuannya. Inilah bentuk kelemahlembutan dan bentuk berbuat baik Allah pada hamba-Nya.

Ketika turut ayat sebelumnya,

وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ

“Dan jikalau kau melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, pasti Allah akan membuat perhitungan dengan kau perihal perbuatanmu itu.” (QS. Al-Baqarah: 284). Ketika para teman mendengar ayat ini, mereka merasa berat dan susah karena segala yang terbetik dalam hati akan dihisab atau diperhitungkan. Namun ayat 286 ini menjawabnya. Allah tidaklah membebankan sesuatu kecuali sesuai dengan kesanggupan hamba-Nya. Sedangkan sesuatu yang mustahil insan cegah mirip sesuatu yang terbetik dalam hati tentu tidak jadi beban baginya.

Allah akan membalas orang yang berbuat baik dan membalas yang berbuat jelek.

Kemudian Allah akan memberi isyarat pada insan untuk meminta pada-Nya dalam do’a,

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau aturan kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan terhadap orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak mampu kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami kepada kaum yang kafir.”

Do’a di atas kita rinci satu per satu.

Doa pertama: 

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau aturan kami bila kami lupa atau kami tersalah.

Maksudnya: Kita meminta pada Allah supaya tidak disiksa alasannya adalah lupa atau keliru. Lupa (nisyan) yaitu sehabis adanya ilmu. Sedangkan keliru (khotho’) ialah ketika belum mengenali ilmu. Khotho’ yang dimaksud dalam doa pertama yakni tidak tahu.

Disebutkan dalam hadits,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku saat ia keliru, lupa atau dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Doa kedua:

رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.

Maksudnya: Kita meminta pada Allah biar tidak dibebani dengan beban yang berat mirip yang dialami oleh orang Yahudi dan Nashrani yang ada sebelum umat Islam.

Contohnya: Umat sebelum Islam ketika tidak ada air, mereka tidaklah shalat. Mereka tidak diperintahkan mengganti dengan tayamum. Yang ada, mereka masih punya keharusan untuk menanggung shalat tersebut. Jika sebulan sarat tidak dapat air, kemudian mendapatinya sesudah itu, maka shalat-shalat yang ada tadi mesti diqadha’. Ini sangat berat. Sedangkan pada umat Muhammad, saat tidak mendapati air mirip itu, maka diganti dengan tayamum sebagaimana disebutkan dalam ayat,

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً فَامْسَحُوا بِوجُوهِكمْ وَأيديكمْ منه

“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah: 6)

Begitu pula umat sebelum Islam tidaklah boleh menjalankan shalat di sembarang tempat. Mereka harus shalat di daerah yang khusus seperti gereja, atau di daerah yang disebut bai’, atau shawami’. Ini sangat berat. Sedangkan pada umat Islam, daerah mana pun bisa dijadikan kawasan untuk shalat selain kamar mandi dan tempat pekuburan. Disebutkan dalam hadits,

  Cinta Tanah Air

وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا

“Dianugerahkan untukku tanah selaku masjid (kawasan shalat) dan untuk bersuci.” (HR. Bukhari no. 438)

Tentang tata cara tayamum disebutkan dalam riwayat berikut dari hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

Ada seseorang mengunjungi ‘Umar bin Al-Khattab, dia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir kemudian berkata pada ‘Umar bin Khattab tentang peristiwa beliau dulu, “Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun saya periode itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, kemudian aku shalat. Aku pun menyebutkan kelakuanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ia bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas ia shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tangan tersebut, lalu dia mengusap paras dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ

“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, lalu beliau usap tangan kiri atas ajudan, lalu beliau usap punggung kedua telapak tangannya, dan mengusap wajahnya.”

Doa ketiga:

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”

Maksudnya: Kita meminta agar tidak diberi beban yang tidak bisa kita memikulnya. Perkara semacam itu sebenarnya kita punya pilihan. Adapun masalah yang insan tak memiliki opsi di dalamnya misalnya diberikan sakit dan semacamnya, bila beban tersebut menimpanya, maka ia akan diberi pahala dan akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah kemudian.

Dalam doa tersebut juga kita minta:

Wa’fu ‘anna yaitu maafkanlah atas kelemahan dalam kita melakukan yang wajib.

Waghfirlanaa yakni ampunilah sebab kita sudah terjerumus dalam perkara yang haram.

Warhamnaa ialah rahmatilah dengan menunjukkan taufik untuk terus bisa istiqamah.

Tiga hal yang diminta itu bermakna berharap semoga dimaafkan karena teledor dari yang wajib, supaya diampuni sebab terjerumus dalam maksiat dan supaya dirahmati dengan terus diberikan keteguhan (keistiqamahan).

Kemudian di akhir doa tersebut disebutkan bahwa Allah itu mawlaa, artinya Allahlah yang mengelola problem kita, Allahlah tempat kita kembali dan Allahlah penolong kita. Lalu kita meminta tolong pada doa tersebut agar dijauhkan dari penindasan orang kafir.

Faedah dari Ayat di Atas

1- Rahmat Allah begitu besar karena Allah tidaklah membebani kecuali yang manusia mampu memikulnya.

2- Dari ayat ini, para ulama membuat suatu kaedah fiqhiyyah yang begitu ma’ruf,

لاَ وَاجِبَ مَعَ العَجْزِ

“Tidak ada kewajiban dikala tidak bisa.”

