Etika Kebudayaan Suku Mentawai

Orang Mentawai mendiami empat pulau besar yakni Siberut  Adat Kebudayaan Suku Mentawai

Orang Mentawai 

Adat Kebudayaan Suku Mentawai

Orang Mentawai mendiami empat pulau besar yakni Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora. Mereka tinggal di hutan tropik yang lebat yang belum pernah atau telah sejak lama tidak ditebang manusia. Dari formasi pegunungan yang membujur ditengah-tengah ke empat pulau tadi, mengalirlah puluhan air sungai dengan derasnya. Jika kita lihat dari laut, maka kepulauan Mentawai seolah tak berpenghuni sebab cuma pantai kosong dan deret pohon-pohon kelapa.

Kebanyakan dari suku mentawai tinggal di kampung-kampung. Kampung tersebut terletak di pinggir sungai di pedalaman, Walaupun ada pula yang letaknya di pinggir pantai. Tiap kampung berisikan tiga sampai lima kawasan yang disebut perumaan, yang berpusat pada satu rumah adab yang besar atau Uma. Suatu Uma merupakan bangunan yang besar dan megah. Panjang Uma meraih sampai 25 meter dan lebarnya berkisar 10 meter. Kerangka Uma terbuat dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding rumahnya dari kulit kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu. Fungsi dari Uma sendiri adalah selaku balai konferensi umum untuk upacara dan pesta etika bagi anggota-angotanya yang seluruhnya masih terikat hubungan korelasi menurut budpekerti.

Orang Mentawai mendiami empat pulau besar yakni Siberut  Adat Kebudayaan Suku Mentawai


Masyarakat Mentawai masih amat tertutup sampai sekarang, adab istiadat juga masih menghiasi hidup orang. Pelanggaran akhlak tidak cuma mengakibatkan seseorang akan dikucilkan, tetapi juga akan dikenakan ragu-ragu etika atau tulon. Mereka adalah cerminan dari orang-orang yang menjunjung tinggi adab-istiadat dari nenek moyang.


Orang Mentawai mendiami empat pulau besar yakni Siberut  Adat Kebudayaan Suku Mentawai
Suku Mentawai yakni sekelompok masyarakat yang
tinggal hidup dan menetap di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
 

Agama Suku Mentawai
Mayoritas orang Mentawai memeluk agama Nasrani, dan sebagian beragama Protestan, Islam, atau Bahai. Namun demikian, sebagaian masyarakatMentawai masih tetap memegang teguh religinya yang asli, yakni Arat Sabulungan. Arat mempunyai arti adat, Sa bermakna seikat dan bulungan memiliki arti daun. Disebut Sabulungan alasannya adalah dalam setiap program ritualnya senantiasa menggunakan daun-daun yang dipercaya dapat menghubungkan insan dengan Sang Maha Kuasa atau disebut selaku Ulau Manua (Tuhan). Pada dasarnya sabulungan mengajarkan keseimbangan antara alam dan manusia. Kepercayaan itu mengjarkan bahwa manusia harus memperlakukan alam, berkembang-tanaman, air, dan hewan mirip dirinya.

Dalam iktikad suku Mentawai ihwal daun atau lebih luasnya lagi pohon atau hutan ialah daerah bersemayam bagi para tuhan-tuhan yang harus dihormati. Jika tidak, maka malapetakalah yang mau dijumpai. Ada tiga tuhan yang dihormati dalam aliran Sabulungan. Pertama Tai Kalelu, yakni ilahi hutan dan gunung. Pesta adat sebelum berburu selalu dipersembahkan kepada yang kuasa ini. Kedua ialah Tai Leubagat, yang ialah tuhan maritim. Ketiga adalah Tai Kamanua, yang merupakan tuhan langit sang pemberi hujan dan kehidupan.


