Dinamika Perkembangan Konstitusi di Indonesia
A Lahirnya Konstitusi di Indonesia
Sebagai Negara yang berdasarkan aturan, tentu saja Indonesia mempunyai konstitusi yang diketahui dengan undang-undang dasar 1945. Eksistensi Undang-Undang Dasar 1945 selaku konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangaat panjang sampai jadinya diterima selaku landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia. Dalam sejarahnya, UUD 1945 dirancing semenjak 29 Mei 1945 hingga 16 Juni 1945 oleh badan penyelidik usaha-usaha antisipasi kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa jepang diketahui dengan dokuritsu zyunbi tyoosakai yang beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno dan Drs. Moh, Hatta selaku wakil ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3 orang dari Sumatra dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan menurut maklumat gunseikan nomor 23 bersamaan dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945 (Malian, 2001:59)
Badan ini lalu memutuskan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka yang lalu dikenal dengan nama UUD 1945 (UUD’45). Para tokoh perumus itu yakni antara lain Dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prop. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul WACHID hasyim dan Mr. Mohammad Hasan (Sumatra).
Latar belakang terbentuknya konstitusi (Undang-Undang Dasar’45) bermula dari janji Jepang untuk menawarkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Janji tersebut antara lain berisi “sejak dari dulu, sebelum pecahnya pertempuran asia timur raya, Dai Nippon sudah mulai berupaya membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintah hindia belanda. Tentara Dai Nippon bersamaan menggerakkan angkatan perangnya, baik di darat, bahari, maupun udara, untuk menyelesaikan kekuasaan penjajahan Belanda”.
Sejak ketika itu Dai Nippon Teikoku menatap bangsa Indonesia sebagai kerabat muda serta membimbing bangsa Indonesia dengan ulet dan nrimo ikhlas di semua bidang, sehingga dibutuhkan kelak bangsa Indonesia siap untuk bangkit sendiri sebagai bangsa Asia Timur Raya. Namun komitmen hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah yang senantiasa ingin lebih lama menindas dan menyedot kekayaan bangsa Indonesia. Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya. Setelah mengalah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan leluasa untuk berbuat dan tidak bergantung pada Jepang sampai ketika kemerdekaan tiba.
Setelah kemerdekaan dicapai, keperluan akan suatu konstitusi resmi tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia menjadi suatu Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menciptakan beberapa keputusan selaku berikut:
1. Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari desain undang-undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945
2. Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya nyaris seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945
3. Memilih ketua persiapan kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno selaku presiden dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden
4. Pekerjaan presiden untuk beberapa waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang lalu menjadi komite Nasional
5. Dengan terpilihnya presiden dan wakilnya atas dasar UUD 1945 itu, maka secara formal Indonesia tepat sebagai sebuah Negara, alasannya adalah syarat yang lazim dibutuhkan oleh setiap Negara telah ada yaitu adanya:
a. Rakyat, yakni bangsa Indonesia
b. Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang terbentang dari sabang hingga ke merauke yang terdiri dari 13.500 buah pulau besar dan kecil
c. Kedaulatan yakni semenjak mengucap proklamasi kemerdekaan Indonesia
d. Pemerintah yaitu sejak terpilihnya presiden dan wakilnya sebagai pucuk pimpinan pemerintahan Negara
Tujuan Negara Indonesia ialah mewujudkan penduduk adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Bentuk Negara yaitu Negara kesatuan.
2. Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Konstitusi sebagai aturan dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara dapat berbentukkonstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Dalam hal konstitusi terstulis, hampir semua negara di dunia memilikinya yang lajim disebut undang-undang dasar (UUD) yang pada umumnya mengontrol tentang pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja aneka macam lembaga kenegaraan serta pertolongan hak azasi manusia. Negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak mempunyai konstitusi tertulis ialah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi manusia terdapat pada akhlak kebiasaan dan juga tersebar di banyak sekali dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang telah sungguh bau tanah mirip Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi insan rakyat Inggris.Karena ketentuan tentang kenegaraan itu tersebar dalam aneka macam dokumen atau hanya hidup dalam adab kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
Adanya negara yang diketahui sebagai negara konstitusional tetapi tidak mempunyai konstitusi tertulis, nilai-nilai, dan norma-norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara juga diakui sebagai aturan dasar, dan tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Karena itu, Undang-Undang Dasar selaku konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke dalam pemahaman konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel) sebuah Negara.
Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan bahan muatan konstitusi selalu meningkat seiring dengan perkembangan peradaban insan dan organisasi kenegaraan. Kajian ihwal konstitusi kian penting dalam negara-negara terbaru saat ini yang kebanyakan menyatakan diri selaku negara konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki konstitusional. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat dikenali prinsip-prinsip dasar kehidupan bareng dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi mampu dibilang mewakili tingkat peradaban sebuah bangsa.
Suatu konstitusi tertulis, sebagaimana halnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat serta praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah UUD. Karena itu, situasi kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis sebuah ketentuan UUD perlu diketahui dengan seksama, untuk mampu mengetahui dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.
UUD tidak dapat dimengerti hanya melalui teksnya saja. Untuk betul-betul mengetahui, kita harus memahami konteks filosois, sosio-historis sosio-politis, sosio-juridis, dan bahkan sosio-irit yang menghipnotis perumusannya. Di samping itu, setiap kala waktu dalam sejarah memperlihatkan pula keadaan-kondisi kehidupan yang membentuk dan mensugesti kerangka ajaran (frame of reference) dan medan pengalaman (ield of experience) dengan muatan kepentingan yang berlainan, sehingga proses pengertian terhadap sebuah ketentuan UUD dapat terus meningkat dalam praktek di lalu hari. Karena itu, penafsiran kepada UUD pada kurun kemudian, era sekarang, dan pada kurun yang akan datang, membutuhkan acuan kriteria yang mampu dipertanggungjawabkan dengan sebaik mungkin, sehingga UUD tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah UUD, diperlukan pula adanya Pokok-Pokok fatwa konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta relevansinya secara langsung atau tidak pribadi terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan Undang-Undang Dasar.
B. Pengesahan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 oleh BPUPKI
UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku selaku konstitusi Negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yakni sehari setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Naskah Undang-Undang Dasar 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh satu badan bentukan pemerintah bala tentara Jepang yang diberi nama “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” yang dalam bahasa Indonesia disebut “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan anggota tubuh ini dilantik oleh Pemerintah Balatentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka menyanggupi janji Pemerintah Jepang di depan dewan perwakilan rakyat (Diet) untuk menawarkan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia . Namun, setelah pembentukannya, tubuh ini tidak cuma melakukan usaha-perjuangan persiapan kemerdekaan sesuai dengan tujuan pembentukannya, namun malah merencanakan naskah Undang-Undang Dasar sebagai dasar untuk mendirikan Negara Indonesia merdeka.
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, serta Itibangase Yosio dan Raden Panji Suroso, masing-masing sebagai Wakil Ketua[6]. Persidangan badan ini dibagi dalam dua abad, adalah masa sidang pertama dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan periode sidang kedua dari tanggal 10 Juli hingga dengan 17 Juli 1945. Dalam kedua abad sidang itu, fokus obrolan dalam sidang-sidang BPUPKI langsung tertuju pada upaya menyiapkan pembentukan sebuah negara merdeka. Hal ini tampakselama periode persidangan pertama, obrolan tertuju pada soal ‘philosoische grondslag’, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka negara Indonesia merdeka. Pembahasan perihal hal-hal teknis wacana bentuk negara dan pemerintahan gres dikerjakan dalam periode persidangan kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Agustus 1945 .
Dalam masa persidangan kedua itulah dibuat Panitia Hukum Dasar dengan anggota terdiri atas 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan anggota yang terdiri atas Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim, dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil berhasil menuntaskan tugasnya, dan BPUPKI menyepakati hasil kerjanya sebagai desain UUD pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah BPUPKI sukses menyelesaikan tugasnya, Pemerintah Balatentara Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang, termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Setelah menyimak laporan hasil kerja BPUPKI yang telah menuntaskan naskah desain Undang-Undang Dasar, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa anggota masih ingin mengajukan ajakan-seruan perbaikan disana-sini terhadap desain yang telah dihasilkan, namun hasilnya dengan aklamasi rancangan Undang-Undang Dasar itu secara resmi disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Namun demikian, sehabis resmi disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang berjulukan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 memang dimaksudkan selaku UUD sementara yang menurut ungkapan Bung Karno sendiri merupakan ‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang mesti diganti dengan yang gres kalau negara merdeka sudah bangun dan kondisi telah memungkinkan. Hal ini dicantumkan pula dengan tegas dalam ketentuan orisinil Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi: “Dalam enam bulan sehabis Majelis Permusyawaratan Rakyat dibuat, Majelis ini bersidang untuk memutuskan UUD”.
