Sebagaimana yang diketahui bahwa Imam Hanafi hidup di dua zaman, adalah zaman dinasti Umayyah dan zaman Dinasti Abbasiyah. Dalam kisahnya di ceritakan bahwa dimasa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang waktu dipimpin oleh Abu Ja’far Al Mansur sedang mencari orang yang tepat untuk menduduki jabatan sebagai Hakim di permerintahannya.
Kemudian khalifah Abu Ja’far Al-Mansur berkata kepada menterinya, “Aku sedang membutuhkan seorang hakim yang mampu menegakkan keadilan di negara kita ini, dengan kualifikasi beliau tidak takut terhadap siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling mengerti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Khalifah berkata: Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi ini?”, lalu sang menteri menjawab, “Sejauh pengetahuan saya, ulama yang paling tepat menduduki jabatan ini yaitu Abu Hanifah An-Nu’man, betapa bahagianya kita kalau beliau mendapatkan proposal sebagai hakim ini!”
“Apa mungkin seseorang bisa menolak kalau kita yang memintanya?” tanya Khalifah lagi, “Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah tunduk terhadap permintaan siapapun, sepertinya ia tidak suka menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang delegasi mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima proposal ini.”
Kemudian khalifah menyuruh seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya menawarkan posisi selaku hakim. Abu Hanifah menjawab, “Aku akan istikharah terlebih dulu, shalat 2 rakaat meminta petunjuk terhadap Allah, jikalau hatiku dibuka maka akan aku terima, jikalau tidak maka masih banyak ahli fikih lain yang mampu dipilih salah satu daintara mereka oleh Amirul Mukminin.”
Waktu terus berlangsung, ternyata Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah, maka beliau menyuruh seorang delegasi memintanya menghadap, Abu Hanifah kemudian pergi menghadap tetapi beliau beritikad untuk menolak jabatan hakim yang disediakan kepadanya.
Ternyata Khalifah tidak mengalah begitu saja, beliau bersumpah biar Abu Hanifah menerima jabatan selaku hakim yang ditawarkan, akan tetapi Abu Hanifah tetap menolaknya, seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bahwasanya aku tak patut untuk menduduki jabatan hakim,” lalu Khalifah malah menjawab, “Engkau dusta!”
Sehingga Abu Hanifah pun berkata, “Sekiranya Anda telah menghukumi aku sebagai pembohong, maka bergotong-royong para pembohong tak layak menjadi hakim, dan semestinya Anda jangan mengangkat rakyat Anda yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis ini.
Imam Hanafi berkata : Wahai Amirul Mukminin, takutlah terhadap Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali kepada mereka yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan, bagaimana aku akan menerima jaminan terhindar dari murka?”. Khalifah lalu menyuruh mencambuknya seratus cambukan, kemudian dijebloskannya ke penjara.
Selang beberapa hari, khalifah mendapat teguran dari seorang kerabatnya, “Wahai Amirul Mukminin, bergotong-royong Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang.”
Maka khalifah secepatnya memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham (sekitar Rp.2,1 miliar) kepada Abu Hanifah selaku ganti atas yang telah dideritanya, lalu membebaskannya dan mengembalikan ke rumahnya.
Ternyata sesudah harta tersebut diberikan, beliau menolaknya. Maka khalifah memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja para menteri menganjurkan bahwa Abu Hanifah secepatnya dibebaskan dan cukup diberi dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama penduduk atau keluar dari rumah.
Kisah di atas sungguh bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada zaman kini ini, yang mana orang-orang saling berebut untuk menempati suatu jabatan. Entah apa motivasinya sehingga orang-orang dimasa kini sangat menginginkan suatu jabatan walaupun mesti mengeluarkan biaya yang sungguh besar.
Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi sungguh faham betul ihwal apa arti sebuah jabatan, alasannya adalah kedudukan mirip hakim itu sangat penuhdengan kepentingan para penguasa dan kekuasaannya. Kemudian alasannya rasa takutnya terhadap Allah SWT melebihi rasa takutnya kepada makhluk, maka Imam Hanafi menolak jabatan sebagai hakim tersebut.
Semoga cerita ihwal imam hanafi menolak menjadi hakim ini dapat menunjukkan pelajaran untuk generasi saat ini dan generasi yang hendak tiba. Wallaahu A’lam.