Facebook Dalam Tinjauan Aturan Islam

“Facebook (Fb) Helps you connect and share with the people in your life”, demikianlah slogan satu dari sekian banyaknya medsos, adalah Faceebook. Jika kita baca yang dengannya teori “Tujuan” (Maqaashid/purpose), maka keberadaan Fb itu menjdai “perantara” ataupun sarana (wasiilah/tool). Sementara “Tujuan Fb” pada permulaan mulanya (Maqashid Asal Fb) itu sendiri merupakan “terwujudnya jalinan silaturrahim” dalam perabotan ukhuwwah, baik ukhuwwah basyariah, wathaniyah (nasionalisme), maupun ukhuwwah Islamiyyah. Jika menyelidiki semangat permulaan yng diusung oleh si pencetus Fb sebagaimana tercermin dalam slogannya yang telah di sebutkan (terwujudnya jalinan silaturahim), maka kita mampu menyampaikan sebetulnya memanfaatkan Fb itu hukumnya minimal sunnah. Namun, andai dilihat dari Fb menjdai sesuatu yng netral, maka kita bisa menyampaikan bantu-membantu ber-Fb itu aturan permulaan mulanya boleh ataupun mubah. Meskipun demikian, aturan asal penggunaan Fb menjdai sarana (al-wasiilah) ini mampu saja berubah menjadi wajib malah haram bergantung tujuan (maqaashidnya)
Yang butuh kita sadari sebetulnya Medsos (facebook wa akhawaatuhu) yng notabene menjdai sarana (al-wasiilah), ialah sesuatu yng netral, kadang mampu menyesatkan, tetapi kadang pun tak sedikit menawarkan kebaikan, “yudhillu bihi katsiira wa yahdi bihi katsiira, demikian istilah bahasa Agama”. Jikalau keberadaan medsos bantu-membantu bisa memperlihatkan tak sedikit manfa’at (yahdii bihi katsiira) misalnya memperluas jaringan silaturrahim (mendekatkan yng jauh), maka ber-medsos bisa jadi Amat diusulkan malah diwajibkan. Dalam kajian ushul fiqh, terutama di kalangan pengikut Madzhab Maliki, ajuan semisal ini diketahui yang dengannya ungkapan “pembukaan sarana (fath al-dzari’ah) selaku perluasan dari tata cara klasik “pemblokiran sarana” (sadd al-dzari’ah). Sebaliknya, jika kegiatan ber-medsos justru malah mengakibatkan banyak kemadharatan (yudhillu bihi katsiira), semisal menjauhkan yang dekat, memicu viral kebencian, mengembangkan gosip hoax dan sebagainya, maka “memblokir fasilitas Fb” ini menjadi sesuatu yng pun Amat direkomendasikan malah menjadi sebuah kemestian (sadd al-dzari’ah). Memblokir fasilitas berguna melarang sebuah aksi yng legal (asal mempergunakan Fb boleh/legal) karena ditakutkan akan berimplikasi pada agresi yng ilegal (penistaan ulama, penyebaran info hoax). Ulama sepakat bantu-membantu pelarangan itu hanya mampu diberlakukan andai mungkin terjadinya agresi ilegal itu melampaui mungkin tak terjadinya. [Jasser Auda, Maqashid Syari’ah: A Beginner’s Guide, 40; juga Abu Zahrah, Ushul Fiqh, 271].
Sementara itu, dalam kaitannya yang dengannya ini, Imam al-Qarafi membagi peraturan syariat ke dalam sarana-sarana (al-wasaa’il) serta tujuan-tujuan (al-maqaashid). Beliau pun merekomendasikan semoga diblokirnya fasilitas -sarana (Fb serta saudara-saudaranya) yng menghasilkan terjadinya tujuan yng ilegal (mencaci, hoax, pencemaran nama baik, dll), serta semoga dibukanya sarana-sarana (diperbolehkan malah direkomendasikan ber-Fb an) yng mengirimkan terhadap tercapainya tujuan-tujuan legal (menjalin silaturrahim, berdakwah, berbagi ilmu, dll). Maka, dalam hal ini berlaku kaidah bantu-membantu “aturan sarana (aturan Fb) semisal halnya status hukum yng ada pada tujuan” (lil wasaa’il kahukmil maqaashid). [Al-Qarafi, al-Furuuq, II/60].

  Pertumbuhan Perpustakaan Digital Di Indonesia