Contoh:

Ketika seseorang tidak mampu bersuci dengan air alasannya adalah sakit atau lumpuh atau tidak mendapati air atau khawatir sakit, bersuci tersebut beralih pada tayamum. Kalau tidak bisa tayamum alasannya tidak mendapati bubuk atau tanah untuk bertayamum, maka saat itu dia shalat dalam kondisi tidak berwudhu dan bertayamum alasannya adalah tidak ada kewajiban masa tidak bisa.

Jika seseorang shalat sedangkan didapati najis pada pakaiannya dan tidak diperoleh pakaian pengganti, najisnya pun tidak dapat dihilangkan pada pakaian, beliau tetap shalat dalam keadaan berpakaian najis mirip itu. Shalatnya tidak butuhdiulangi. Menjauhi najis dikala shalat ialah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Namun kewajiban tersebut gugur dikala tidak bisa dipenuhi.

  Tunjangan Sosial

Ketika seseorang shalat, wajib menghadap kiblat. Ketika sakit, beliau tidak bisa menghadap kiblat dan tidak ada yang bisa mengarahkan tubuhnya kea rah kiblat. Keadaan seperti itu menimbulkan menghadap kiblat menjadi gugur. Orang seperti itu shalat sesuai dengan keadaannya masa itu.

Ketika shalat tidak mampu dikerjakan dalam keadaan bangun, maka ketika itu boleh beralih ke posisi duduk. Jika tidak bisa duduk, maka beralih ke posisi berbaring ke segi kanan atau kiri dengan menghadap kiblat. Ketika ruku’ dan sujud mampu dengan arahan kepala. Namun ketika itu tidak cukup dengan isyarat jari sebagaimana diyakini sebagian orang awam.

Ketika seseorang tidak bisa membaca Al-Fatihah dan belum mengenalnya, maka gugur keharusan membaca Al-Fatihah. Wajib sebagai penggantinya yakni membaca dzikir dengan tahmid, takbir dan tahlil.

Jika wajib menunaikan zakat dan ketika itu tidak ada nuqud (uang tunai) dan tidak mampu berbelanja barang yang nanti dijadikan harta zakat, dikala itu zakat tersebut boleh ditunda hingga bisa berbelanja barang tersebut.

Puasa Ramadhan itu wajib, namun ketika ini dan seterusnya tidak mampu menunaikannya alasannya ketidakmampuan, sebagai gantinya yakni dengan menunaikan fidyah. Fidyah yang dikeluarkan ialah memberi makan pada orang miskin dari setiap puasa yang ditinggalkan. Jika tidak bisa menunaikan fidyah, jadilah gugur kewajiban tersebut.

Jika seseorang tidak memiliki kesanggupan untuk berhaji, maka gugurlah kewajiban untuk berhaji.

3- Manusia berbeda-beda dalam menyanggupi kewajiban. Ada yang mampu menunaikannya dan ada yang tidak mampu. Orang yang pertama menjadi wajib untuknya, berbeda dengan orang kedua.

4- Setiap orang yang berinfak shalih, ia akan mendapatkan risikonya. Termasuk pula seseorang mendapatkan akibat sebab mengajak orang lain melakukan kebaikan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Siapa yang memberi isyarat dalam kebaikan, maka dia akan menerima pahala dari orang yang melakukan kebaikan tersebut.” (HR. Muslim no. 1893)

5- Setiap orang yang melaksanakan maksiat, maka dia akan menemukan akhirnya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain,

لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ

“Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat akibat dari dosa yang dikerjakannya.” (QS. An-Nur: 11). 

Baik dosa tersebut dikerjakan langsung atau menjadi isyarat pada sesuatu yang haram. Jika menjadi petunjuk pada sesuatu yang haram, maka mempunyai arti dia mendapat bagian dari yang haram tersebut. Namun ini berbeda dengan orang yang memberikan pada kebaikan. Kalau orang yang menunjukkan pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan kebaikan yang semisal. Sedangkan orang yang mencontohkan pada keburukan akan menerima bagian dari dosa.

6- Karena dalam do’a disebut ‘rabbanaa’, ini menunjukkan adanya penetapan sifat Rabb atau sifat rububiyyahbagi Allah. Yang dimaksud meyakini sifat rububiyyah Allah yaitu meyakini Allah selaku pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam semesta.

7- Di antara budpekerti do’a yaitu memanggil Allah dengan nama Allah yang mulia ialah Rabb. Oleh alasannya adalah itu, dominan do’a dalam Al-Qur’an dimulai dengan panggilan Rabb.

8- Orang yang lupa dan keliru (tidak memiliki ilmu), maka diangkat dosa dari dirinya. Namun ada beberapa keharusan yang dikala lupa atau keliru harus diqadha’ namun tidak disematkan dosa padanya dikala melakukannya.

Contoh:

Orang yang berwudhu, lantas ia lupa mengusap kepala, kemudian tetap shalat dalam keadaan seperti itu. Saat lupa semacam itu, ia tidak berdosa walau ia berwudhu dengan wudhu yang tidak sah. Akan namun, ia harus mengulangi wudhunya, juga mesti mengulangi shalatnya. Kaprikornus yang terangkat hanyalah dosanya. Namun kewajibannya tidaklah gugur.

Ada orang yang tidak ingat shalat sama sekali alasannya kesibukan. Ia tidak menerima dosa. Namun shalat tersebut tidaklah gugur, tetap mesti dilaksanakan.

Jika seseorang salam sebelum sempurnanya shalat dalam keadaan lupa, maka dia tidaklah berdosa. Namun dia punya peran untuk menyempurnakan shalat tersebut.

Jika seseorang berpuasa kemudian makan dalam keadaan lupa, maka dimaafkan. Ia boleh tetap melanjutkan puasanya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda