close

Evaluasi Taktik Penempatan Merek Sebagai Bagian Dalam Komunikasi Pemasaran Terpadu

Analisa Strategi Penempatan Merek Sebagai Bagian dalam Komunikasi Pemasaran Terpadu
Komunikasi pemasaran yang dikerjakan oleh perusahaan di dalam mengkomunikasikan aneka macam macam produknya, kebanyakan menggunakan media iklan tradisional mirip iklan televisi, iklan koran serta majalah, iklan radio, dsb. Kondisi tersebut sesuai dengan keadaan penduduk Indonesia dimana wilayah Indonesia yang luas dan tersebarnya sasaran audiens di aneka macam pulau, dibarengi dengan taraf ekonomi yang masih rendah, membuat televisi dan radio sebagai media yang masih memperlihatkan ketertarikan. 
Hasil survey menyatakan bahwa nyaris 90% penduduk Indonesia memiliki televisi. Hal tersebut ialah dasar pendapatbagi para pemasar untuk menggunakan media iklan tradisional selaku media komunikasi pemasarannya. (Jaffe ;2006). Tabel, ialah data dari P3I (Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia) perihal takaran pembagian kue iklan pada media tradisional pada tahun 2003.
Tabel Pembagian takaran iklan pada media iklan tradisional
Dari tabel, mampu disimpulkan bahwa stasiun televisi merupakan media iklan favorit pilihan pemasar di dalam mengkomunikasikan produk-produknya sebesar 61,1% dari total takaran belanja iklan nasional di Indonesia. Sedangkan koran ialah media iklan tradisional favorit urutan kedua ditempati oleh media iklan koran sebesar 25,9 %. Sementara sisa takaran 13 % ditempati oleh media radio, billboard, majalah dan tabloid.
Dewasa ini, kemajuan media iklan tradisional bertumbuh dan berkembang dengan segera. Beberapa keadaan dan suasana yang dapat dicermati seperti pertumbuhan pesat dari stasiun televisi baik untuk televisi nasional maupun televisi lokal serta munculnya banyak sekali macam koran dan majalah yang melayani segmen pelanggan terbatas (niche segment market). Hal ini memberikan imbas yang besar bagi kalangan industri terutama berkaitan dengan acara komunikasi pemasaran produk mereka.
Beberapa pola efek langsung dari perkembangan media iklan tradisional tersebut yaitu meningkatnya budget iklan dari produk perusahaan dengan usulanbahwa sampaumur ini beriklan di satu stasiun televisi saja tidak cukup untuk menjangkau semua sasaran audiens perusahaan serta adanya usulanbahwa konsumen selalu mengubah akses televisi pada dikala hadirnya commercial break atau jeda iklan. 
Menurut Fary M. Farghob, Managing Director Draf Indonesia, menyatakan bahwa penggunaan komunikasi produk yang gencar melalui media televisi tidak menawarkan jaminan bahwa produk tersebut akan diserap dengan cepat oleh pasar. Fary menyertakan bahwa pada periode terdahulu memang iklan televisi pernah menjadi raja di dunia pemasaran, tetapi sekarang bentuk iklan 30 detik sedang mengalami penurunan. Di Amerika Serikat, tambah Fary, kiblat dunia pertelevisian, rating acara prime time mulai ditinggalkan seiring menurunnya waktu para pemirsa menonton televisi. Tren ini diperkirakan tak hanya meningkat di negara-negara Barat, tetapi juga di negara meningkat , seiring kemajuan teknologi yang menghipnotis kebiasaan menonton televisi.
Tren mirip ini mulai meraih kepingan dunia lainnya dan untuk mengatasinya para praktisi penjualan mengoptimalkan anggarannya di semua lini. Kini, 75% pelanggan mengambil keputusan dan menentukan produk saat berada di kawasan pemasaran, sehingga atribut penarik perhatian Point Of Purchase (POS) yang dahulu tidak diamati, justru sekarang menjadi penting. Iklan televisi saat ini sudah tidak memadai lagi dalam artian agensi iklan mesti mengerti fenomena ini untuk membuat bahan POS yang besar lengan berkuasa yang hendak mempengaruhi keputusan para pelanggan dikala berbelanja (Sinar Harapan; 2003).
Kondisi tersebut menjadikan pemasar mesti pilih-pilih di dalam menentukan media iklan yang efektif serta efisien di dalam mengembangkan ekuitas merek (brand equity) dan di dalam memajukan omzet pemasaran sebagai hasil dari komunikasi penjualan yang efektif. 