Adanya ketentuan Pasal III Aturan Tambahan ini juga menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada setelah MPR-RI menetapkannya secara resmi. Akan namun, hingga Undang-Undang Dasar 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, MPR yang ada berdasarkan UUD 1945 belum pernah sekalipun memutuskan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
1. Konstitusi RIS 1949
Setelah Perang Dunia Kedua selsai dengan kemenangan pada pihak Tentara Sekutu dan kekalahan di pihak Jepang, maka kepergian Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah air Indonesia dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Namun, usaha Pemerintah Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya tidak gampang alasannya menerima perlawanan yang sengit dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena itu, Pemerintah Belanda menerapkan politik memecah-belah dengan cara mendirikan dan mensponsori berdirinya beberapa negara kecil di banyak sekali wilayah nusantara, seperti Negara Sumatera, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan negara-negara yang terpecah-pecah itu dibutuhkan imbas kekuasaan Republik Indonesia di bawah kendali pemerintah hasil usaha kemerdekaan mampu dieliminir oleh Pemerintah Belanda.
Sejalan dengan hal itu, Tentara Belanda melaksanakan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun1948 untuk maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak, maka atas efek Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 November 1949 diadakan Konperensi Meja Bundar (Round Table Conference) di Den Haag. Konperensi ini didatangi oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan ‘Bijeenkomst voor Federal Overleg’ (B.F.O.) serta wakil Nederland dan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia. Konperensi Meja Bundar tersebut sukses menyepakati tiga hal, adalah:
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
2. Penyerahan kedaulatan terhadap RIS yang berisi 3 hal, adalah (a) piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda lepada Pemerintah RIS; (b) status uni; dan (c) persetujuan perpindahan.
3. Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda
Naskah konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) disusun bareng oleh delegasi Republik Indonesia dan utusan BFO ke Konperensi Meja Bundar itu. Dalam delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem, terdapat Prof. Dr. Soepomo yang terlibat dalam mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar tersebut. Rancangan Undang-Undang Dasar itu disepakati bersama oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan sebagai Undang-Undang Dasar RIS. Naskah Undang- Undang Dasar yang lalu diketahui dengan sebutan Konstitusi RIS itu disampaikan terhadap Komite Nasional Pusat sebagai forum perwakilan rakyat di Republik Indonesia dan kemudian resma mendapat persetujuan Komite Nasional Pusat tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Selanjutnya, Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat menurut Konstitusi RIS Tahun 1949 itu, wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara federal Republik Indonesia Serikat. Karena, sesuai ketentuan Pasal 2 Konstitusi RIS, Republik Indonesia diakui selaku salah satu negara bab dalam wilayah Republik Indonesia Serikat, ialah meliputi wilayah yang disebut dalam persetujuan Renville. Dalam wilayah federal, berlaku Konstitusi RIS 1949, tetapi dalam wilayah Republik Indonesia sebagai salah satu negara bab tetap berlaku UUD 1945. Dengan demikian, berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 dalam sejarah awal ketatanegaraan Indonesia, baru rampung berbarengan dengan berakhirnya periode berlakunya Konstitusi RIS, yakni tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS 1950 resmi diberlakukan.
Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Disadari bahwa lembaga yang membuat dan memutuskan UUD itu tidaklah representatif. Karena itu, dalam Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan ketentuan bahwa Konstituante gotong royong dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini, terperinci sekali artinya bahwa Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den Haag itu hanyalah bersifat sementara saja.
2. UUD Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950)
Bentuk negara federal kelihatannya memang mengandung aneka macam nuansa politis, berkenaan dengan kepentingan penjajahan Belanda. Karena itu, meskipun pemikiran bentuk negara federal mungkin saja memiliki relevansi sosiologis yang cukup besar lengan berkuasa untuk diterapkan di Indonesia, namun alasannya terkait dengan kepentingan penjajahan Belanda itu maka wangsit feodalisme menjadi tidak populer. Apalagi, selaku negara yang gres terbentuk, pemerintahan Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap konsolidasi kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk negara kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk dipraktekkan daripada bentuk negara federal.
Karena itu, bentuk negara federal RIS ini tidak bertahan lama. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan itu, mula-mula tiga wilayah negara bab, ialah Negara Republilk Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur menggabungkan diri menjadi satu daerah Republik Indonesia. Sejak itu wibawa Pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, sehingga jadinya dicapailah kata setuju antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali bersatu mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan itu dituangkan dalam satu naskah kesepakatan bareng pada tanggal 19 Mei 1950, yang pada pada dasarnya menyetujui dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam rangka antisipasi ke arah itu, maka untuk keperluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang Dasar, dibentuklah statu Panitia bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah akhir, desain naskah Undang-Undang Dasar itu lalu disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya, naskah Undang-Undang Dasar baru ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus, 1950, adalah dengan ditetapkannya UU No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini bersifat mengubah sehingga isinya tidak hanya mencerminkan pergantian terhadap Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, namun mengambil alih naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah gres sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat terperinci dalam rumusan Pasal 134 yang mewajibkan Konstituante tolong-menolong dengan Pemerintah segera menyusun UUD Republik Indonesia yang mau menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu. Akan namun, berbeda dari Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk Konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat UUDS 1950 telah dilakukan sedemikian rupa, sehingga pemilihan lazim sukses diselenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini diadakan berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953. Undang-Undang ini berisi dua pasal. Pertama berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; Kedua berisi ketentuan mengenai tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu menggantikan Konstitusi RIS, yakni tanggal 17 Agustus 1950. Atas dasar UU inilah diadakan Pemilu tahun 1955, yang menciptakan terbentuknya Konstituante yang didirikan di kota Bandung pada tanggal 10 November 1956.
Majelis Konstituante ini tidak atau belum sampai sukses menuntaskan tugasnya untuk menyusun UUD baru saat Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa Konstituante sudah gagal, dan atas dasar itu beliau mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 selaku Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia selanjutnya. Menurut Adnan Buyung Nasution dalam disertasi yang dipertahankannya di negeri Belanda, Konstituante ketika itu sedang reses, dan alasannya itu tidak dapat dibilang gagal sehingga dijadikan alasan oleh Presiden untuk mengeluarkan dekrit. Namun demikian, nyatanya sejarah ketatanegaraan Indonesia sudah berjalan sedemikian rupa, sehingga Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 itu telah menjadi realita sejarah dan kekuatannya sudah memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 selaku UUD negara Republik Indonesia semenjak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang. Memang kemudian muncul kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden itu sebagai tindakan aturan yang sah untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Profesor Djoko Soetono menawarkan pembenaran dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit Presiden yang diberi baju hukum dalam bentuk Keputusan Presiden itu dengan prinsip ‘staatsnoodrecht’. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, prinsip ‘staatsnoodrecht’ itu pada pokoknya sama dengan usulan yang dijadikan landasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara era Orde Baru untuk memutuskan Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966. Adanya perumpamaan Orde Baru itu saja menggambarkan pendirian MPRS bahwa kurun antara tahun 1959 hingga tahun 1965 yaitu kala Orde Lama yang dinilai tidak merefleksikan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Oleh alasannya itu, MPRS mengeluarkan TAP No.XX/MPRS/1966 tersebut dengan asumsi bahwa perubahan drastis perlu dilakukan alasannya adanya prinsip yang sama, ialah kondisi darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas dari kontroversi itu, yang terang, semenjak Dekrit 5 Juli 1959 hingga kini, Undang-Undang Dasar 1945 terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap selaku UUD sementara. Akan tetapi, sebab konsolidasi kekuasaan yang makin lama makin terpusat di masa Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergeseran selama 32 tahun, karenanya Undang-Undang Dasar 1945 mengalami proses sakralisasi yang irrasional selama abad periode Orde Baru itu. UUD 1945 tidak diizinkan bersentuhan dengan ilham pergeseran sama sekali. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 itu jelas ialah UUD yang masih bersifat sementara dan belum pernah dipergunakan atau diterapkan dengan sungguh-sungguh. Satu-satunya kesempatan untuk menerapkan UUD 1945 itu secara relatif lebih murni dan konsekuen hanyalah di kala Orde gres selama 32 tahun. Itupun berakibat terjadinya stagnasi atas dinamika kekuasaan. Siklus kekuasaan berhenti, menjadikan Presiden Soeharto seakan terpenjara dalam kekuasaan yang dimilikinya, makin usang kian mempribadi secara tidak rasional. Itulah akhir dari diterapkannya Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
3. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu permintaan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini memperlihatkan bahwa penduduk tidak lagi menyaksikan aspek penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, namun alasannya adalah kelemahan tata cara aturan dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah sebuah hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Gagasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mendapatkan momentumnya di era reformasi. Pada awal kurun reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok anjuran amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kekurangan-kelemahan dan kekosongan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Gagasan pergantian Undang-Undang Dasar 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya pergeseran Undang-Undang Dasar 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR sepakat perihal arah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dengan ketentuan selaku berikut:
1. Sepakat untuk tidak mengganti Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
2. Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Sepakat untuk menjaga sistem presidensiil (dalam pemahaman sekaligus menyempurnakan semoga betul-betul memenuhi ciri-ciri biasa metode presidensiil);
4. Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945; dan
5. Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian dilaksanakan secara sedikit demi sedikit dan menjadi salah satu acara Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 sampai pergeseran keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 serempak dengan komitmen dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif perihal pergantian Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 wacana Pembentukan Komisi Konstitusi. Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi Undang-Undang Dasar 1945 yang asli sudah mengalami pergantian besar-besaran dan dengan pergantian materi yang dapat dibilang sungguh fundamental. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menimbulkan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang gres sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 hingga dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu tepatnya dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang sukses mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan penduduk yang condong menyakralkan atau menyebabkan Undang-Undang Dasar 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan dihentikan disentuh oleh ide perubahan sama sekali. Perubahan Pertama ini meliputi pergeseran atas 9 pasal Undang-Undang Dasar 1945, yakni atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21. Kesembilan pasal yang mengalami pergeseran atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16 ayat atau mampu disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Gelombang pergeseran atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua ialah pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan bahan yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yakni meliputi 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI perihal Pemerintah Daerah, Bab VII wacana Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA wacana Wilayah Negara, Bab X perihal Warga Negara dan Penduduk, Bab XA ihwal Hak Asasi Manusia, Bab XII perihal Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV perihal Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami pergeseran atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, acara pergeseran dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang sukses memutuskan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001. Bab-bagian Undang-Undang Dasar 1945 yang mengalami pergantian dalam naskah Perubahan Ketiga ini yaitu Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II perihal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III ihwal Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V perihal Kementerian Negara, Bab VIIA wacana Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB wacana Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA wacana Badan Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bagian, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari sisi jumlahnya mampu dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian besar sungguh fundamental. Materi yang termasuk sukar mendapat akad cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif bahan Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dibilang Sangat mendasar pula.
Perubahan keempat perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional semenjak tahun 1998 hingga tahun 2002, yakni pergantian yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan pergeseran pertama, kedua, ketiga, dan pergantian keempat ini yaitu Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bab selesai pada Perubahan Kedua UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV wacana Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III wacana Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 meliputi 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah Undang-Undang Dasar. Paradigma fatwa atau pokok-pokok anggapan yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 sesudah mengalami empat kali pergantian itu sungguh-sungguh berlawanan dari pokok anggapan yang terkandung dalam naskah asli dikala Undang-Undang Dasar 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya pergeseran UUD ini, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa semenjak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui selaku bab dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu daripada isi Undang-Undang Dasar 1945 sehabis empat kali berganti, terperinci satu sama lain telah tidak lagi bersesuaian, alasannya adalah pokok anggapan yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berlawanan dari apa yang tercantum dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
4. Periode Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Sampai Sekarang
Salah satu permintaan reformasi tahun 1998 yakni adanya amendemen atau perubahan kepada UUD 1945. Latar belakang permintaan amandemen UUD 1945 antara lain sebab pada zaman Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (namun pada nyataannya tidak di tangan rakyat), namun kekuasaan yang sungguh besar malah ada pada Presiden, hal tersebut alasannya adalah adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (yang dapat menjadikan multitafsir), dan kenyataan rumusan UUD 1945 perihal semangat penyelenggara negara yang belum disokong cukup ketentuan konstitusi.
