Ekonomi Politik, Dan Konflik Budaya Kota Pontianak – Jakarta 1930An – 1998

Pelajari Pontianak, akan tampak dengan proses dari pencapaian setiap budaya, dimana yang mematuhi kebijakan dan mengerti budaya mereka sendiri dalam setiap kondisi masyarakatnya, berdasarkan hasil seksualitas.

Ketika mengetahui setiap arah kota akan tampak dengan budaya kota yang dipelajari dengan kebuasaan insan, dan rentangan layar yang sudah kendor oleh mereka dalam metode politik dengan sebuah perumpamaan terhadap budaya mereka sendiri.

Hal ini menceritakan suatu kesadaran insan, dan keterlibatan mereka terhadap tata cara budaya dan ekonomi yang tercipta pada kelas sosial mereka dikala ini. Ketika hal ini berada pada keadaan penduduk yang saat ini terjadi.

Kepentingan dan kebutuhan sosial menyebabkan argumentasi kepada penduduk yang berperan dalam duduk perkara kelas sosial, budaya dan agama serta seksualitas. Peran wanita dalam hal ini dikala berpegang pada sistem budaya sosial yang menempel pada kebudayaan setempat.

Biasanya untuk menutup kejelekan budaya dalam hal ini etnik, dan kehidupan sosial mereka hidup pada profesi yang mereka kerjakan utamanya pada seksualitas. Itu yang dilangsukan pada tata cara seksualitas ekonomi yang berada pada problem manusianya.

Ketika hal ini penting dalam melihat aneka macam hal terkait budaya dan agama mereka, terjadi problem, dan psikologis dan sosiologis di masyarakat dengan adanya faktor kehidupan sosial yang saat ini berada pada keadaan budaya dan agama.

Hal ini menerangkan adanya urbanisasi ekonomi perkotaan, kekuasaan, dan kepentingan budaya yang melekat pada keperluan dan ketergantungan masing-masing suku dan budaya mirip Tionghoa – Batak dan Jawa serta (Dayak primitif sebelumnya) pada kepentingan ekonomi politik pada tahun 2000 – 2008 di Pontianak.

  Aset Negara, Klaim Sistem Budaya Penduduk Setempat

Drama kehidupan sosial, dan cara kotor serta berlindung dibalik tembok agama Katolik dan Katolik pada injil dan perintah Tuhan menjelaskan hal ini dengan baik, pada politik PDI Perjuangan di Kalimantan Barat, ibaratkan layar yang telah kendor, pada saat itu mereka membagikan barang rampasan mereka 1967 – 1999, dan era kolonial belanda, mampu dipahami dari perkampuangan rumah.

Filsafat menjelaskan eksistensi mereka dalam hal ini, serta penyingkiran, konflik ekonomi, perusakan badan manusia, kepentingan agama dan budaya, serta dalam hal ini pengetahuan, dan ketidaksenangan dalam berbagai politik identitas yang mampu dipahami dengan adanya moralitas dan akhlak yang rendah.