Dalam dunia periklanan, terdapat pembagian dua jenis kegiatan utama iklan yang dikenal dengan istilah Above The Line (ATL) dan Below The Line (BTL). ATL adalah acara iklan dengan memakai media massa mirip televisi, radio, koran, majalah, dan billboard untuk meraih target audiens secara luas. Sedangkan BTL yakni acara iklan dengan menggunakan media yang lebih spesifik di dalam menjangkau kalangan pelanggan tertentu seperti melalui pembagian brosur, sampling produk, penyelenggaraan event – event tertentu, dsb.
Perubahan karakteristik dari tingkah laku konsumen (consumer behavior) dimana ketika ini konsumen membenci untuk ”dipaksa” dalam menyaksikan iklan serta tidak efektifnya penggunaan media iklan tradisional atau ATL menciptakan desain Integrated Marketing Communication (IMC) atau yang dikenal dengan istilah dalam bahasa Indonesia yakni Komunikasi Pemasaran Terpadu.
Konsep IMC timbul semenjak tahun 1980 dimana Theodore Levitt (1982) dalam bukunya ”Innovation in Marketing” memperkenalkan kata koordinasi dan integrasi di dalam bermacam-macam kegiatan promosi. Perusahaan melihat bahwa pentingnya koordinasi dan integrasi dari aneka macam elemen penawaran spesial dan acara marketing lainnya untuk berkomunikasi dengan para pelanggannya. 
Untuk menerima efek yang besar maka perusahaan berbagi total marketing communication strategy dengan menerapkan semua kegiatan marketing, tidak hanya sekedar penawaran khusus tetapi juga melakukan komunikasi dengan para pelanggannya. Pemasar sadar bahwa persepsi konsumen kepada suatu perusahaan ataupun merek produk ialah sintesis dari seperangkat kontak yang pelanggan alami dan pesan yang diterima oleh pelanggan. Sehingga semua komponen penjualan mulai dari bauran pemasaran yang meliputi produk, harga, distribusi, dan promosi, event – event marketing, publisitas, situs web, dan bagian lain dikoordinasikan dan diintegrasikan menjadi satu kesatuan strategi komunikasi yang terpadu. 
Pentingnya penerapan IMC sangat dimengerti oleh para produsen dan pemasar di Indonesia. Prosentase pembagian anggaran komunikasi perusahaan yang pada umumnya didominasi oleh ongkos komunikasi ATL, kini mulai bergeser porsinya dengan alokasi biaya komunikasi untuk BTL. Pemasar mulai menyadari bahwa kombinasi komunikasi ATL dan BTL yang seimbang mampu menciptakan IMC yang mampu menawarkan efek lebih besar dan berpengaruh. Tabel 1.2 dibawah ini, memperlihatkan beberapa takaran perbandingan alokasi budget ATL dan BTL dalam acara IMC. (MIX, 2006)
Tabel Prosentasi Alokasi Anggaran ATL : BTL
Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan oleh pemasar di dalam mengimplementasikan IMC. Salah satu cara jitu yang cukup umur ini mulai sering digunakan oleh pemasar ialah dengan memakai seni manajemen penempatan merek atau merk placement. Strategi merk placement ialah aktivitas – acara penempatan nama merek, produk, bungkus produk, lambang atau logo tertentu dalam suatu film, acara televisi ataupun media bergerak lain untuk memajukan ingatan audiens akan merek tersebut dan untuk merangsang terciptanya pembelian.
Strategi penempatan merek atau merk placement yakni strategi komunikasi penjualan yang unik. Jika dilihat dari definisi konsepnya, strategi ini mampu digolongkan dalam kategori BTL tetapi pada implementasi di lapangan taktik merk placement dapat menjangkau sasaran audiens yang luas layaknya aktivitas ATL.
Fokus dari karya tulis ini yaitu evaluasi kelebihan dan manfaat serta penerapan dari taktik penempatan merek yang merupakan bagian dari acara IMC. Analisa taktik tersebut akan diulas dari segi konsep teoritis dan hasil penelitian dari beberapa pakar marketing serta pendapat dari para praktisi industri periklanan. Selain itu juga terdapat acuan kasus dari merek-merek yang sudah mengimplementasikan strategi merk placement di dalam aktivitas IMC perusahaan.