Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sesuatu, pastilah sesuatu itu baik bagi umatnya. Sebaliknya, jikalau ia melarang sesuatu, pastilah sesuatu itu buruk bagi umatnya.
Namun, kerap kali manusia tak mengindahkan isyarat & larangan yg telah digariskan beliau. Banyak perintah yg tak ditaati & banyak larangan yg dilanggar. Di antaranya, dua larangan berikut ini.
Daftar Isi
اِنَّمَا نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ صَوْتُ مِزْمَارٍ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَ صَوْتُ رَنَّةٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
“Sesungguhnya gue melarang dua bunyi yg paling kurang pandai & keji, yakni suara seruling tatkala sedang mendapat lezat & suara tangis yg keras tatkala mendapat bencana alam” (HR. Tirmidzi & Baihaqi; hasan)
Suara seruling tatkala sedang mendapat lezat
Alangkah sering hal ini dilanggar oleh umat Islam. Seakan-akan dianggap hal yg biasa & boleh-boleh saja. Padahal sesungguhnya ini dihentikan Rasulullah & digelari dgn paling terbelakang & keji.
Kita lihat saat keluarga muslim mendapatkan lezat pernikahan. Walimah yg semestinya menjadi wujud rasa syukur & bentuk pengumuman pada khalayak bahwa si Fulan & Fulanah menikah, berkembang menjadi ajang hiburan yg di dalamnya ada hal terlarang.
Diputarnya musik-musik yg diiringi seruling merupakan hal yg sering terjadi di penduduk kita dikala walimah atau acara yang lain. Bahkan sebagian orang bukan hanya memutar musik melalui kaset namun memanggil grup band atau elektone & sejenisnya yg dengan-cara live menghadirkan santapan musik tergolong seruling.
Banyak acara-acara lain yg pula masuk dlm kerangka “nikmat Allah” tetapi diisi oleh pemutaran musik dgn seruling di dalamnya. Misalnya khitanan & syukuran. Persis mirip yg dilarang Rasulullah dlm hadits tersebut.
Suara tangis keras dikala bencana alam
Siapapun yg terkena bencana alam, manusiawi jikalau ia bersedih & berduka. Bahkan menangis sekalipun. Namun yg tidak boleh oleh Rasulullah yakni menangis dgn bunyi keras. Meraung-raung. Meratap.
Umat Islam dituntun untuk bersabar ketika menghadapi petaka. Baik tatkala kehilangan anggota keluarga, ada tragedi maupun bentuk-bentuk bencana alam yang lain. Menangis meraung-raung merupakan tanda bahwa ketabahan masih belum timbul ketika menghadapi musibah.
Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/wargamasyarakat]