close

Dinamika Islam Dan Budaya Jawa Dalam Menghadapi Modernitas

I. PENDAHULUAN
Islam dalam realitas konkrit ternyata meningkat dengan deret ukur pertumbuhan modernitas bahkan dengan pertumbuhan ilmu dan teknologi. Bagaimanapun tidak mampu dipungkiri, cepat atau lambat budaya modernitas akan menyusup ke segala kawasan kehidupan, bahkan juga menjamah terhadap pemikiran keislaman. Modernitas sebagai penawar alternatif, harus dimengerti selaku kelanjutan wajar dan logis bagi kemajuan sejarah kehidupan manusia. Islam dan tantangan modernitas adalah tidak lepas dari upaya menyaksikan kembali akar sejarah permulaan Islam yang menyertai kehidupan kaum Muslim sedunia, termasuk Indonesia dan utamanya di kawasan Jawa.
Ketika Islam masuk di Jawa, masyarakatnya sudah mempunyai kebudayaan yang amat kuat. Kita layak bersyukur bahwa sejak dahulu budaya Jawa tumbuh selaku budaya yang mempunyai sansibilitas dan kelonggaran yang tinggi kepada perubahan-pergeseran di sekitarnya.[1] Nilai-nilai serta pemikiran-aliran yang terkandung di dalamnya pun tak pernah lekang oleh waktu, membuatnya selaku budaya yang kuat menghadapi pergeseran zaman. Namun, tentu itu semua tak lantas kita terbebas dari keharusan kita dalam menjaga fleksibilitas dalam budaya jawa. 
II. RUMUSAN MASALAH
Pada pembahasan makalah kali ini, kami akan menjajal menerangkan perihal Dinamika Islam dan Budaya Jawa dalam menghadapi modernitas, dengan batasan dilema sebagai berikut :
A. Islam dan Modernitas
B. Kebudayaan Jawa dan Globalisasi
C. Modernisasi dalam Nilai Budaya Jawa Islam
III. PEMBAHASAN 
A. Islam dan Modernitas
Dari perumpamaan “terbaru”, lalu lahirlah perumpamaan-istilah lain, seperti: “modernisme”, “modernitas”, dan “modernisasi”.[2] Pada prinsipnya Islam secara tautologis tidak memedulikan label-label apapun, mirip adanya penyebutan Islam tradisional, Islam terbaru dan bahkan Islam liberal. Islam sejatinya ya Islam yang mampu dipahami secara rasional dan berlaku di daerah mana pun. Namun, saat Islam bersentuhan dengan pengertian umat yang begitu beragam, lalu muncul label-label Islam yang bekerjsama berakar pada bagaimana menyaksikan Islam itu sendiri. Persoalannya yakni bagaimana mengerti Islam itu berkecakupan luas, biar tidak terjebak pada pelabelan Islam yang condong ada kesan pengkotakan itu.
Islam dan modernitas sebenarnya memiliki jalinan satu kesatuan yang tak mampu dipisahkan. Kendati Islam dan modernitas ialah dua hal yang berlawanan, tetapi dalam perjalanannya satu sama lain tidak dimengerti secara terpisah. “Modernisasi” dipahami sebagai suatu pendekatan untuk memahami Islam agar bersinggungan dengan penemuan canggih insan dibidang ilmu wawasan selaku balasan “modernitas”. Islam dan modernitas dalam tingkat pemahaman menjadi sesuatu yang integral dan tidak untuk dipertentangkan, melainkan satu sama lain untuk saling melengkapi. Yang dimaksud Islam mempunyai cakupan rahmatan lil ‘alamin, adalah bahwa Islam harus mampu ditampilkan dalam konteks zaman mana pun, dan dapat menyelamatkan siapa pun. Apabila Islam kalau tidak disandingkan dengan gejala modernitas, maka akan mengalami krisis, dan bahkan kejemuan seiring dengan hadirnya tantangan dunia modern yang tak dapat dibendung. Krisis ini begitu sangat dinikmati, karena Islam mengemban tugas untuk senantiasa memperlihatkan jawaban secara tuntas.
Dalam hal ini, Islam tidak bisa didefinisikan sekadar dalam batas-batas formal. Lebih dari itu, Islam mesti dimengerti sebagai pedoman yang memiliki prinsip nilai-nilai universal yang memerlukan realisasi dalam realitas konkrit. Pemahaman ini kian meneguhkan dogma bahwa Islam bagaimanapun tidak mampu lepas dari gejala-tanda-tanda modernitas. Sebab, bila Islam dipisahkan dari persinggungan dengan kondisi riil yang berkembang di sebuah konteks sosial, pasti sungguh tidak mungkin dan bahkan mungkin tidak akan pernah terjadi dalam dunia sejarah.[3]Maka jalan satu-satunya supaya Islam tidak selalu tertinggal yaitu menampilkan corak penafsiran gres. Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan peradaban Islam yang sedang berkembang. Kedua, versi penafsiran yang memisahkan unsur-unsur yang merupakan hasil kreasi budaya setempat, dan bagian-unsur yang merupakan nilai-nilai fundamental atau prinsip-prinsip kekal. Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya selaku “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari kelompok lain.[4]
Namun demikian, modernisasi dengan segenap gejala-tanda-tanda barunya tidak hanya dilihat segi positifnya saja. Lebih dari itu, gejala modernitas harus dibaca secara kritis semoga tidak terjebak pada budaya “kebarat-baratan”, dan pengabaian pada nilai dasar dan moralitas keislaman. Semangat etika dan kemashlahatan yang menjadi ruh pedoman Islam selalu dijadikan acuan dalam menghadapi tuntutan modernitas yang semakin hari semakin menunjukkan dinamikanya.
B. Kebudayaan Jawa dan Globalisasi
Masyarakat Jawa telah memiliki kebudayaan jauh sebelum Islam datang, dan mengandung nilai yang bersumber pada dogma animisme, dinamisme dan lain-lain. Karkono Kamajaya menawarkan batas-batas perihal kebudayaan Jawa, yaitu perwujudan kecerdikan manusia Jawa yang meliputi kemauan, harapan, pandangan baru, maupun semangat untuk meraih kemakmuran, keselamatan dan kebahagiaan lahir batin. Menurutnya, kebudayaan Jawa sudah ada sejak zaman prasejarah. Dengan hadirnya agama Hindu dan Islam, maka kebudayaan Jawa kemudian menyerap bagian budaya-budaya tersebut sehingga menyatulah bagian pra Hindu, Hindu-Jawa, dan Islam dalam budaya Jawa tersebut.[5]
Sedikit demi sedikit budaya Jawa yang begitu mengakar berpengaruh semenjak zaman dulu kurun hingga sekarang, tak mampu ditampik akan terkena juga efek globalisasi. Era globalisasi telah membawa insan pada kemajuan peradaban. Berbagai bentuk pergantian sosial yang menyertai kurun globalisasi tersebut, pada gilirannya, mensugesti cara pandang manusia terhadap kehidupan dan semesta. Pada masa global, nilai, norma, dan cara hidup berganti begitu cepat menjadi tatanan baru yang semakin menjauhkan insan dari kepastian moral dan nilai luhur yang sudah dipegang teguh sebelumnya. Ada kecenderungan globalisasi di bidang budaya yang mau mengikis jati diri budaya bangsa, dan mengubahnya dengan nilai-nilai baru yang berasal dari suatu peradaban tertentu, yaitu peradaban Barat. Fenomena seperti inilah kerap kali dianggap sebagai tantangan terberat yang mengancam identitas sebuah bangsa, terutama kaum muslimin.[6] Sikap penduduk yang mulai menganggap remeh dan antik kepada budaya Jawa dikala ini berdampak kepada keterpurukan terhadap budaya tersebut. Keengganan tersebut dipicu perasaan masyarakat yang merasa bahwa budaya Jawa mempunyai teladan hidup dan sikap yang kurang sempurna untuk dijunjung di periode globalisasi dikala ini. Ketidak pedulian inilah yang melatar belakangi semakin pudarnya kebudayaan Jawa. Mengalirnya arus budaya Barat di tengah masyarakat merupakan salah satu penyebab makin berkurangnya bersemangat masyarakat terhadap kemajuan budaya Jawa yang menjunjung nilai-nilai luhur. Selain itu, penanaman dan pemahaman yang minim menjadi penghambat berkembangnya budaya Jawa.
Dengan makin memudarnya budaya Jawa mengakibatkan penanaman watak dan kebijaksanaan pekerti dalam penduduk di masa globalisasi condong terpuruk. Kurang adanya perilaku menghargai baik sesame, orang renta maupun masyarakat. Keengganan tersebut juga menyebabkan semakin banyaknya tindakan criminal yang terus marak diperbincangkan alasannya adalah dampak budaya Barat yang makin mengganas. Dari hal-hal yang kecil sampai besar, semisal cara berpakaian,cara menyapa seseorang maupun cara pergaulan dalam keluarga dan penduduk cenderung kurang adanya watak.
Penyebab memudarnya budaya Jawa di abad globalisasi adalah :
a. Merebaknya budaya Barat di tengah masyarakat
b Berubahnya perilaku dan acuan masyarakat terhadap budaya Jawa
c. Kurangnya penanaman dan pengertian budaya Jawa semenjak dini.
Kepada penduduk Indonesia khususnya etnis Jawa hendaklah menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari budaya Jawa. Menghidupkan kembali budaya Jawa sesuai kepribadian bangsa Indonesia. [7]
Hal ini memastikan adalah, sekalipun ilmu itu berasal dari orang yang tidak seagama dengan kita, dan berada jauh di ujung dunia kita dihentikan membeda-bedakannya. Karena manusia yang memproduksi dan menggunakan hasil budaya itu adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan penduduk lain, maka terbuka kemungkinan nilai-nilai budaya dari orang lainyang dijumpainya dan dipandang cocok.[8]
Berkaitan dengan sifat budaya yang terbuka mendapatkan unsur-komponen yang lain, berdasarkan Frans Magnis Suseno, bantu-membantu budaya Jawa mempunyai ciri khas yang lentur dan terbuka. Walaupun suatu dikala terpengaruh bagian budaya lain, tetapi kebudayaan Jawa masih mampu mempertahakan keasliannya.[9]Kebudayaan jawa di tengah arus globalisasi, utamanya masyarakat jawa yang masih menjunjung kebudayaan jawa tidak mampu tidak terbawa arus gelombang modifikasi budaya-budaya dari etnik-etnik yang ada d Indonesia dan bahkan potongan bumi manasaja. Masyarakat pengusung budaya jawa haruslah mampu secara inovatif memaknai pergantian zaman yang makin hari memperlihatkan geliatnya, sehingga penetrasi budaya-budaya dari luar etnik, tidak hingga mengarus nilai-nilai kejawaan itu sendiri. Jika tak ingin kebudayaan jawa tergeser oleh pergantian-pergantian yang tidak sesuai dengan budaya timur, kita haruslah tetap bertahan pada nilai-nilai luhur yang di kandungnya sembari mengadaptasi budaya-budaya yang ada di sekitarnya, baik dalam ranah konsep maupun prilaku sehari-hari. Sebab, bantu-membantu nilai nilai filosofis budaya jawa jika di tafsirkan secara inovatif merupakan nilai-nilai yang universal.
Cara kita menanggulangi arus globalisasi tersebut salah satunya yaitu dengan mengintropeksi diri. Oleh sebab itu, perlunya di optimalkan tameng diri biar tidak terbawa kearah kebobrokan, yaitu dengan kita memakai filsafat jawa. Sehingga jangan sampai orang jawa kehilangan kepribadiannya.
Adapun potensi falasafah jawa yang dapat digunakan sebagai tameng diri yakni sebagai berikut :[10]
1. Ajining diri saka lathi, ajining seliro soko busana artinya nilai diri seseorang terletak pada gerakan lidahnya, nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya. Harga diri seseorang terletak pada ucapannya.
2. Aja dhumuko, aja gumun, aja kagetan, artinya jangan sok, jangan gampang terkagum kagum, jangan gampang terkejut.
3. Aja dhumeh, tepo seliro, ngerti kuwalat artinya jangan merasa hebat, tergantung rasa, tahu hukuman alam. Dimanapun kita berada, jangan merasa andal, berbuat semaunya.
4. Sugih tanpa bandha, digdoyo tanpa aji, ngalurung tanpa bala, menang tanpa ngasarake artinya kaya tanpa harta, sakit tanpa azimat, menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa merendahkan.
C. Modernisasi dalam Nilai Budaya Jawa 
Daerah kebudayaan Jawa itu luas, adalah meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari Pulau Jawa meskipun demikian ada juga daerah-tempat yang bercirikan kejawen, sebelim terjadi perubahan status wilayah tempat itu meliputi : Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun dan Kediri. Daerah di luar tempat tersebut dinamakan pesisir dan ujung timur. 
Dua tempat bekas jajahan Kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta yang ialah pusat dari Kebudayaan Jawa.
Masalah pembangunan dan modernisasi, ialah sebuah kekurangan dari mental rakyat pedesaan di Jawa yang menjadi penghambat besar dalam hal pembangunan adalah sikapnya yang pasif terhadap hidup. Kesukaan orang Jawa pada ilmu kebatinan, sikap nerima, kesabaran yang giat dalam hal nerima namun lemah dalam hal berkarya.
Adanya bagian-unsur kebudayaan dalam proses kebudayaan adalah kebudayaan yang mudah berubah dan sukar berubah. Sistem nilai budaya akidah, keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adapt yang telah mapan dan tersebar luas di penduduk , merupakan bagian inti kebudayaan yang merepotkan diubah, seperti iman agama, adapt istiadat maupun tata cara nilai budaya. Ada pula kebudayaan yang gampang berubah mirip alat-alat atau benda-benda hasil seni budaya mudah untuk berubah.