  Jenis Batu Bacan Doko Dan Palamea
Suku Mentawai tinggal di rumah panggung besar yang disebut dengan Uma 

Dahulu Arat Sabulungan dijadikan selaku norma dalam penentuan segala korelasi insan dengan alam dan dalam korelasi batin khusus dengan Tuhannya. Alam sangat dihormati oleh suku Mentawai bgitu juga dengan binatang sebab mereka yakin bahwa semua itu ada pemiliknya yang mempunyai kekuatan yang sangat besar yang jika diganggu akan mendatangkan peristiwa. Rasa persaudaraan ketika masyarakat Mentawai masih menganut Arat tersebut sangatlah dekat. Bagi siapa pun yang melanggar Arat akan dijatuhi eksekusi yang diputuskan dalam  musyawarah Uma. Mereka berkeyakinan bahwa kalau ada salah satu yang melanggar maka semua akan terkena dampaknya.


Orang Mentawai mendiami empat pulau besar yakni Siberut  Adat Kebudayaan Suku Mentawai



Kebudayaan Yang Punah
Seiring imbas yang masuk dari luar, baik di abad penjajahan atau sehabis kemerdekaan Indonesia, Arat Sabulungan tidak bisa dilaksanakan lagi dalam bentuk formal. Arat Sabulungan dianggap selaku doktrin yang sesat, bahkan segala atribut mereka dibakar dan dimusnahkan. Padahal yang mereka sembah yaitu pengusa langit dan bumi yang tidak kelihatan, yang sejumlah agama disebut Tuhan. Saat pemerintah cuma menetapkan lima agama yang boleh dianut oleh masyarakat, alhasil perlahan-lahan akidah ini hilang.

Pada tahun 1950-an kehancuran Arat Sabulungan makin menjadi alasannya adalah gencarnya masuknya agama ke Mentawai. Pada mulanya masyarakat Mentawai menolak dengan keras bahkan melaksanakan perlawanan fisik dengan kehadiran agama tersebut sebab mereka berpendapat bahwa mereka telah mempunyai agama yang dijadikan pegangan hidup. Beberapa masyarakatditangkap dan dipenjarakan untuk memaksa agar orang Mentawai meninggalkan Arat Sabulungan dan menganut agama impor tersebut. Betapa suramnya masa itu, penduduk panik dalam mengerjakan ritualnya alasannya tak ada belas kasihan bagi mereka yang melakukan kepercayaannya.Pemaksaan itulah yang menghancurkan akidah suku Mentawai, baik dari simbol maupun dari nilai luhur yang ada padanya.


Orang Mentawai mendiami empat pulau besar yakni Siberut  Adat Kebudayaan Suku Mentawai


Peradaban Mentawai dihancur leburkan oleh akidah abnormal tersebut. Namun dalam perkembangan sesudah agama tadi masuk, agama tersebut tidak banyak memperlihatkan ketentraman dalam jiwa mereka. Agama telah menghancurkan budaya dan kearifan setempat tersebut, dan yang lebih mengerikan lagi adalah generasi muda Mentawai yang kehilangan identitas akan keaslian suku mereka.

Para misionaris dan pemerintah Indonesia sudah menghancurkan peradaban Mentawai, menimbulkan suku Mentawai abnormal di tanahnya sendiri dikarenakan budaya mereka yang punah.

Beruntung Mentawai bagian Siberut masih gigih menjaga dogma dan nilai itu. Mereka setengah mati menjaga Arat Sabulungan yang diyakininya. Namun, di Mentawai bagian selatan mirip pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora nilai luhur tradisi Arat Sabulungan sudah menipis.

Pemaksaan dalam dogma yang dianut bagaimanapun caranya ialah hal yang tidak mampu dibenarkan. Pemerintah sebaiknya menjamin dan melindungi dogma tiap-tiap warga negara di republik ini. Demikian pula keserasian hidup orang Mentawai, akan terasa lebih tentram kalau tanpa pemaksaan terhadap akidah yang mereka anut. Semoga tidak ada lagi kisah pemaksaan yang merenggut keleluasaan dogma di negeri kita yang tercinta ini.