Tujuan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk menyempurnakan aturan dasar seperti kedaulatan rakyat, tatanan negara, pembagian kekuasaan, HAM, eksistensi negara demokrasi dan negara aturan, dll yang cocok dengan pertumbuhan keperluan dan aspirasi bangsa. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memiliki komitmen adalah tidak mengganti Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan tetap menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), juga memperjelas tata cara pemerintahan presidensial. Dalam kurun 1999-2002, terjadi 4 kali amendemen UUD 1945 yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR yaitu:
1. Pada Sidang Umum MPR 1999, 14-21 Oktober 1999, Amandemen Pertama.
2. Pada Sidang Tahunan MPR 2000, 7-18 Agustus 2000, Amandemen Kedua.
3. Pada Sidang Tahunan MPR 2001, 1-9 November 2001, Amandemen Ketiga.
4. Pada Sidang Tahunan MPR 2002, 1-11 Agustus 2002, Amandemen Keempat.
5. Hasil Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen Pertama mencakup 9 pasal, 16 ayat yang Ditetapkan pada tanggal 19-Oktober-1999, ialah:
- Pasal 7: Tentang Pembatasan abad jabatan Presiden dan Wakil Presiden
- Pasal 13 ayat 2 dan 3: Tentang Penempatan dan Pengangkatan Duta
- Pasal 5 ayat 1: Tentang Hak Presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR
- Pasal 14 ayat 1: Tentang Pemberian Grasi dan Rehabilitasi
- Pasal 15: Tentang Pemberian tanda jasa, gelar, serta kehormatan lain
- Pasal 9 ayat 1 dan 2: Tentang Sumpah Presiden dan Wakil Presiden
- Pasal 21: Tentang Hak dewan perwakilan rakyat untuk mengajukan RUU
- Pasal 14 ayat 2: Tentang Pemberian pembatalan dan amnesty
- Pasal 20 ayat 1-4: Tentang DPR
- Pasal 17 ayat 2 dan 3: Tentang Pengangkatan Menteri
Amandemen Kedua yang Ditetapkan tanggal 18-Agustus-2000, mencakup beberapa ketentuan selaku berikut:
1. Bab IX A: Tentang Wilayah Negara
- Bab VI: Tentang Pemerintahan Daerah
- Bab XA: Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
- Bab VII: Tentang Dewan Perwakilan Daerah (dewan perwakilan rakyat)
- Bab XV: Tentang Bahasa, Bendera, Lagu Kebangsaan dan Lambang Negara
- Bab X: Tentang Penduduk dan Warga Negara
- Bab XII: Tentang Pertahanan dan Keamanan
Amandemen Ketiga tersebar dalam 7 Bab yang Ditetapkan tanggal 9-November-2001, adalah sbb:
1. Bab II: Tentang MPR
2. Bab I: Tentang Bentuk dan Kedaulatan
3. Bab VIII A: Tentang BPK (Badan Pemeriksa keuangan)
4. Bab III: Tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara
5. Bab VII A: Tentang DPR
6. Bab V: Tentang Kementrian Negara
7. Bab VII B: Tentang Pemilihan Umum
Amandemen Keempat meliputi 19 pasal yang terdiri dari 31 butir ketentuan serta 1 butir yang dihapuskan. yang Ditetapkan pada tanggal 10-Agustus-2002. Pada Amandemen keempat ini ditetapkan bahwa: UUD 1945 sebagaimana telah diubah merupakan Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18-Agustus-1945 dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Perubahan tersebut diputuskan pada rapat Paripurna MPR RI ke-9 tanggal 18-Agustus-2000 pada Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku semenjak tanggal ditetapkan. pengubahan substansi pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang “Kekuasaan Pemerintahan Negara”. dan Bab IV ihwal “Dewan Pertimbangan Agung” dihapus.
6. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum amandemen, Undang-Undang Dasar 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bagian, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang cuma terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang berisikan 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.Setelah dijalankan 4 kali amandemen, Undang-Undang Dasar 1945 memiliki 16 bagian, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, serta 2 pasal Aturan Tambahan.