Nilai budaya Jawa Islam yang merepotkan berubah di kala modern ini adalah yang terkait dengan kepercayaan keagamaan dan adapt istiadat, mirip kehidupan spiritual di kurun terbaru ini tampak mengalami kenaikan termasuk dalam kalangan masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan alasannya adalah sebagian besar orang mulai merasakan dampak atau pengaruh negative dari budaya terbaru yang menonjolkan logika dan materi, namun kurang dalam nilai spiritual.[11]
Nilai spiritual itu terlihat pada program selametan dan wetonan dengan menciptakan bubur kakak putih. Ketenangan batin mereka terganggu bila tidak melakukan selametan, terlebih yang berkaitan dengan siklus kehidupan. Kehidupan spiritual di abad modern ini secara umum memang terlihat mengalami peningkatan, tergolong di golongan masyarakat jawa. Hal ini di sebabkan sebab sebagian besar orang mulai merasa efek negatif dari budaya terbaru yang cuma menonjolkan logika dan materi, namun kering akan nilai spiritual. Mereka cenderung memprioritaskan hal yang bersifat materi dan rasional., namun melewatkan nilai sosial dan batiniah. Sejalan dengan hal itu, maka banyak orang merindukan ketenangan batin dan larilah mereka ke aliran agama dan kehidupan spiritual termasuk spiritualitas jawa islam, yang mulai banyak dilirik kembali oleh masyrakat terbaru. Kehidupan spiritual di perlukan pula oleh manusia modern di saat terjadi persaingan ketat yang menuntut profosionalisme dan mutu tinggi di aneka macam bidang. Hal ini menyebabkan banya orang yang stres, dan mereka mencari ketenangan batin, di antaranya dengan kembai pada tradisi spiritual jawa islam. Tidak mengherankan jika di abad moderen ini upacara yang sejak dahulu telah mengakar di masyarakat, yang bersifat religius magis banyak dijalankan lagi, seperi ruwatan untuk membuang sial.
Adapun budpekerti istiadat Jawa yang telah mengalami perubahan nilai dan dipandang tidak magis lagi, tetapi sekedar bernilai seni, contohnya rangkaian program dalam ijab kabul, seperti tarub, siraman, midoduren, kacar-kucur, dan sebagainya. Dengan sifat budaya yang elastis, dibutuhkan nilai-nilai budaya Jawa Islam yang luhur masih dapat bertahan sewaktu harus berhadapan dengan bagian budaya modern yang global. [12]
IV. KESIMPULAN
Kebudayaan jawa yang mendapat gelar adi luhung, sangat kuat di seluruh pelosok nusantara bahkan di daerah regional asia tenggara, kebudayaan jawa menempati posisi yang sangat vital. Penyebab orang jawa di menyebarkan benua pasti menenteng tradisi dan budpekerti istiadatnya. Oleh karena itu, kebudayaan jawa secara aktif menyesuaikan diri dengan arus globalisasi. Perkembangan iptek yang kian ngerisi dan condong kejam dan terkesan tidak manusiawi dalam kurun globalisasi ini, makin mendesak budaya tradisi. Akibatnya kearifan sosial dan nilai-nilai luhur budaya di tinggalkan, dan jati diri bangsa menjadi memudar.
Manusia jawa memiliki budaya dan identitas secara terang, dan identitas budaya itu selaku cirri khas yang di mulai sejak jaman kerajaan. Akan namun, di zaman sekarang identitas tersebut telah banyak berganti seiring dengan adanya imbas budaya luhur, sehingga budaya jawa mengalami erosi. Maka muncullah istilah ”wong jawa ilang jawane” aritinya banyak orang jawa yang kehilangan identitas primernya mirip : filsafah ungguh unguh (saling menghormati), tradisi budaya, penggunaan bahasa, dsb. Oleh sebab itu kita harus eling lan waspada sesuai dengan falsafah jawa. Dunia meningkat kita ikut meningkat tetapi tidak meninggalkan kepribadian diri (harga diri).
V. PENUTUP
Demikianlah pemaparan makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari sisi penulisan (bahan) maupun dari sisi sistematika penulisan. Oleh sebab itu kritik dan rekomendasi yang konstruktif sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah kami berikutnya. Semoga dapat berguna dan memperbesar pengetahuan kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
  • Amin, M.Darori. 2000.Islam dan Kebudayaan Jawa.Yogyakarta:Gama Media
  • Kamajaya, Karkono. 1995. Kebudayaan Jawa : Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta:IKAPI
  • Zaqzuq, Mahmud Hamdi. 2004. Reposisi Islam di Era Globalisasi. Yogyakarta:Pustaka Pesantren
  • Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Jawa di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1972
  • http://islamdanbudayajawa.google.com
  Sejarah Arsitek Islam Di Jawa